Chereads / Menara Cinta / Chapter 5 - Kesakitan

Chapter 5 - Kesakitan

Nara mendecak kasar, ia menggigit kuku karena kesal.

Andai saja kakaknya ini lebih cepat lagi menyetirnya. Pasti ia tidak akan kehilangan jejak Sasya.

"Kakak sih lelet!" Amuk Nara pada sang kakak.

Bagas mendengus, sebisa mungkin ia harus menahan emosi.

Matanya tetap fokus ke arah jalanan.

"Lo tau gak nomor plat mobil cowok itu?" Tanya Bagas tanpa mengalihkan tatapannya.

Nara menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Gue lupa gak liat bang." Ucapnya disertai cengiran bodoh.

Bagas mengerem mendadak, bunyi decitan ban mobil sungguh memekakan telinga. "Dari tadi lo marahin gua, dan sekarang apa lo tau kebodohan lo itu Eryufia Naradillah?!"

Nara berjengit mundur, kemarahan sang kakak kali ini sangat menakutkan. "Ya.. abis, jaraknya cukup jauh jadi gue.. gue gak bisa melihatnya dengan jelas." Cicitnya.

"Fuck!"

Bagas memukul setir mobilnya, sebelum berbalik menuju arah jalan pulang. Percuma saja pencarian yang dilakukan mereka sekarang jika tidak ada petunjuk.

Buang-buang waktu saja!

.

.

Mereka sudah sampai di mansion Bryan, karena letaknya di tengah hutan membuat mansion ini lebih mirip dengan vila.

Bryan lebih dulu turun dari mobil, kemudian ia berjalan menuju ke sisi mobil membukakan pintu untuk Sasya. "Hati-hati." Ucapnya penuh perhatian.

Para pelayan berbaris, menyambut kedatangan mereka. Sedikit heran saat melihat Sasya, didalam benak mereka bertanya-tanya. Siapakah gadis itu?

"Dia Sasya, tunangan saya." Ujar Bryan dengan nada tegas. Ia menatap dingin pelayan yang berbaris didepan rumah.

"Kami mengerti." Ucap mereka bersamaan.

Bryan menggendong Sasya memasuki rumahnya. Para pelayan itu menatap mereka sampai sosok mereka tak terlihat. "Baru kali ini saya liat tuan membawa seorang gadis." Gumam salah satu pelayan yang sudah bekerja lama disana.

Yang lain mengangguk mengiyakan, "Saya sempat berpikir kalau tuan tidak menyukai perempuan." Celetuk yang lain.

Oh, lihatlah mereka. Padahal Bryan baru saja masuk, mereka sudah berani membicarakannya di belakang.

Farrel menahan tawa saat mendengar kalimat yang terakhir. Boss nya itu memang tak terlihat menggandeng perempuan.

Siapa sangka, sekarang malah membawa seorang gadis kerumahnya.

Bryan menurunkan Sasya dan mendudukannya di tepi ranjang.

Sebelum berdiri tegak lagi, Bryan menatap wajah Sasya. "Mulai sekarang, ini kamar kamu."

Sasya mengangguk, ia menebak kamarnya ini berada di lantai dua. Karena sepanjang perjalanannya tadi, Sasya merasa Bryan berjalan di atas tangga.

"Kamar kamu dimana?" Pertanyaan itu meluncur dengan sempurna. Sasya sendiri tak menyadari, karena selama dirumah sakit Bryan selalu menemaninya. Sasya pikir, ia tak bisa jauh dari pria penolongnya ini.

Bryan tersenyum, ia mengusap pipi Sasya. "Kamar saya ada disamping kiri kamar kamu. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa panggil saya kapan pun."

"Emm..." mendengarnya Sasya merasa lebih tenang.

Bryan berdiri, ia melihat jam tangannya. "Saya harus pergi ke kantor." Ucapnya pelan.

Dahi Sasya mengerut, baru kali ini Bryan mengatakan hal tersebut. Ia tidak tahu kalau Bryan sudah bekerja.

"Aku baru tau kau sudah bekerja."

Bryan tersenyum kikuk, "Ya, saya belum pernah bilang sebelumnya. Maaf.. saya harus pergi sekarang." Pamitnya. Sebelum pergi, Bryan menyempatkan diri untuk mencium dahi Sasya.

Sasya terkejut dengan tindakan Bryan, ia mengusap bekas ciuman tersebut. Entah sudah berapa lama, ia tak merasakan ciuman kasih sayang tersebut.

Tiba-tiba Sasya teringat tentang pernyataan Bryan tadi.

"Kenapa Bryan bilang aku tunangannya didepan pelayan?"

.

.

Bagas menatap langit malam, pernikahannya dengan Kiara hanya menghitung hari saja. Menghela nafas pelan, ia benar-benar masih memikirkan Sasya.

"Gimana mungkin gua nikah, disaat gua masih kepikiran orang lain." Gumamnya.

Setetes air mata mengalir dari pelupuk matanya. Penyesalan memang selalu datang diakhir.

Ia menyesali perbuatan bejatnya dulu pada Kiara.

Harusnya Bagas bertanggung jawab sejak dulu. Jika saja itu terjadi, bukan tidak mungkin lagi kalau sekarang ia menyakiti Sasya.

"Sya lo dimana...?" Pertanyaan itu entah ditujukan untuk siapa.

"Kemarin engkau masih ada disini~"

Entah halusinasi atau bukan, yang jelas Bagas melihatnya sekarang dengan jelas.

"Bersamaku menikmati rasa ini, berharap semua takkan pernah berakhir.."

