"Tidak ingin memiliki kedekatan apa-apa dengannya…"
"Kalau denganku…? Bagaimana denganku? Kenapa kau menerima hadiah boneka Doraemonku waktu itu?"
"Kau menanyakan pertanyaan yang sesungguhnya sudah kauketahui jawabannya, Max…" Junny Belle masih mengarahkan pandangannya ke arah lain dan tidak berani menatap sang lelaki tampan nirmala.
"Tapi aku ingin sekali mendengarnya langsung darimu," kata Max Julius sedikit bersungut.
"Aku tidak akan mengulanginya dua kali lagi ya… Karena aku memang ingin dekat denganmu, Max…" kata Junny Belle langsung membuang pandangannya dan berjalan lebih cepat beberapa langkah ke depan.
Max Julius tersenyum cerah – senyuman yang hanya bisa ditunjukkannya apabila ia sedang bersama-sama dengan Junny Belle Polaris. Max Julius celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Yakin tidak ada orang yang bakal memergokinya, dia berjalan lebih cepat ke depan menyusul sang bidadari cantik jelita dan kemudian merengkuh sang bidadari cantik jelita ke dalam dekapan kehangatannya.
Junny Belle hanya mengulum senyumannya berada dalam pelukan hangat sang kekasih pujaan hati.
Keriap gelisah dan takut datang menyergap jendela sanubari hati. Bagaimana jika penyakitnya kambuh lagi? Bagaimana jika penyakitnya semakin parah dan semakin parah? Siapkah ia berpisah dengan sang kekasih pujaan hati? Bagaimana jika pada akhirnya ia tidak selamat dan akhirnya harus menyerah terhadap penyakitnya? Sanggupkah ia berpisah dengan sang kekasih pujaan hati?
Namun, Junny Belle menepis gelisah dan rasa takut tersebut. Berada dalam pelukan hangat sang kekasih pujaan hati sekarang ini sungguh membangkitkan gelora cinta dan riak-riak kegembiraannya. Gelora cinta dan riak-riak kegembiraan tersebut jauh lebih mendominasi daripada keriap gelisah dan takut yang menyergap pertama kali tadi.
"Aku ingin makan es krim, Max… Maukah kau mengantarku pergi ke tempat berjualan es krim di samping sekolah kita itu?" Junny Belle masih tersenyum lemah lembut.
"Tentu saja…" Max Julius mengangguk dengan penuh semangat. Dia kembali ke dalam dan mengambil sepedanya.
Sejurus kemudian sudah terlihat Max Julius mengantar Junny Belle keluar dari areal panti asuhan. Sepeda bergabung ke dalam jalur lalu lintas yang tidak begitu padat kendaraan siang itu.
Setengah jam kemudian mereka sudah tiba di kedai es krim yang berada di samping sekolah. Setelah memesan es krim masing-masing, mereka kembali mengobrol ringan nan santai.
"Suatu saat nanti ketika aku sudah sukses, aku akan mendirikan satu kedai es krim seperti ini khusus untukmu," kata Max Julius dengan sorot mata penuh tekad.
Junny Belle tersenyum lemah lembut.
"Kenapa? Kau ragu aku bisa sukses dan membahagiakanmu di masa depan? Aku bisa, Junny Darling… Aku yakin aku bisa…"
"Sebenarnya dibandingkan dengan roti dan kue, aku lebih menyukai dunia pembuatan roti dan kue daripada es krim. Es krim hanya pelengkap…" celetuk Junny Belle.
"Oke… Kalau begitu, akan ada hadiah sebuah toko roti dariku kelak," kata Max Julius dengan sorot mata penuh tekad.
"Kau sama sekali tidak bisa membuat kue dan roti. Aku yakin palingan kau akan mempekerjakan beberapa tukang roti di toko rotimu itu," kata Junny Belle.
"Toko rotimu, Junny Darling…"
"Sebagai hadiah apa akan kauberikan toko roti itu kepadaku?"
"Entahlah… Belum terpikirkan… Mungkin hadiah ulang tahun… Bisa jadi hadiah peringatan hari jadi kita yang kesekian kalinya… Atau bisa saja hadiah hari jadi pernikahan kita yang kesekian kalinya… Atau mungkin saja sebagai hadiah pernikahan kita…" kata Max Julius lagi-lagi dengan sorot mata penuh tekad.
