"Jadi karena berutang budi, ia merelakan dirinya menjadi seorang pemuas nafsu untuk Vallentco Harianto… Begitukah?"
"Jangan salah, Junny Darling… Aku dengar Vallentco Hariantolah yang menempati posisi bottom. Jay Franslah yang menjadi posisi top…" bisik Max Julius merasa sedikit malu.
"Wow… Kau merasa malu jadinya, Max Sayang…" Junny Belle meledak dalam tawa lemah lembutnya.
"Tentu saja malu… Bagiku pasangan homoseksual itu benar-benar tidak masuk di akal… Benar-benar sakit jiwa orang-orang itu…" dengus Max Julius sedikit sengit.
"Namanya mereka ada masalah kelainan psikologi, Max Sayang… Namun, di sini aku jadi merasa sedikit salut terhadap Vallentco Harianto. Dibutuhkan cinta yang sebegitu besar supaya bisa berkorban sebegitu banyak untuk orang yang kita cintai." Junny Belle menghela napas panjang.
"Aku tahu pengorbananmu sungguh banyak untuk diriku selama ini, Junny Darling…" Max Julius mengeratkan pelukannya terhadap sang bidadari cantik jelita.
Junny Belle hanya tersenyum lemah lembut menikmati pelukan hangat dari sang pangeran tampan nirmala.
"Jadi bagaimana kau membalas mereka, Max Sayang?"
"Aku tahu diam-diam di belakang Vallentco Harianto, Jay Frans memiliki seorang kekasih… Detektif sewaanku berhasil merekam kencan mereka di hotel, di tempat-tempat lain dan berhasil mengambil beberapa foto mereka sebagai bukti…"
"Jay Frans Xaverius berselingkuh dengan lelaki lain, Max Sayang?"
"Tidak… Dia sebenarnya normal, Junny Darling… Kan dia bersama-sama dengan Vallentco Harianto hanya karena dia merasa berutang budi. Dia memiliki seorang kekasih perempuan, sama-sama pemain film di Australia sana juga…" kata Max Julius ringan nan santai.
"Kauserahkan video dan foto-foto itu kepada Vallentco Harianto?" Alis Junny Belle naik lagi beberapa senti.
Max Julius mengangguk ringan dan santai.
"Mereka pasti bertengkar hebat setelah itu…" tukas Junny Belle.
"Begitulah… Setelah itu aku tidak tahu-menahu lagi apa yang terjadi dengan mereka…" jawab Max Julius ringan dan santai.
Junny Belle tersenyum lemah lembut, membenamkan kepalanya ke dalam pelukan hangat sang pangeran tampan, dan tangannya kembali bermain-main nakal di area dada sang pangeran tampan nirmala yang bidang, kekar, tegap nan bedegap.
"Kau pasti merasa aku adalah orang yang kejam nan tidak berperasaan bukan?" bisik Max Julius lirih, antara perasaan menyesal dan sedikit perasaan bersalah.
Junny Belle menggeleng cepat. "Tidak, Max Julius Sayang… Setiap orang berhak merasa marah dan benci, Sayang… Hanya saja, setelah kau membalaskan semua sakit hati dan kebencianmu, aku harap ke depannya kau tak lagi berpaling ke masa lalu dan melihat hidup ini dari kacamata benci. Aku berharap ke depannya kau bisa melihat ke masa sekarang dan melihat lurus ke depan dengan kacamata cinta dan kasih sayang. Kau mau kan?"
"Oh, tentu saja, Darling… Kau memang bukan manusia, Darling… Kau adalah seorang malaikat cantik jelita yang dikirimkan Tuhan untuk menemani dan mencintaiku…"
Max Julius tidak melepaskan pelukannya. Detik-detik berikutnya dilewatkan sejoli tersebut membahas tentang apa-apa saja yang akan mereka lakukan ketika kedua anak kembar mereka sudah lahir nanti, dan rencana masa depan dan hari tua mereka.
Bahagia dan canda tawa merecup cinta di ujung muara sanubari Max Julius Campbell dan Junny Belle Polaris.
