Setelah dari toilet, Nea kembali ke meja kerjanya. Ia juga segera membereskan wadah bekalnya yang sudah kosong itu. Kemudian ia menghabiskan setengah botol air mineral.
Dina hanya diam saja melihat Nea. Perempuan itu jadi enggan mengajak Nea berbicara.
Namun, kini Nea menundukkan kepalanya menatap amplop merah muda yang baru tadi. Ia memegang amplop berisi serbuk emas itu di bawah meja kerjanya.
Dina penasaran Nea sedang melihat apa. Gadis itu berdiri dari duduknya dan mendongakkan kepalanya penasaran.
Di antara meja Dina dan Nea memang ada sekat kaca. Jadi Dina memang membutuhkan sebuah effort untuk berhasil mengintip kegiatan Nea.
Dina mengernyit. Di penglihatannya yang sehat dan tidak kenapa-napa itu ia melihat Nea hanya sekedar menundukkan kepala saja sambil mengusap sesuatu di telapak tangannya.
Dina tertegun. Tidak ada sesuatu yang ia lihat di tangan Nea. "Ney, kamu itu lagi kenapa sih? Lagi ngelihatin apa?" Tanyanya berani.
Tentu saja Nea rasanya langsung spot jantung ketika mendengar suara Dina di atas sebelah kirinya. Rupanya Dina sedang mengintipnya.
"Eh, Din. Nggak ini mainin amplop aja."
"Amplop?"
"Iya.. nih..!" Tunjuk Nea. Ia mengangkat amplop merah muda itu di depan muka Dina dalam jarak dua jengkal saja.
Dina mulai merasa merinding. Ia hanya melihat telunjuk dan jempol Nea saja yang seperti memegang udara kosong. Kemudian gadis itu terkekeh pelan dan sedikit takut. "He he he.." kekehnya berspasi.
"Kenapa?"
"Ney, kamu lagi sakit? Mendingan kalau sakit pulang aja. Atau aku bilangin Gilang buat anterin kamu?"
Nea mengedipkan kedua mata bulatnya dua kali. "Hah?" Tanyanya tak mengerti.
"Nea Adzkiyaaaaa. Kamu tuh dari jum'at lalu loh halusinasi tentang amplop. Kamu kenapa? Stres? Butuh liburan? Butuh vitamin sea? Plis deh Ney. Sumpah aku agak takut. Kamu tuh gak megang apa-apa Neeeyy.." kata Dina geregetan.
Nea melotot. Dina tidak bisa melihat amplop baru yang ia tunjukkan. Kemudian Nea langsung memasukkan amplop berisi serbuk emas itu ke dalam saku blezernya sebelah kanan.
Lalu gadis itu mengeluarkan bekas amplop merah muda yang ia dapatkan pertama kali dari saku blezer kirinya. "Kalau ini bisa lihat?" Tanyanya pada Dina.
"Naaahh.. kalau ini kamu gak halusinasi. Itu ada. Amplop merah muda." Ucap Dina. Kemudian ia menghembuskan napasnya lega. Setidaknya ia tahu Nea baik-baik saja.
Nea terkekeh. "Tadi bercanda kok Din. Hehehe.. maaf yaa.. iya aku lagi sedikit pusing. Jangan diseriusin." Alasannya.
Dina berdecak kesal. "Udahlah Ney. Aku jadi ikut pusing. Aku gak akan tanya itu amplop apaan. Dasar!"
Nea terkekeh saja menanggapi gerutuan Dina. Ia memang jadi berbohong pada temannya itu. Ternyata, amplop yang sudah tidak baru atau isinya sudah dikeluarkan akan bisa dilihat oleh orang lain. Jika isi amplop baru yang belum dipakai atau dikeluarkan, berarti hanya bisa dilihat oleh pemiliknya saja.
Nea paham sekarang. Hmm, canggih juga ya konsepnya!
*****
Pukul 16:32, para karyawan bank sudah selesai dengan kegiatan hari ini. Pintu bank juga sudah ditutup dan dikunci.
Setelah merapikan mejanya, Nea langsung keluar melalui pintu cadangan yang ada di sebelah samping. Pintu itu memang pintu cadangan saja. Karena jika ada yang lembur dan pulanh sedikit terlambat, bisa keluar melalui pintu itu.
