"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku masih belum selesai bicara! Max… Max… Ini adalah anakmu, Max… Kenapa kau tega sekali meragukan dan tidak mau mengakui darah dagingmu sendiri…? Kenapa kau sungguh tega, Max?"
Suara Qaydee Zax semakin memudar seiring dengan tubuhnya yang diseret oleh empat satpam sekaligus keluar dari bangunan hotel The Pride.
"Aku ingin kembali ke toko roti sekarang…" tukas Junny Belle sedikit ketus. Ia langsung membalikkan badan dan hendak berjalan keluar dari bangunan hotel The Pride.
"Darling… Dengarkan aku dulu, Darling… Itu bukan anakku, Darling… Aku yakin 100% dia hanya ingin menipuku dan memisahkan kita…" Tangan Max Julius meraih sang bidadari cantik kesayangannya ke dalam pelukan kehangatannya.
"Dia hamil juga, Max…" ujar Junny Belle lirih.
"Sejak kali kedua aku memilikimu di The Pride Sydney waktu itu, aku sudah tidak bersama-sama lagi dengannya. Itu sudah hampir tiga bulan yang lalu… Sedangkan dalam laporan hasil pemeriksaan ini, usia kandungannya baru tiga minggu belakangan ini… Itu pasti bukan anakku, Darling… Setelah anak itu lahir, aku akan lakukan tes DNA jika dia bersikeras mengatakan itu adalah anakku, Darling…"
"Benarkah demikian? Benarkah itu bukanlah anakmu, Max…?" desah Junny Belle lirih.
"Kami juga yakin itu bukanlah anak Pak Max, Bu Junny… Maafkanlah Pak Max, Bu Junny… Terimalah Pak Max kembali, Bu Junny…" kata beberapa karyawati yang sejak tadi terus mengikuti sedikit drama yang tengah bergolak di lantai bawah.
Max Julius terkekeh aneh dan sedikit salah tingkah. Dia mengelus-elus kepala belakangnya. Dia merasa malu diperhatikan oleh karyawan-karyawatinya sekarang ini. Namun, apabila ia tidak segera meluruskan segala situasi yang ada, bisa-bisa akan timbul kesalahpahaman lagi antara dirinya dan sang bidadari cantik kesayangannya dan mereka kembali akan terpisahkan. Tentu saja Max Julius Campbell tidak menginginkan hal demikian terjadi.
"Lagian… Lagian… Aku selalu berhati-hati sewaktu aku bersama-sama dengannya dulu, Darling… Aku yakin dan aku berani bersumpah aku selalu berhati-hati dan tidak pernah kebablasan. Hanya dengan dirimu, sungguh aku tidak bisa mengendalikan diri dan aku selalu saja kebablasan. Hanya dengan dirimu, aku selalu salah langkah dan kebablasan ke dalam…"
Mendengar itu, para karyawan-karyawati di lantai bawah meledak dalam tawa geli mereka. Kini Max Julius bahkan berlutut di hadapan sang bidadari cantik kesayangannya, meraih tangan sang bidadari cantik jelita dan mengecup-ngecup mesra tangan tersebut.
"Aku mohon jangan salah paham, Darling… Aku mohon kali ini kau harus percaya kepadaku, Darling… Kita sudah terpisahkan selama ini oleh berbagai rahasia dan kesalahpahaman yang tidak perlu. Kali ini aku tidak ingin lagi ada rahasia dan kesalahpahaman apa pun yang bisa memisahkan kita… Kau percaya padaku kan, Darling…? Kau bersedia menerimaku kembali kan, Darling…?"
Tentu saja adegan tersebut menimbulkan sorak-sorai di lantai bawah. Mata Junny Belle kontan mencelang dan bibirnya kontan terbabang lebar. Rona merah delima pun langsung menyelangkupi kedua belahan pipinya. Sungguh dia tidak menyangka sang suami tampan nirmala akan bertindak seberani dan senekat itu berlutut di hadapannya hanya untuk sebuah penerimaan kembali.
Jantung Junny Belle menjadi berpacu dalam kecepatan di atas normal. Dia sungguh sulit melukiskan perasaan sukacita dan kebahagiaan yang dirasakannya sekarang ini. Dia sungguh sulit mendeskripsikan keberuntungan dan rasa syukur yang dirasakannya sekarang ini.