Haru menggelincir di padang pikiran Junny Belle Polaris. Bisakah dia mengarungi dunia kedewasaan bersama-sama dengan sang kekasih pujaan hati ini? Baginya masa depan begitu jauh, begitu tidak pasti, begitu tidak terjangkau dan dia sama sekali tidak memiliki keberanian apa pun untuk memikirkan masa depan apa pun dari masa sekarang.
Tanpa disadarinya, setitik air mata gelingsir di pelupuk mata.
"Kenapa kau menangis, Junny Darling?" Max Julius berpindah tempat ke samping sang bidadari cantik jelita sekarang. Dia mengambil sehelai tisu dan menyeka ekor mata sang bidadari cantik jelita.
"Tidak… Mungkin terlalu… terlalu… terlalu senang…" kata Junny Belle berusaha menutupi kegelisahan dan ketakutan yang kembali meladung di langit sanubari jiwanya.
Es krim pesanan mereka datang. Keduanya terlihat sangat menikmatinya dengan lahap.
"Benaran aku berjanji padamu aku akan sukses di masa depan nanti dan mendirikan satu toko roti untukmu, Junny Darling… Percayalah padaku…"
Junny Belle hanya bisa menganggukkan kepalanya sembari tersenyum lemah lembut.
"Dan di masa depan nanti, aku takkan membiarkan kau meneteskan air mata lagi. Jangan menangis lagi, Junny Darling… Hatiku juga sakit tatkala melihatmu meneteskan air mata seperti tadi…" kata Max Julius lemah lembut dan meneruskan menghabiskan es krimnya.
"Kau akan menjadi apa di masa depan nanti, Max?"
"Entahlah… Mungkin aku akan bekerja dulu sama orang dan dengan uang yang berhasil aku kumpulkan, perlahan-lahan aku akan mulai berbisnis – mulai dulu dari bisnis yang kecil dan pelan-pelan akan kukembangkan menjadi bisnis yang besar…" kata Max Julius dengan sedikit sorot mata menerawang.
Memandangi sang kekasih pujaan hati yang penuh dengan tekad dan impiannya, mau tidak mau haru dan sedikit gulana bergelitar di teluk pikiran Junny Belle Polaris.
"Aku akan selalu mendoakanmu, Max… Mendoakan semoga semua cita-cita dan impianmu tercapai…"
"Tentu saja aku memiliki beberapa cita-cita dan impian yang harus aku realisasikan di masa depan, Junny Darling…"
"Apa-apa saja itu, Max?" tanya Junny Belle lemah lembut.
"Bekerja sama orang dan mengumpulkan uang yang banyak… Memulai bisnis dan tokoku sendiri… Habis itu, akan kukembangkan menjadi toko yang besar dengan beberapa cabang di mana-mana… Bagiku itu sudah cukup untuk mengumpulkan modal…" kata Max Julius menatap lekat sang bidadari cantik jelita.
"Modal? Modal untuk…?"
"Modal untuk melamarmu dan menikah denganmu…" kata Max Julius yakin dan mantap.
Sontak kedua belahan pipi sang gadis cantik jelita kembali diselangkupi oleh rona merah delima. Dia meneruskan menghabiskan es krimnya dalam diam.
"Boleh aku tahu kenapa kau bisa menyukaiku?" tanya Junny Belle lagi.
"Tidak tahu… Begitu pertama kali bertemu denganmu, sudah timbul perasaan ingin selalu di sampingmu… Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa merasa demikian. Kalau kau? Kenapa kau… kau… kau ingin berteman denganku?"
"Tidak tahu juga…" Junny Belle tersenyum simpul.
"Apa karena aku telah menolongmu dan melindungimu dari beberapa anak yang mengejekmu dan ingin merebut nasimu hari itu?"
"Tidak juga sih… Hanya saja, setelah perkenalan hari itu, aku juga ingin selalu di sampingmu, menceritakan segala yang kurasakan selama ini dan akan kuceritakan juga semua tentang kehidupanku di masa depan nanti…"
"Menurutku rasa suka itu tidak memerlukan alasan. Iya nggak sih?"