Max Julius hanya menatap ke sang bidadari cantik jelita dengan segala macam perasaan yang bercampur baur dalam relung-relung sanubarinya.
"Tidak, Max… Yang dia katakan semuanya tidak benar… Sejak awal aku tidak pernah memberi harapan apa-apa kepada Adam Levano Smith. Aku tidak tahu kenapa Adam Levano Smith dan ketiga temannya bisa muncul di gudang panti asuhan tempat kita janjian itu. Aku benar-benar tidak tahu… Aku benar-benar tidak tahu…"
"Kalau begitu, aku ingin tanya… Kenapa kau malah ingin pulang bersamaku ketika Adam Levano Smith ingin mengajakmu masuk ke mobilnya waktu itu? Kau sudah memutuskan hubungan kita beberapa jam sebelumnya. Kau sudah mengakhiri hubungan kita. Kenapa kau malah kembali kepadaku waktu itu? Kenapa kau berbalik arah dan mau ikut aku lagi siang itu?"
"Itu karena aku… aku… aku…" Mendadak saja Junny Belle tidak bisa berkata apa-apa. Lagi dan lagi dia kehilangan keberaniannya untuk berterus-terang kepada sang lelaki tampan nirmala mengenai kondisi sesungguhnya dari penyakit kanker darah yang dideritanya.
"Kenapa? Ayo jawab aku! Ayo jawab!" Teriakan Max Julius kini mengeras dengan nada suara yang kini meninggi beberapa oktaf.
Junny Belle hanya diam menundukkan kepalanya melihat ke lantai rumah sakit. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya yang terkunci rapat. Hanya air mata yang terus menetes nan bergulir turun tiada titik tiada akhir.
"Percayalah padaku, Max… Sejak awal dia memang hanya memanfaatkan perasaanmu terhadapnya untuk menunjukkan kepada semua anak perempuan di sekolah kita bahwasanya dia bisa menggaet dua orang lelaki yang tampan sempurna sekaligus. Kini dia sudah menjatuhkan pilihannya terhadap Adam Levano Smith itu. Dia sudah memutuskan akan membantu si Adam Levano Smith itu untuk menyingkirkanmu karena dia sudah tidak lagi membutuhkan perasaanmu terhadapnya." Qaydee Zax Thomas terus mencerca Junny Belle tanpa ampun.
"Pergilah dari sini… Pergilah dari hadapanku… Aku tidak ingin melihatmu lagi, Junny Belle. Anggap saja aku yang bodoh selama ini. Anggap saja aku yang terlalu naif karena tidak bisa mengikuti ke mana jalannya sandiwaramu selama ini," tunjuk Max Julius ke arah pintu kamar rawat inapnya sembari membuang pandangannya ke arah jendela kaca kamar rawat inapnya.
"Apa kau tidak dengar apa kata Max Julius! Kau disuruh keluar loh! Iiiss…!!! Tidak bisa mengerti bahasa manusia kau ya! Ayo keluar! Ayo keluar! Jangan pernah mengganggu kehidupan Max Julius lagi kau ya! Jangan pernah menampakkan dirimu di hadapan kami lagi! Ayo keluar!"
Teriakan Qaydee Zax Thomas berkumandang nyaring dan keras ke seisi kamar rawat inap Max Julius dengan tangannya yang menunjuk ke pintu kamar rawat inap dan sepasang matanya yang melotot lebar.
Sambil terisak-isak, Junny Belle berdiri dan memalingkan badannya ke arah pintu kamar rawat inap Max Julius. Akan tetapi, sebelum berjalan keluar, dia menoleh sekali lagi ke sang pangeran pujaan hati dan menatapnya dengan pandangan yang kabur oleh air mata.
"Ayo keluar!" teriak Qaydee Zax Thomas lagi.
Mau tidak mau Junny Belle perlahan-lahan menyeret langkah-langkahnya keluar dari kamar Max Julius. Ia menyeret langkah-langkahnya yang terseok-seok di sepanjang koridor lantai dua, hendak menaiki anak-anak tangga kembali ke kamarnya sendiri di lantai lima.
Pandangan Junny Belle mulai terasa berkunang-kunang. Pandangan matanya menjadi berkabut dan berbayang-bayang. Kepalanya mulai terasa sangat dan sangat pening. Dunia latar belakangnya terasa berputar-putar tanpa arah dan kedua kakinya serasa-rasa tidak lagi menginjak bumi.
