Clark Campbell masih terlihat kesal dengan raut wajahnya yang masih mengerucut.
"Tapi bagi dia, kau bukanlah teman semasa kecil. Dia menginginkanmu, Aira Sayangku…"
"Kan tolok ukurnya dari diriku, Clark Sayang… Kalau aku bilang dia itu hanyalah teman semasa kecil, ya memang hanya bisa sampai sebatas itu hubungannya denganku…" Senyuman lemah lembut terlihat mendekorasi wajah Aira Antlia yang cantik memesona.
"Tetap saja aku tidak tenang…" Clark Campbell menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan kanannya.
"Kau tidak percaya padaku, Clark?" tanya Aira Antlia lemah lembut lagi.
"Aku percaya padamu. Tapi aku tidak percaya padanya. Jelas-jelas dia sedang mengincar ratuku… Aaakkhh…" kata Clark Campbell benar-benar merasa resah gelisah. Aira Antlia hanya mengulum senyumannya. Dia tidak berani tertawa lepas di hadapan sang pangeran pujaan hati walau dia ingin sekali melakukannya pada saat itu.
"Oke… Oke… Aku mengaku salah… Aku mengaku salah… Apa yang bisa kulakukan untuk menenangkan sang pangeran tampanku ini?" tanya Aira Antlia bergerak manja dan sedikit mengelus-elus dada sang pangeran tampan nirmala.
Clark Campbell tertegun selama beberapa detik. Sungguh dia tidak menyangka Aira Antlia akan membujuk manja hanya demi menenangkan kekesalan dan kecemburuannya.
"Oke… Masakkan aku makanan yang lezat nanti malam…" kata Clark Campbell, masih dengan raut wajah yang sedikit masam dan sepasang bibirnya yang mengerucut.
"Oke… Pasti…" kata Aira Antlia.
"Tapi masaknya di apartemenku ya… Bukan di apartemenmu ya…" kata Clark Campbell diam-diam mengulum senyumannya.
"Hah? Bukankah kita biasanya makan malam di apartemenku?" Aira Antlia menjadi sedikit gelagapan.
"Aku tidak akan bisa tenang jika kau tidak ingin makan di apartemenku malam ini…" kata Clark Campbell mulai bersungut sengit lagi.
"Oke… Okelah… Okelah… Hanya saja, aku tidak terbiasa ke tempat lelaki dan makan malam di tempat lelaki, Clark…" desis Aira Antlia lembut.
"Ini akan menjadi pengalaman pertamamu makan di tempat seorang lelaki, seorang lelaki yang akan menjadi suamimu kelak dan ayah dari anak-anakmu… Kenapa? Kau tidak percaya padaku?" Raut wajah sedih dan memelas mulai ditampilkan oleh Clark Campbell.
"Nggak… Nggak… Bukan itu… Seperti kataku tadi, aku hanya belum begitu terbiasa makan di tempat seorang lelaki…" sahut Aira Antlia.
"Nanti malam kau akan makan malam di apartemenku dan kau akan segera membiasakan diri," balas Clark Campbell cepat.
"Oke… Okelah… Okelah… Apa pun itu asalkan kau tidak berpikiran yang tidak-tidak, Clark…" Aira Antlia mengulum senyumannya lagi dan terlihat masuk ke dalam mobil.
"Oh, shit… Tentu saja aku ada berpikiran ke sana… Namun, seperti kata Max… Aku takkan memilikimu dulu sebelum aku bisa memastikan kau akan bisa berada terus di sampingku setiap saat, setiap detik, setiap waktu…"
Clark Campbell mengumpat diri sendiri sebelum akhirnya juga masuk ke dalam mobil. Mobil melaju meninggalkan pelataran parkir kafe dan bergabung ke keramaian lalu lintas.
***
Entah kenapa mimpi masa remaja kembali menggerayangi padang pikiran Junny Belle Polaris malam ini. Malam ini tidurnya tidak begitu nyenyak.
Junny Belle kesakitan lagi pagi itu. Mendadak saja hidungnya kembali mimisan dan darah yang keluar kali ini cukup banyak. Junny Belle hampir pingsan melorot ke lantai jika saja salah satu pengasuhnya tidak memeganginya dari belakang kala itu.
"Nona baik-baik saja? Nona ingin ke rumah sakit?" tanya sang pengasuh khawatir.