"Terima dong, Bu Junny… Kasihan Pak Maxnya berlutut terus…" kata salah seorang karyawan yang lain.
"Terima dong, Bu Junny… Lelaki yang romantis nan penuh cinta seperti Pak Max ini ke mana lagi carinya…?"
"Diterima dong, Bu Junny… Kami yakin Anda berdua saling mencintai. Anda berdua memang adalah pasangan suami istri yang sungguh-sungguh serasi dan harmonis."
"Diterima dong, Bu Junny… Anda sungguh beruntung ada seorang suami yang penuh romantisme dan cinta seperti Pak Max ini di samping Anda…"
Akhirnya tanpa berpikir dua kali lagi, Junny Belle memberdirikan sang suami tampan nirmala. Dia meraih tubuh sang suami tampan nirmala ke dalam pelukannya. Max Julius pun merasa lega. Dia kembali merasa bahagia dan jiwanya kembali melambung ke langit ketujuh. Seluruh karyawan-karyawati yang bekerja di lantai satu bersorak riuh dan bertepuk tangan.
Junny Belle melepaskan pelukannya sejenak. Dia menggenggam erat kedua belahan pipi sang suami tampan nirmala. Sungguh waktu itu dia tidak bisa membendung keinginannya untuk mengecup mesra sepasang bibir sang suami yang tipis nan seksi menggiurkan.
"Wow… Ternyata Bu Junny Belle juga bisa menjadi seorang wanita yang penuh cinta dan romantisme ya…"
"Iya… Mereka memang sangat serasi dan cocok satu sama lain…"
"Ditambah lagi kisah cinta mereka sudah dimulai ketika mereka duduk di bangku SD, yang kemudian terpisah oleh berbagai rahasia dan kesalahpahaman… Tentu saja kini mereka berhak berbahagia…"
"Aduh… Romantisnya… Baru hari ini aku merasa tidak sia-sia bekerja di The Pride… Kisah cinta direktur dan nyonya direkturnya begitu romantis dan mengharukan…"
Max Julius benar-benar merasa dia begitu berbahagia saat itu. Dia merasa seolah-olah dia terbang ke sana ke sini dengan kebahagiaannya yang berputar-putar mengelilingi negeri surgawi yang ada di atas sana. Dia merasa seakan-akan dia menjadi pemilik seluruh semesta raya ini.
"Sehabis acara pembukaan cabang baru nanti, kalian semua akan mendapatkan bonus sebesar tiga bulan gaji kalian masing-masing…" kata Max Julius Campbell dengan suaranya yang membahana.
Semua karyawan-karyawati tentu saja bersorak riuh dan kembali bertepuk tangan.
Gegap gempita menggelimuni padang sanubari semua yang berada di lantai satu bangunan The Pride waktu itu.
Riak-riak gembira dan sukacita terus saja merecik cinta dan ketulusan di beranda pikiran Max Julius Campbell dan Junny Belle Campbell.
Adegan tersebut disaksikan oleh sepasang mata Qaydee Zax Thomas yang membara penuh dendam dan kebencian. Sungguh Qaydee Zax Thomas tidak bisa berbuat apa-apa pada saat itu. Ia hanya terlempai pasrah, tak kuasa menyagang takdir.
***
Seminggu berlalu lagi… Sudah seminggu ini Clark Campbell berusaha menelepon ponsel sang kekasih pujaan hati. Sudah seminggu ini juga ia mengirimkan ratusan pesan teks kepada sang kekasih pujaan hati. Akan tetapi, tak ada satu pun panggilannya yang dijawab dan pesan teksnya yang dibalas oleh Aira Antlia Dickinson. Clark Campbell mulai merasa depresi bukan main. Sudah seminggu dia tidak bertemu dengan sang bidadari cantik jelita kesayangannya dan sudah seminggu pula dia tak menerima kabar apa pun dari sang bidadari cantik kesayangannya.
"Kenapa tidak kaujawab panggilan-panggilanku selama ini? Kenapa pesan-pesan teksku juga tidak kaubalas, Aira Sayang…? Apakah kau benar-benar ingin berpisah denganku dan meninggalkan aku begitu saja?"
Clark Campbell mulai merasa depresi. Konsentrasi terhadap pekerjaannya sehari-hari menjadi mudah teralihkan. Dia tak sanggup konsentrasi bekerja lagi apabila bayangan Aira Antlia sudah muncul dan melungkup dalam benak pikirannya.