Bagas melihat bayangan Sasya lari darinya. Ia pun mencoba mengejarnya.

"Bersamamu... bersamamu.."

Tangan Bagas terulur untuk menggapai Sasya, tapi tak bisa. Padahal Sasya berada didepannya!

"Kemarin dunia terlihat sangat indah... Dan denganmu merasakan ini semua.."

Tak lelah, Bagas masih mencoba mengejar Sasya.

"Melewati hitam putih hidup ini... bersamamu.. bersamamu.."

"Sasya!" Panggil Bagas keras.

"Kini... sendiri disini.. mencarimu... tak tau dimana.."

Bayangan Sasya hilang, Bagas mencoba mencari. Tapi kemana? Tangannya terkepal, memikirkan kemungkinan yang terjadi.

"Semoga tenang... kau disana.. selamanya....."

"Aaaaaarghh!" Teriakan Bagas memenuhi rumahnya!

Nara yang kebetulan lewat mengahampiri Bagas. "Kak! Lo kenapa? Kenapa lo teriak-teriak tadi?" Tatapannya dipenuhi kekhawatiran.

"Aku... selalu mengingatmu.. Doakan mu.. setiap malamku.. semoga tenang... kau disana.. selamanya..."

"Sasya... Sasya.." gumam Bagas lirih. Menarik surainya yang memang berantakan. Ia menangis pilu.

"Sasya... lo kemana.." begitu terus menerus.

Nara menggigit bibir, kondisi Bagas makin memburuk saja. Sekilas ia memang terlihat waras. Tapi beginilah Bagas jika dia ditinggal sendiri.

"Kak lo tenang dulu.. kita cari Sasya sama-sama!" Bujuk Nara pelan. Kedua tangannya merangkum wajah Bagas.

"Kita kerumah sakit besok! Cari tau tentang nama pasien disana oke?" Kali ini Bagas mengangguk.

"Jangan kayak gini. Lo bikin adek lo sedih tau gak?" Nara memeluk kakaknya sayang. Gimanapun Bagas memang kakaknya.

.

.

Bryan menghela nafas pelan, ia melirik Farrel lewat ekor mata. Dirinya memang bukan tidak tau kalau tadi siang ada seseorang yang memperhatikannya saat menggendong Sasya diparkiran.

Wajah itu... Bryan pernah melihatnya. Keluarga Eryudha?

"Farrel, tolong cari tau tentang anak keluarga Eryudha. Secepatnya!" Perintahnya itu mutlak!

Dengan gerakan cepat, Farrel mengetik di laptop. Sesekali ia menelpon seseorang. Mungkin kawan sesama detektifnya dulu?

Entahlah, yang jelas Bryan hanya menunggu hasilnya.

Menaikan alis bingung saat ia menerima telpon masuk.

"Saya si-" kalimatnya terpotong.

"BRYAN!!" Seru suara diseberang sana. Mengerjap pelan, Bryan hanya terkejut.

"Ya? Sya ada apa?" Jawabnya setenang mungkin.

"Ka-kapan kamu pulang?" Kali ini nadanya lebih terdengar mencicit.

"Sepuluh menit lagi saya sampe rumah." Ucap Bryan sambil menatap jam.

"O-oke."

Sambungan terputus, Bryan melirik sekretarisnya.

"Edo, tolong beresin meja kerja saya."

Belum juga mendapat jawaban, Bryan bergegas menuju lift. Sasya membutuhkannya! Dia harus cepat!

Sepuluh menit cukup untuk menuju rumahnya. Jangan tanya bagaimana Bryan mengendarai mobilnya! Yang jelas banyak sumpah serapah sepanjang jalan.

Sepuluh menit berlalu, Bryan memarkirkan mobilnya dengan ralih di garasi.

Secepat kilat, Bryan berlari menuju kamar Sasya. "Sya!" Teriaknya saat masuk.

Menghela nafas lega ketika melihat Sasya baik-baik saja.

Sasya terkejut saat mendengar suara Bryan. Dengan cepat ia berdiri. "Apa aku ganggu kamu?" Tanyanya dengan nada takut.

Bryan berjalan mendekat, "Saya sudah bilang kan? Kapan pun kamu butuh saya, kamu boleh panggil saya." Tangannya terulur, mengusap puncak kepala Sasya.

Sungguh manis sekali. Mereka seperti sepasang suami isteri saja.

"Aku cuma, aku..." bingung, Sasya tidak tau harus bilang apa.

"cuma apa?"

"Kamu terlalu lama,.." kepala itu tertunduk, Bryan memeluknya.

"Kamu pasti kesepian." Bryan merasa Sasya mengangguk dalam dekapannya.

"Apa perlu saya kasih kamu temen?" Kali ini gelengan yang Sasya berikan.

"Kenapa?" Bryan tak bosan bertanya.

"Aku... gak percaya lagi sama teman." Jawab Sasya parau. Kata teman mengingatkannya pada Nara. Apalagi tentang penghianatan gadis itu padanya.

"Cukup kamu aja." Sasya berkata lirih.

Bryan tersenyum, "Ya, cukup saya aja." Angguknya pelan.

Bryan menuntun Sasya untuk berbaring, hari sudah malam. Sasya harus beristirahat. "Kamu udah minum obat kan?"

"Umm.."

"Tidurlah.. saya bakal temenin kamu sampe kamu tidur." Detik itu juga Sasya memejamkan matanya. Tak lupa ia memegang lengan Bryan, beberapa hari ini. Sejak dirinya sadar, ia selalu nyaman jika memeluk lengan Bryan.

"Selamat tidur bidadari ku.." bisik Bryan.