"Iya… Alamatnya ada di laci kerja Daddy… Ambil itu dan bawa aku jumpai dokternya, Kak…" kata Junny Belle sedikit lemah. Lagi-lagi kedua orang tuanya sedang tidak berada di Surabaya. Dia harus ke dokter seorang diri. Terpaksa dia meminta tolong sang pengasuh yang mengantarkannya ke dokter.
"Di mana daddy dan mommy, Jun?" tanya si dokter yang sudah menjadi dokter langganannya sejak ia masih kecil dan mulai didiagnosa memiliki kelainan sel darah putih dalam tubuhnya.
"Mereka lagi di luar negeri, Dok… Lagi sibuk di laboratorium mereka…" kata Junny Belle singkat ala kadarnya. Gadis itu turun dari tempat tidur periksa dan kini duduk di depan si dokter.
Si dokter hanya menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum miris terhadap nasib gadis kecil yang ada di hadapannya ini. Masih kecil, dan harus berjuang menghadapi penyakit mematikan ini… Sendirian…
"Ini aku tambahkan dosis obatnya ya… Dalam dua tiga hari ke depan jika mimisan masih terjadi, kau harus menjalani kemoterapi yang kedua ya, Jun… Kau bisa kan?"
Junny Belle meraih bungkusan obat-obatan yang diberikan oleh dokter dan menyimpannya ke dalam tas. Mendengar pertanyaan sang dokter, ia hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Jika memang masih mimisan dalam beberapa hari ke depan, ia pun sudah siap menjalani kemoterapi yang menyakitkan itu. Sudah biasa… Sudah terbiasa hidup dalam kesakitan dan penderitaan.
Sambil tersenyum miris, Junny Belle mulai berjalan keluar setelah mengucapkan terima kasih. Dia tidak perlu bayar apa-apa. Sang ayah dan ibu yang akan membayar total seluruh tagihannya jika mereka sudah menginjakkan kaki ke tanah air.
Tiba di sekolah, Junny Belle tentu saja tampak agak murung waktu itu. Dia ingin mencari Max Julius dan mengajaknya mengobrol di markas mereka di taman belakang sekolah pada jam istirahat pertama. Namun, dia sama sekali tidak bisa menemukan anak laki-laki itu di kelasnya. Dengan sedikit kecewa, Junny Belle membeli lauk dan sayurnya sendiri dan berjalan sendirian ke taman belakang sekolah, hendak duduk di bawah pohon mangga sekolah yang selama ini menjadi tempat favoritnya.
Ternyata sepuluh menit sebelumnya, Max Julius sudah membeli sarapan nasi gorengnya dan sudah duduk manis di bawah pohon mangga tersebut, menunggu sang bidadari cantik kesayangannya dan hendak memberinya suatu kejutan. Namun, sungguh tidak disangka-sangka Qaydee Zax Thomas menguntit Max Julius sampai ke taman belakang sekolah dan menghampirinya di sana.
"Aku ingin bicara denganmu, Max…" kata Qaydee Zax memelas-melas.
"Kenapa kau bisa mengikutiku sampai ke sini? Aku sedang menunggu Junny Belle di sini. Tidak bisakah kau menungguku balik ke kelas dan baru kita bicarakan?" dengus Max Julius agak kesal.
"Kau sudah sedemikian tidak sabarnya ingin sarapan bersamanya sampai-sampai kau mengusirku ya… Sebegitu pentingkah dia bagimu sampai-sampai kau selalu tidak sabar ingin selalu bertemu dengannya dan menghabiskan waktu dengannya?" tukas Qaydee Zax dengan sebersit senyuman kesal dan sinis pada saat bersamaan.
"Aku tidak mengusirmu. Ini jam istirahat… Aku bebas kan melakukan apa saja yang kuinginkan? Sekarang aku ingin sarapan bersama-sama dengan Junny Belle. Ada apa-apa yang penting, bisa kita bicarakan nanti setelah aku balik ke kelas nanti."
"Segala yang ingin kubicarakan padamu adalah hal yang penting. Segala yang berhubungan denganmu tentu saja adalah hal yang penting. Aku selalu memprioritaskan dirimu, Max… Hanya saja, aku tahu kau tidaklah demikian terhadapku…"
"Sorry, Qaydee… Aku tidak memiliki perasaan yang sama terhadapmu…"