Perlu beberapa detik bagi Vallentco Harianto untuk merenung sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya dengan antusias.
"Oke deh... Berarti kita ini saling melengkapi ya… Apakah… Apakah… Apakah itu berarti aku bisa menganggapmu sebagai sahabatku mulai dari hari ini?" tanya Vallentco Harianto entah kenapa bisa merasa deg-degan.
Jay Frans Xaverius mengangguk antusias. "Sejak pertama kali kita berkenalan aku sudah menganggapmu sebagai teman dan sahabatku. Sakitnya hatiku ini karena sampai detik ini kau baru mau mengakui pertemanan dan persahabatan kita."
"Oke… Oke… Mulai detik ini, Jay Frans Xaverius adalah teman baik, sahabat baik, saudara dari Vallentco Harianto…" ujar Vallentco Harianto.
Kedua anak itu meledak dalam tawa lepas mereka. Detik-detik berikutnya dilewatkan mereka dengan mencoba satu per satu koleksi game yang dimiliki oleh Vallentco Harianto.
Bahagia dan gegap gempita melungkup di tudung sanubari Jay Frans Xaverius dan Vallentco Harianto siang itu.
***
Tahun ini adalah tahun Vallentco Harianto dan Jay Frans Xaverius duduk di kelas dua SMP. Seperti masa remaja pada umumnya, masa remaja keduanya juga merupakan masa-masa penuh dengan impian setinggi langit, harapan seluas samudra, dan antusiasme tak berujung seluas sabana Afrika.
"Ada apa mengajakku ketemuan di sini lagi? Kan kemarin sudah kubilang, aku sama sekali tidak ada perasaan apa pun padamu, Jay Frans… Aku tuh sukanya sama Adam Levano Smith. Kau tuh kok tak bisa mengerti dan asyik mengejar-ngejarku sih?" ujar Violeta Pretty sedikit ketus nan kasar kepada Jay Frans Xaverius yang sudah duduk menunggunya di kafe samping sekolah selama dua jam lebih.
Jay Frans Xaverius berusaha tersenyum selembut mungkin meski hatinya sakit teriris mendengar penolakan kejam dari Violeta Pretty, siswi kelas satu SMP yang memang terkenal materialistis.
"Aku hanya ingin memberimu ini…" kata Jay Frans Xaverius menyodorkan hadiahnya yang kecil dan telah dibungkus rapi dengan kertas kado.
Kauberikan dia anting-anting ini… Jika dia menerima hadiah ini dan langsung bersikap manis padamu, jauhilah gadis itu, Jay… Dia hanya menginginkan uang dan kekayaanmu. Dia tidak tulus menyukaimu… Masih terngiang-ngiang suara Vallentco Harianto ketika Vallentco Harianto membelikan anting-anting yang harganya jutaan itu untuk sahabatnya yang hari ini dijadikannya sebagai hadiah kepada Violeta Pretty.
"Apa ini? Jangan lagi hadiah pulpen dan pensil mekanik seperti yang kemarin-kemarin ya… Pulpen dan pensil mekanik saja aku bisa beli tuh di mana-mana…" kata Violeta Pretty masih ketus dan kasar.
Violeta Pretty tanpa segan-segan langsung merobek kertas kado pembungkus hadiah tersebut di hadapan Jay Frans Xaverius dan membuang kertas kadonya begitu saja ke meja. Namun, begitu dia membuka kotak hadiah tersebut, matanya langsung membelalak lebar melihat sepasang anting-anting emas yang berkilauan di bawah temaram lampu neon kafe. Dia melihat sekali lagi ke Jay Frans Xaverius, tapi kali ini dengan sorot mata yang sedikit berbeda.
"Oh, aku tidak tahu kalau hari ini kau akan memberiku anting-anting ini, Jay…" Mendadak saja Violeta Pretty bergaya manja.
Violeta Pretty dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi sekarang pindah duduk di samping Jay Frans Xaverius dengan jarak yang sedemikian dekat. Dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi pula, ia menyibakkan rambutnya ke belakang.
"Sebenarnya kau tidak usah repot-repot memberiku ini, Jay… Aku mau kok makan siang bersama-sama denganmu di kafe ini siang ini. Hari ini juga bukan ulang tahunku. Jadi, kau tidak usah repot-repot memberiku anting-anting ini, Jay…" Violeta Pretty berusaha menunjukkan senyuman yang seindah mungkin untuk Jay Frans Xaverius.
Jay Frans Xaverius mulai merasa muak dan jijik terhadap gadis ini. Senyuman gadis ini pada awalnya terlihat indah memabukkan. Namun, sekarang di mata Jay Frans Xaverius senyuman gadis ini terlihat agak sedikit menjijikkan. Hilang sudah semua rasa suka Jay Frans Xaverius terhadap gadis yang kini duduk teramat dekat di sampingnya.
"Oke… Kau mau pesan apa? Aku hanya sanggup membayarimu makan nasi putih dan minum air putih…" kata Jay Frans juga tidak lagi seramah dan selembut sebelumnya.
Violeta Pretty meledak dalam tawa renyahnya yang terkesan sedikit genit. "Jay Frans… Kau lucu sekali… Kau bisa saja… Masa kau bisa membelikanku anting-anting ini, tapi sekarang kau hanya bisa traktir aku makan nasi putih dan minum Aqua saja…"
Jay Frans tersenyum skeptis. "Apakah sekarang setelah aku mengatakan aku hanya bisa membayarimu makan nasi putih dan minum Aqua, kau mau langsung pergi dari sini? Kalau begitu, it's fine… Pintu kafe ini ada di sebelah sana…"
Violeta Pretty tertawa renyah dan berusaha membujuk lagi. "Jangan begitu dong, Jay Sayangku… Aku tahu kau hanya bercanda… Ayo dong kita pesan makan dan minum sekarang… Aku sudah lapar banget nih…"
"Jadi sekarang kau sudah ingin makan sama-sama denganku? Jadi sekarang kau sudah tidak menyukai si Adam Levano Smith itu lagi?"
