"Berani sekali kau meneriakiku ya!" Satu tamparan mendarat ke wajah Vallentco Harianto. Karena tamparan tersebut terlalu kuat, kontan tubuh Vallentco Harianto menempel ke dinding.
"Baru pinjam sebentar saja tidak boleh kau ya! Belagu banget sih kau ini mentang-mentang peralatan dan perlengkapan belajarmu ini yang paling banyak! Ini nih… Aku akan merusak semua ini! Aku akan menghancurkannya! Besok-besok kau tetap bisa membeli yang baru kan! Kurusak saja semua ini!"
Si anak lelaki itu bahkan mengajak anak-anak lain yang satu geng dengannya untuk mengobrak-abrik seluruh isi tas, kotak pensil dan spidol-spidol warnanya itu. Koleksi spidol warna dengan 80 warna jatuh berserakan di lantai. Ada beberapa spidol yang terpisahkan antara badan spidol dan penutup spidolnya. Vallentco Harianto tidak berhenti menangis. Dia hanya bisa menangis sesenggukan, menyaksikan dengan mata bulat-bulat sekumpulan anak lelaki kurang ajar itu merusak isi tas, kotak pensil, dan spidol-spidol warnanya.
Ada yang mematahkan penggaris Vallentco Harianto; ada yang mencampakkan rautan-rautannya ke lantai hingga pecah berkeping-keping; dan ada yang mencampakkan pulpen-pulpen dan pensil-pensil mekaniknya ke lantai hingga hancur berkeping-keping.
Vallentco Harianto terus menangis sesenggukan – tiada titik, tiada akhir.
Mendadak saja ada tangan salah seorang anak lelaki itu yang dicegat oleh tangan anak lelaki yang lain. Tawa mereka berhenti. Mereka serta-merta berpaling dan mendapati Jay Frans sedang mencegat tangan salah seorang anak lelaki yang sudah hendak mengoyak buku pelajaran milik Vallentco Harianto.
"Aku paling benci sama orang-orang yang pandainya hanya main keroyok seperti ini!" desis Jay Frans Xaverius penuh dengan sarkasme.
Jay Frans mencengkeram kuat tangan si anak lelaki yang sudah hampir mengoyak buku pelajaran bahasa Indonesia milik Vallentco Harianto. Si anak lelaki menjerit nyaring kesakitan. Buku pelajaran bahasa Indonesia milik Vallentco Harianto langsung terlepas dari genggaman tangannya.
"Aduh! Sakit! Tolong aku, Bu Guru! Tolong aku, Bu Guru! Jay Frans mencengkeram tanganku sampai memar nih!" teriak si anak lelaki itu.
Mendengar teriakan si anak lelaki yang minta tolong pada guru mereka yang sedang mengoreksi kertas-kertas ujian di depan kelas, Jay Frans Xaverius sontak mendorong mundur tubuh anak itu hingga tubuh anak itu juga menempel pada dinding.
"Jay Frans! Dasar anak nakal kau ya! Sini kau!"
Mau tidak mau Jay Frans bergerak maju dari bagian belakang ruangan kelas ke bagian depan kelas.
"Memang anak kurang ajar kau! Kapan kau akan berhenti main kekerasan terhadap teman-temanmu hah!" teriak si ibu guru.
Tamparan demi tamparan ke pipi kiri dan pipi kanan didapatkan oleh Jay Frans Xaverius dari si ibu guru. Sekumpulan anak-anak lelaki yang menindas Vallentco Harianto hanya bisa meledak dalam tawa cekikikan mereka melihat Jay Frans Xaverius ditampar oleh guru mereka berkali-kali di depan kelas.
Namun, satu hal yang tidak mereka sangka-sangka, juga tidak disangka-sangka oleh si ibu guru itu… Vallentco Harianto langsung menerjang ke depan kelas dari bagian belakang kelas. Dia serta-merta memeluk Jay Frans Xaverius. Akibatnya, satu tamparan dari si ibu guru mengenai kepala belakang dan tengkuk belakang Vallentco Harianto.
"Jay Frans membelaku karena mereka semua merusak peralatan dan perlengkapan belajarku! Mereka menindasku! Mereka bahkan ingin mengoyak buku-buku pelajaranku! Kenapa kau malah menghukum Jay Frans! Guru macam apa kau, Guru Idiot!" teriak Vallentco Harianto ke si ibu guru dengan sepasang matanya yang melotot lebar.
Teriakan nyaring Vallentco Harianto siang itu bagai ledakan bom atom yang mendiamkan seisi kelas. Si ibu guru idiot yang diteriaki oleh Vallentco Harianto hanya bisa membisu seribu bahasa dengan mata yang mencelang dan mulut yang melangah. Sungguh ia terperanjat kaget diteriaki oleh seorang murid yang selama ini baik, pendiam, penurut, rajin, dan berprestasi cemerlang di kelas.
Seisi kelas juga terdiam membisu seribu bahasa. Si anak baik Vallentco Harianto mulai menunjukkan sisi-sisi perlawanan dan pemberontakannya. Sejak saat itu, teman-temannya tahu Vallentco Harianto bukanlah seorang anak yang bisa diremehkan. Selain karena ayahnya adalah salah satu pengusaha sukses di Surabaya dan di Indonesia, di sampingnya selalu terlihat Jay Frans Xaverius yang selalu bersedia membela dan melindunginya.
Waktu berlalu dengan cepat. Ayah Vallentco Harianto dipanggil ke sekolah dan tentu saja ia tidak terima melihat anaknya ditindas oleh anak-anak yang berasal dari kalangan yang ada di bawahnya. Semua anak itu mendapat surat peringatan keras dari sekolah. Si guru yang telah menampar Jay Frans Xaverius berkali-kali, atas laporan dari Vallentco Harianto kepada si kepala sekolah, langsung diberhentikan pada hari itu juga.