Tubuh Junny Belle langsung ambruk di anak-anak tangga. Lagi-lagi dirinya tenggelam dalam kegelapan hitam pekat tak berpangkal ujung.
Beberapa suster yang kebetulan melewati anak-anak tangga tersebut panik dan terkejut menyaksikan keadaan Junny Belle. Mereka segera membawanya kembali ke kamarnya sendiri.
***
Seminggu berlalu. Pagi ini akhirnya Max Julius diizinkan pulang. Dia sudah menjalani operasi besar untuk memulihkan luka-luka bakar pada seluruh tubuhnya. Hanya luka bakar 80% pada wajahnya yang sulit sekali dihilangkan dan dokter-dokter yang menangani luka bakar pada wajahnya itu juga sudah angkat tangan.
Max Julius sedang membereskan pakaiannya ketika masuklah seorang pria pertengahan tiga puluhan, berkulit putih dan tersenyum ke arahnya.
"Apakah kau masuk ke kamar rawat inap yang salah, Pak?" tanya Max Julius dalam bahasa Inggris kepada si lelaki berkulit putih. Si lelaki berkulit putih menggeleng ringan.
"Tidak… Ini sudah kamar yang benar… Aku memang mencarimu, Max Julius…"
"Dari mana kau tahu namaku, Pak?" Max Julius sedikit mengernyitkan dahinya.
"Karena aku sudah lama mencarimu di panti-panti asuhan yang ada di Surabaya ini…"
"Kenapa kau harus mencariku, Pak?" tanya Max Julius dengan sorot mata menyelisik.
"Temanku menitipkan pesannya kepadaku untuk mengadopsimu dari panti asuhan. Aku sudah lama mencarimu di panti-panti asuhan yang tersebar di Indonesia ini. Akhirnya aku menemukanmu di Surabaya sini, Max Julius," jawab si lelaki berkulit putih merentangkan kedua tangannya dan kemudian merengkuh Max Julius ke dalam dekapannya.
"Temanmu memintamu untuk mengadopsiku? Siapa nama temanmu kalau aku boleh tahu?"
"Kau tidak mengenalnya, Max Julius. Kau dibawa ke panti asuhan saat kau masih bayi."
"Apakah… Apakah dia adalah orang tua kandungku?" Suara Max Julius menjadi sedikit berat di dalam kerongkongannya yang tercekat.
"Tidak… Aku juga tidak tahu jejak kedua orang tua kandungmu dan bagaimana nasib mereka sekarang. Yang jelas, temanku ini meminta tolong padaku untuk mengadopsimu. Akhirnya sekarang aku berhasil menemukanmu di Surabaya sini, Max Julius."
"Jadi, bisa dibilang temanmu itu mengenal kedua orang tua kandungku? Dia tahu ada di mana mereka sekarang?" Max Julius kontan membeliakkan kedua matanya.
"Dia sudah lama tidak contact denganku, Max Julius. Bertahun-tahun yang lalu ketika kami masih saling contact, dia hanya memberiku inisial namamu dan mengatakan namamu adalah Max Julius. Dia minta tolong kepadaku supaya aku mengadopsimu dari salah satu panti asuhan yang ada di Indonesia ini. Butuh waktu lama bagiku untuk bisa menemukanmu, Max Julius. Really really sorry…"
"Aku tidak bisa menyalahkanmu… Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa… Aku hanya bisa meratapi nasibku sendiri yang memang tidak pernah beruntung…"
"Kau mengalami luka bakar yang cukup parah pada wajahmu, Max Julius…" kata si lelaki berkulit putih lirih.
"Dokter-dokter di sini sudah angkat tangan. Mereka sudah kehabisan akal bagaimana caranya supaya luka bakar pada wajahku ini bisa sembuh. Sekarang ini aku hanya bisa mengenakan topeng ini untuk menutupi wajahku yang seperti monster. Kau lihat kan, Pak? Memang sejak aku kecil, nasibku ini tidak pernah beruntung."
"Kau ikutlah denganku, Max Julius. Nasibmu takkan sesial dan setragis ini lagi. Kau ikut aku pulang ke Australia. Akan kuperkenalkan kau kepada istriku dan kedua anak perempuanku. Istriku mengenal beberapa dokter bedah plastik yang luar biasa. Mungkin kami bisa membantu menyembuhkan luka bakar pada wajahmu itu, Max Julius. Kau mau kan?"