"Sebenarnya masih menyukainya sih… Akan tetapi, dianya yang tidak memiliki perasaan yang sama kepadaku. Jadi aku juga tidak bisa memaksakan perasaanku ini terhadapnya. Kalau… Kalau… Kalau ada laki-laki yang jauh lebih baik dibandingkan dengan si Adam Levano Smith dan laki-laki itu memiliki perasaan khusus terhadapku, kenapa nggak, iya kan?"
Tangan Violeta Pretty mulai nakal. Dia mulai memegang dan mengelus-elus paha Jay Frans Xaverius. Jay Frans Xaverius hanya diam nan tak bergerak sedikit pun.
Vallentco Harianto yang menyamar menjadi seorang pelayan kafe, terlihat mengenakan sebuah topi warna hitam, mengenakan kacamata hitam, berjalan ke arah meja sahabatnya membawa nampan dengan dua gelas air putih di atasnya.
"Air putihnya, Tuan, Nona…" kata Vallentco Harianto.
Violeta Pretty juga mengernyitkan keningnya kenapa pelayan kafe ini bisa semuda ini – hampir seumuran dengan dirinya. Akan tetapi, dia sama sekali tidak menyangka pelayan kafe itu adalah Vallentco Harianto yang sedang menyamar. Dia baru menyadari pelayan kafe itu adalah Vallentco Harianto yang sedang menyamar tatkala dengan sengaja Vallentco Harianto menjatuhkan dua gelas berisi penuh air putih tepat ke atas kepalanya.
"Aaiihh… Apa-apaan kau ini! Ternyata kau… Vallentco Harianto! Berani-beraninya kau menyiramkan air putih ke kepalaku!" teriak Violeta Pretty.
"Itulah hukumanmu karena kau telah berani menghina-hina sahabatku ini! Awas kalau aku dengar di lain waktu kau menghinanya lagi ataupun menggosipkannya dari belakang! Kau akan terima yang jauh lebih mengerikan daripada ini!" kata Vallentco Harianto dengan matanya yang mendelik tajam.
"Aku takkan mengampunimu, Vallentco Harianto! Aku takkan mengampuni kalian berdua!" Teriakan Violeta Pretty begitu nyaring dan berkumandang sampai ke seisi kafe tersebut.
"Minggir kau!" Vallentco Harianto mendorong tubuh Violeta Pretty ke samping dengan kasar. Dia melingkarkan lengannya ke pundak Jay Frans Xaverius dan membawa sahabatnya keluar dari kafe tersebut.
Terlihat kedua pasangan homo itu berlalu keluar dari kafe tersebut dengan berjalan beriringan. Violeta Pretty hanya bisa berteriak seperti orang gila sambil menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
Vallentco Harianto mengajak Jay Frans Xaverius masuk ke dalam mobilnya.
"Kita mau ke mana?" tanya Jay Frans setelah sopir menjalankan mobil sampai ke tengah-tengah lalu lintas kota Surabaya yang lumayan padat.
"Ke kafe lain makan siang dong… Kau belum makan siang kan?" cetus Vallentco Harianto ringan nan santai.
"Belum… Thanks banget ya, Val… Kau melindungi dan membelaku lagi…"
"Sama… Kau juga selama ini membela dan melindungiku…" Senyuman tulus terpancar dari wajah Vallentco Harianto yang sebenarnya tergolong biasa-biasa saja.
"Benaran kita jadinya saling melengkapi ya…" sahut Jay Frans Xaverius tersenyum hambar.
"Mungkin itu sudah takdir kita berdua…" ujar Vallentco Harianto singkat, jelas, padat, berisi.
"Di antara banyak teman-teman sekolahmu, kenapa kau bisa menjatuhkan pilihanmu kepadaku, Val?" tanya Jay Frans seraya memandang santai pemandangan jalanan kota Surabaya.
Vallentco Harianto menatap Jay Frans Xaverius selama beberapa detik sebelum akhirnya ia membuka mulutnya dan berujar,
"Sejak kau menanyakan kepadaku bagaimana kalau mulai sekarang kita saling melengkapi. Sejak saat itu, aku merasa kita ini memang ditakdirkan untuk bersama… ditakdirkan untuk terus bersahabat selamanya…" kata Vallentco Harianto dengan nada yang sedikit janggal nan misterius.
Jay Frans Xaverius tersenyum hangat sekarang. Tentu saja waktu itu, dia masih belum memahami sepenuhnya apa maksud Vallentco Harianto dengan mengatakan mereka ditakdirkan untuk bersama selamanya.
"Bersahabat selamanya…" ujar Jay Frans Xaverius antusias.
"Hidup itu sulit ditebak… Setidaknya itulah yang aku alami dalam hidupku sampai dengan sekarang, Jay... Apa yang akan terjadi di masa depan masih merupakan sebuah misteri. Namun, aku yakin ke depannya kita akan terus bersama…"
Senyuman tulus lagi-lagi terpancar dari wajah Vallentco Harianto yang tergolong biasa-biasa saja. Keriap tanda tanya dan tanda seru berkelebat di tebing pikiran Vallentco Harianto siang itu.