***
"Ini kamarmu…? Wah… Kamarmu saja sepuluh kali lipat dari luas kamarku, Jay… Bolehkah aku duduk di atas tempat tidurmu?" tanya Jay Frans Xaverius memandang ke seisi kamar pasangan homonya dengan sinar mata antusias.
"Tentu saja… Duduklah sebentar… Aku akan mengoleskan obat memar ke pipimu…" kata Vallentco Harianto mengeluarkan obat memar dari kotak P3K-nya. Dia mulai mengoleskan obat memar ke kedua belahan pipi Jay Frans Xaverius.
"Thanks banget ya sudah membelaku tadi… Jika tidak ada kau, aku pasti akan dihukum di kantor BP lagi…" Senyuman tulus menghiasi wajah Jay Frans yang sebenarnya tergolong biasa-biasa saja.
Senyuman juga merekah dan mendekorasi wajah Vallentco Harianto yang tergolong standar wajah anak remaja pada umumnya di kota Surabaya.
"Kau juga telah membelaku habis-habisan, Jay… Kalau tadi tidak ada kau, bisa kubayangkan buku-buku pelajaranku pasti akan habis dikoyak oleh mereka…" kata Vallentco Harianto dengan nada sendu.
Jay Frans Xaverius mengangguk mantap. Dia sedikit meringis perih setiap kali Vallentco Harianto mengoleskan obat memar tersebut ke bagian yang terasa sakit.
"Guru sialan…! Bisa-bisanya dia memukulmu dengan sebegitu kuatnya! Kalau tadi yang kena adalah aku, ayahku pasti sudah akan melaporkannya ke polisi. Ayahku akan langsung menyeret kasus ini ke pengadilan."
"Sudahlah… Tak apa-apa, Val… Aku memang sudah terbiasa mendapat perlakuan yang tidak adil di sekolah dari guru-guru, dan bahkan terkadang dari si kepsek sendiri. Sudah biasa bagiku…" celetuk Jay Frans Xaverius tersenyum lemah lembut.
"Mulai dari detik ini takkan ada yang boleh memperlakukanmu secara tidak adil lagi – baik itu guru bidang studi mana pun, kepala sekolah tingkat mana pun, maupun staff-staff bidang mana pun," tukas Vallentco Harianto sedikit gusar.
Vallentco Harianto selesai mengoleskan obat memar ke kedua belahan pipi pasangan homonya. Dia menyimpan kembali obat memar tersebut ke dalam kotak P3K-nya.
"Thanks banget ya… Mulai detik ini juga, tak ada seorang pun yang bisa mengganggumu lagi… Akan ada aku yang selalu membela dan melindungimu, Val…" kata Jay Frans Xaverius sedikit membusungkan dadanya.
Vallentco Harianto tersenyum hangat. Jay Frans Xaverius tersenyum ceria.
"Kau memiliki banyak game rupanya, Val…" kata Jay Frans Xaverius memandang takjub ke koleksi game keluaran terbaru milik Vallentco Harianto.
"Kau mau main? Ya kaunyalakan sendiri saja ya… Aku malas…"
"Kau pasti sudah memainkan semua game ini berkali-kali..." celetuk Jay Frans Xaverius menyeringai lebar.
"Tidak… Aku bahkan tidak pernah menyentuh game-game itu sama sekali…" tukas Vallentco Harianto dengan nada suara sendu.
"Kenapa memangnya? Kau tidak suka main game?" tanya Jay Frans Xaverius menaikkan sedikit kedua alisnya – heran nan bingung.
"Tidak juga sih… Hanya saja, selama ini aku hanya main sendiri, hanya melawan sistem dari komputer… Tidak ada yang menemaniku bermain… Untuk apa main game kalau hanya bermain melawan sistem dari komputer?" celetuk Vallentco Harianto merasa jenuh.
Jay Frans tersenyum sedikit miris. Dia tahu memang anak orang kaya seperti Vallentco Harianto ini tergolong ke tipe anak-anak yang kesepian. Dia menepuk halus bahu Vallentco Harianto.
"Aku kebalikan darimu, Val… Aku bahkan tidak berani bermimpi aku akan berkesempatan memainkan game-game seperti ini… Bagaimana kalau mulai sekarang kita saling melengkapi?" tanya Jay Frans Xaverius.
Pertanyaan Jay Frans ini memang terdengar sepele bagi dirinya sendiri. Namun, pertanyaan tersebut terdengar sangat berarti di telinga Vallentco Harianto saat itu juga dan akan sangat berpengaruh dalam hubungan di antara keduanya di kemudian hari.
"Apa maksudmu?" tanya Vallentco Harianto polos. Saat itu memang dia belum mengerti dia sudah merasakan riak-riak perasaan yang tidak wajar kepada sahabatnya ini.
"Aku akan menemanimu belajar dan bermain… Mulai hari ini, aku akan menemanimu ke mana saja, melakukan apa saja…"
"Aku traktir kau makan dan minum, membayari semua kebutuhanmu dan semua yang kita lakukan bersama. Itukah maksudmu?" tanya Vallentco Harianto dengan sebersit senyuman skeptis.
"Ya… Kau kan tahu kondisi perekonomian keluargaku…" tukas Jay Frans Xaverius sedikit menundukkan kepalanya. "Sebagai gantinya aku akan selalu membela dan melindungimu. Bagaimana, Val?"
Perlu beberapa detik bagi Vallentco Harianto untuk merenung sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya dengan antusias.