"Kau yakin, Dokter?" Junny Belle menjadi mencondongkan tubuhnya ke depan beberapa senti. "Jelas-jelas sebelumnya aku pernah cek di rumah sakit yang ada di Surabaya dan yang ada di Sydney, Dok… Terakhir kali aku dinyatakan sudah stadium dua mendekati stadium tiga. Aku bahkan sudah beberapa kali menjalani kemoterapi."
"Nah, itulah yang kami herankan… Apakah memang sampel sumsum tulang belakang Anda dan darah Anda benar-benar diambil dan diteliti oleh laboratorium rumah-rumah sakit tersebut, Nyonya Junny?" Kening si dokter ahli kanker tersebut tetap terlihat berkerut dalam.
"Mmm… Apakah kau sudah memeriksa semua sampel yang diambil tadi dengan saksama, Dokter?" tanya Max Julius dengan raut wajah datar.
"Laboratorium kami tidak pernah salah, Pak Max Julius. Laboratorium kami dan rumah sakit kami ini dengan segala staff-nya telah berkecimpung dalam pengalaman yang sama selama lebih dari 30 tahun." Si dokter ahli kanker tersebut terlihat menghela napas panjang.
"Atau kalau Anda-anda tidak percaya, mungkin kami bisa memeriksa dan meneliti ulang lagi…" Si dokter memberikan saran lagi.
Max Julius langsung mengangkat tangannya ke udara menyudahi saran dokter itu. "Tidak… Mengambil sampel sumsum tulang belakang itu bukan perkara mudah, Dokter… Karena memang dalam dua bulan terakhir ini, istriku tidak menunjukkan gejala-gejala seorang penderita kanker darah, aku percaya dengan hasil pemeriksaan laboratorium rumah sakit ini."
Si dokter ahli kanker tersebut hanya mengangguk lemah.
"Namun, jika seandainya mendadak timbul gejala-gejala yang tidak beres di tubuh istriku, aku tak bisa menjamin nama baik rumah sakit ini ya, Dokter…" desis Max Julius Campbell dengan sorot mata tajam dan dingin membekukan sumsum tulang.
Junny Belle menatap sorot mata suaminya dengan penuh perhatian. Mau tidak mau Junny Belle merasa sedikit bergidik. Memang sikap Max Julius terhadapnya sudah kembali seperti dulu – sudah seromantis, sudah selembut, dan sudah sehangat dulu. Namun, terhadap musuh-musuhnya, terhadap orang yang dia ketahui berniat mengelabui atau mengintimidasinya, terhadap orang-orang yang dia ketahui bisa mendatangkan bencana dan bahaya, Max Julius tetaplah seorang pemimpin yang kejam, tak berperasaan, dan bahkan terkadang bengis dan brutal.
"Saya berani menjamin, Pak Max Julius… Rumah sakit dan laboratorium kami berani menjamin takkan muncul tanda-tanda kanker darah pada tubuh Nyonya Campbell ini. Dari hasil pemeriksaan ini, kami nyatakan tubuh Nyonya Campbell ini sehat 100%..." kata si dokter dengan nada suara yang lebih rendah. Terus terang, dia juga tidak suka ada orang kaya yang berniat mempermalukan nama baik rumah sakit dan menginjak-nginjak harga diri profesinya sebagai seorang dokter.
"Oke… Aku terima hasil pemeriksaan ini…" kata Max Julius dingin. Ia menerima seluruh hasil pemeriksaan sang bidadari cantik kesayangannya masih dengan mimik wajah datar nan tanpa ekspresi.
Si dokter tersebut mengantar mereka sampai ke pintu depan rumah sakit.
"Oke… Saya permisi dulu… Salam sehat selalu, Pak Max Julius, Bu Junny Belle…" kata si dokter mengundurkan diri dari hadapan mereka berdua.
Junny Belle terus menatap raut wajah sang pangeran tampan yang dingin, datar nan tanpa ekspresi. Max Julius tahu dia diperhatikan sampai sebegitunya oleh sang bidadari cantik kesayangannya. Dia mencubit gemas kedua belahan pipi sang bidadari cantik kesayangannya.
"Jangan lihat aku seperti itu, Junny Darling… Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk pemeriksaan kesehatanmu…"
Junny Belle tersenyum lemah lembut sekarang. Ketika dirasakannya pribadi sang pangeran yang lembut, hangat nan romantis sudah kembali, dia memeluk tubuh sang pangeran dan merebahkan kepalanya ke dada sang pangeran tampan nirmala yang bidang, kekar, tegap nan bedegap.