Dina, Arumi, Pak Rudi, dan dua Teller lainnya sudah pulang. Pak Dandi selaku satpam juga sudah selesai mengunci semua pintu. Pria itu juga segera pulang setelah selesai melakukan kegiatan terakhirnya.
Nea lupa memesan taksi online. Dan sekarang ia sedang menikmati akibatnya.
Gadis itu masih berdiri di depan kantor bank dengan kedua kaki yang kini berganti memakai sandal karet biasa berwarna hitam. Mau tak mau Nea harus mencari taksi secara manual. Sistem aplikasi online yang digunakan memesan taksi itu kini keterangannya slow respon.
Nea mendenguskan napasnya pelan. Ia tidak sabar untuk segera sampai ke apartemennya.
Rencana Nea nanti setelah sampai di apartemennya langsung mandi, makan, menelpon Lita dan Rasyid, memantau perkembangan kafe sebentar, mengelola data excel yang memuat seputar keuangan kafe yang terus diperbarui, dan setelah itu ia akan pergi ke dunia imajinasi lagi. Ia ingin segera menginterogasi habis-habisan si pria maskulin itu. Mungkin Nea juga ingin cuci mata.
Tap!!
Nea terkejut hingga berjengkit sambil mengelus dadanya. Sentuhan kecil di pundak sebelah kirinya itu disebabkan oleh tangan kanan Gilang.
"Haha sorry, ngagetin. Tadi aku lagi ke toilet belakang. Yuk, pulang." Kata Gilang dengan mudahnya.
Nea melongo. Ia benar-benar sedang tidak mau pulang dengan Gilang. Tapi sedari tadi masih tidak ada taksi yang lewat.
"Harus ya Lang?"
Gilang terkekeh pelan. "Kan udah janji. Lagian belum ada taksi yang lewat. Mau nungguin sampai kapan?"
'Iya juga sih. Bener-bener gak ada taksi sama sekali deh. Bikin kesel aja. Ya udah deh bareng Gilang.' Batin Nea.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Lalu ia masuk ke mobil Gilang dan duduk di jok sebelah kiri Gilang.
Mobil Gilanh segera melaju dengan kesepatan sedang dan berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Perjalanan dari kantor bank ke apartemen Nea memang sekitar dua puluh menitan.
Di jam segini, biasanya juga akan sedikit macet. Karena semua orang juga sedang melakukan perjalanan pulang setelah usai sibuk dengan pekerjaan mereka seharian.
Langit jingga sore ini berhasil memikat hati Nea. Gadis itu membuka kaca jendela dan menikmati udara sore serta mendongak menatap langit yang sedang cantik.
"Golden hour, cantik ya.." kata Gilang.
Nea mengangguk saja dan terus tersenyum.
Gilang baru kali ini melihat Nea tersenyum lama dan dari dekat. Bahkan pria itu terus melirik ke arah Nea hingga akhirnya Nea menutup kaca jendela dan duduk dengan benar.
"Maaf ya Lang. Gak nyaman ya kalau jendelanya aku buka?"
"Eh, nggak kok. Anginnya kan nggak kenceng. Biasa aja kok. Buka aja lagi kalau masih mau nikmatin."
Nea terkekeh. "Nggak. Udah puas kok. Thanks."
"Oke. Emm, sabtu lalu itu beneran kenalan kamu ya?"
Nea menoleh. "Oh, Rasyid? Hehe i-iya."
"Cuman kenal atau lagi jalin hubungan sama kamu?"
"Umm, yah lagi deket aja sih." Ujar Nea bohong.
Gilang mengangguk paham. "Oh gitu.."
"Kamu juga lagi jalan sama perempuan yang kamu ajak ke kafe itu?"
Tiba-tiba Gilang langsung tertawa geli. "Waktu itu aku bohong sih Ney. Dia adik perempuan aku. Emang dia suka dandan stylish. Sorry ya udah bohong."
Nea tertegun. Ternyata Gilang juga bohong padanya. Jadi, sabtu lalu itu mereka berdua sama-sama berbohong? Rasanya Nea mulai susah menelan ludahnya.
"Ah, oh gitu.. k-kenapa sampai bohong Lang?"
"Panas aja sih sebenernya lihat kamu deket sama cowok lain. Jadi aku bohong aja biar gak terlalu kelihatan kayak sad boy..hahaha. Umm, aku terlalu jujur ya Ney?"
*****