***
Sydney, awal Agustus 2013
Tampak kamar apartemen Vallentco Harianto seperti kapal pecah. Botol-botol minuman keras bertebaran di mana-mana. Vallentco Harianto sendiri tergeletak tidak berdaya di lantai ruang tamu apartemennya. Kemarin malam dia minum banyak sekali. Dia langsung jatuh tersungkur di lantai ketika dia sudah mabuk berat. Dia langsung terlelap di antara botol-botol minumannya yang berserakan di seisi lantai apartemennya.
"Kenapa kau tega mengkhianatiku, Jay? Kenapa kau tega meninggalkanku sendirian dan pergi bersama perempuan itu? Kenapa kau tidak bisa memahami sedikit pun perasaan dan ketulusanku selama ini?" Mulut Vallentco terus berkomat-kamit ria, di batas alam kenyataan dan imajinasinya.
Bayangan masa lalu kembali datang menghampiri dan membayangi.
Vallentco Harianto yang baru duduk di kelas enam SD, terlihat memasuki kelasnya di hari-hari dalam minggu pertamanya bersekolah di sekolah tersebut. Karena dia adalah anak salah satu orang terkaya di sekolah itu, peralatan dan perlengkapan belajarnya selalu full dan lengkap. Dia tidak pernah tidak membawa satu peralatan ataupun perlengkapan belajar ke sekolah. Teman-teman sekelasnya selalu meminjam peralatan dan perlengkapan belajarnya.
Les ketiga hari ini adalah les kesenian. Guru membagikan gambar untuk diwarnai. Namun, gambar tersebut begitu rumit dengan pola-pola teramat kecil yang tumpang tindih satu sama lain. Kata guru tersebut, pola-pola kecil tersebut haruslah diberi warna-warni yang berbeda sehingga perbedaan antara satu pola yang satu dengan yang lain, perbedaan antara rincian pola yang satu dengan rincian yang lain, serta perbedaan antara gambar yang satu dengan gambar yang lain bisa tampak jelas.
"Val… Pinjam warna yang itu…" Jay menunjuk ke salah satu spidol warna milik Vallentco Harianto yang berwarna pirus muda.
Vallentco mengangguk ringan. Saking lengkapnya spidol-spidol warna milik Vallentco Harianto, dia bahkan memiliki spidol yang warna pirus muda dan pirus gelap. Begitu Vallentco Harianto menganggukkan kepalanya, Jay Frans Xaverius mengambil spidol warna pirus muda itu dan menyapukannya ke gambar miliknya sendiri.
Seorang anak lain datang dan langsung main ambil begitu saja salah satu spidol Vallentco Harianto yang berwarna magenta gelap.
"Selesaikan dulu warna yang lain dong… Aku ingin memakai warna magenta gelap itu dulu…" tukas Vallentco Harianto sedikit kesal karena anak itu langsung main ambil begitu saja tanpa permisi.
"Alah… Kan kau yang bisa menyelesaikan warna lain dulu baru memakai warna magenta gelap ini. Lagian tuh, warna magentamu ada banyak sekali – dari yang paling terang sampai yang paling gelap. Kenapa mesti sekali kau memakai warna magenta gelap ini?" celetuk anak lelaki itu tanpa ada sopan santun sedikit pun.
"Kau meminjam barangku tanpa permisi dan sekarang masih bisa atur-atur aku mesti pakai warna yang mana dulu. Kau meminjam barangku tanpa permisi kau tahu nggak!" dengus Vallentco Harianto kesal. Dia mengernyitkan keningnya dalam-dalam.
Si anak lelaki itu tentu saja tidak terima dihardik oleh Vallentco Harianto.
"Kau memiliki spidol warna dengan koleksi warna terbanyak di antara kami semua di sini! Pinjam sebentar saja pun tidak boleh! Pelit sekali sih kau ini!" Si anak lelaki itu menjitak sekali kepala Vallentco Harianto. Vallentco Harianto bertambah kesal. Dia tergolong ke dalam anak lelaki yang lemah penakut yang tidak pernah main kekerasan.
"Kau meminjamnya tanpa permisi! Sudah kau yang salah, kau main-main jitak kepala orang lagi!" Suara Vallentco Harianto semakin meninggi.
"Berani sekali kau meneriakiku ya!" Satu tamparan mendarat ke wajah Vallentco Harianto. Karena tamparan tersebut terlalu kuat, kontan tubuh Vallentco Harianto menempel ke dinding.