"Aku kira kau akan menelan dokter itu bulat-bulat, Max Sayang…"
"Ini adalah pemeriksaan salah satu penyakit mematikan, Darlingku… Mendadak dia bilang kau sehat 100% padahal sebelumnya kau sudah beberapa kali menjalani kemoterapi. Siapa yang bakalan percaya coba?"
"Iya… Mengherankan sekali…" Junny Belle tampak berpikir keras dalam lamunan alam pikirannya.
"Apakah selama beberapa bulan terakhir ini, gejala-gejala kanker darahmu ada muncul tidak, Darlingku?" tanya Max Julius masih memeluk sang bidadari cantik jelita dengan nada suara khawatir.
"Tidak ada sih… Hanya dua bulan ini aku merasakan morning sickness. Aku mengira itu adalah salah satu tanda kanker darah ini sudah bertambah parah. Ternyata itu adalah gara-gara aku mengandung…" Junny Belle masih merebahkan kepalanya ke dada sang pangeran tampan nirmala.
Max Julius membelai-belai kepala hingga punggung sang bidadari cantik jelita. Terngiang-ngiang kembali kata-kata Clark Campbell ketika luka bakar pada wajahnya juga mengalami kesembuhan ajaib yang aneh nan misterius.
Aduh… Benaran deh… Kau harus berterima kasih pada keperawanan Junny Belle yang berhasil kaurenggut deh.
Max Julius jadi bertanya-tanya dalam gerunyam senandika batinnya.
Benarkah keperawanan Junny Darlingku ini bisa menjadi semacam obat yang misterius? Bukan hanya menyembuhkan lelaki yang berhasil mendapatkan keperawanannya, melainkan juga bisa menyembuhkan dirinya sendiri… Benarkah ada hal yang sungguh tidak masuk akal di dunia nyata ini? Dengan demikian, aku jadi tidak perlu mencari lagi kenalan lama Daddy itu yang katanya memiliki obat ramuan ajaib penyembuh segala penyakit…
Junny Belle juga bertanya-tanya dalam gerunyam senandika batinnya.
Mustahil bisa langsung sembuh seperti ini… Jelas-jelas aku sudah beberapa kali menjalani kemoterapi. Kenapa bisa langsung sembuh begitu saja seperti ini? Misterius sekali… Ada apa ini? Namun, memang benar sih sudah dua bulan belakangan ini aku tidak merasakan gejala-gejala kanker darahku ini kambuh… Ada apa sebenarnya yang tengah berlaku di sini?
Karena terlalu pusing berspekulasi sana-sini, Junny Belle memilih untuk menepis saja segala tanda tanya dan tanda seru yang meragas alam pikirannya. Dia memilih untuk menikmati saja dan bersyukur terhadap segala keberuntungan dan berkah yang diperolehnya ini.
"Oke deh, Darling… Kalau sudah tidak kenapa-kenapa, ya baguslah… Jangan dipikirkan lagi… Yang penting bayi kita sehat, dan kau juga sehat 100% sehingga ke depannya kau tak bakalan punya alasan untuk mendadak pergi meninggalkan aku lagi…" Max Julius berusaha berguyon dengan memasang aksi manja dan imutnya.
"Kecuali kalau ke depannya mendadak Qaydee Zax Thomas datang ke Jakarta ini dan mengklaim haknya atas dirimu kembali, Max Sayang…"
"Aku bukan barang, Junny Darlingku… Dia tidak memiliki hak atas diriku… Aku berhak mencintai siapa saja dan berhak memutuskan aku ingin dengan siapa. Dalam hal ini, aku mencintaimu… sangat mencintaimu dan hanya ingin menghabiskan hidup ini bersamamu dan kelak anak-anak kita…" kata Max Julius sedikit memajukan lagi sepasang bibirnya sehingga itu menciptakan kesan imut dan gemas pada wajahnya yang tampan nirmala.
Junny Belle meledak dalam tawa lemah lembutnya. Ia mengecup mesra sepasang bibir sang pangeran tampan nirmala yang sengaja dimajukannya itu.
Max Julius membawa sang bidadari cantik kesayangannya keluar dari bangunan rumah sakit tersebut.
Lindap syukur menggelimuni pangkal pikiran Max Julius Campbell dan Junny Belle Polaris.