Oh, Junny… Jun… Junny Darling… Maafkan aku, Jun… Maafkan laki-laki biadab ini… Aku sungguh tidak pantas menerima semua cinta dan pengorbananmu, Jun. Aku telah memperlakukanmu dengan kejam dan secara tidak manusiawi selama beberapa tahun terakhir ini. Aku bahkan tega-teganya membencimu dan menuduh anak dalam kandunganmu itu bukanlah anakku. Ternyata kau mengandung kedua anak kembarku, Jun…
Max Julius sungguh berada di puncak gulana dan putus asa. Dia menarik napas panjang. Dia berdiri dari tempat tidur dan berdiri di depan cermin besar dalam kamar tidurnya.
Satu tinju mendarat pada cermin besar tersebut. Sudah bisa dibayangkan… Cermin pecah dan hancur berkeping-keping. Jari-jemari Max Julius mulai meneteskan darah yang tiada henti. Max Julius hanya terduduk lemas di lantai dan mulai menangis sesenggukan.
Ponsel berdering. Dengan lemas dan tidak berdaya, Max Julius menjawab panggilan telepon itu.
"Ada apa denganmu? Kenapa seharian ini tidak menampakkan diri di hotel?" tanya Clark Campbell – terdengar sedikit tidak bersemangat juga.
"Aku hancur, Clark… Semuanya sudah tiada… Semuanya tidak lagi kumiliki… Aku sekarang tidak lagi memiliki kesempatan apa pun…"
Mendadak terdengar isak tangis di seberang. Tentu saja Clark Campbell merasa terjengat di tempat. Tidak pernah sebelumnya saudara sepupunya itu menangis terisak-isak seperti ini.
"Apa maksudmu?"
"Junny Belle telah meninggal, Clark… Dia telah meninggal… Dia pergi begitu saja – meninggalkan aku, membawa kedua anak kembar kami…"
"Hah?" Tentu saja dunia latar belakang Clark Campbell juga hancur seketika. Rasa kejut yang datang bertubi-tubi membuat Clark Campbell bagai terjengat listrik bertegangan tinggi.
"Kau ada di mana sekarang?" tanya Clark Campbell panik.
"Di rumah besar Campbell…" jawab Max Julius lirih.
"Kau tunggu di sini… Aku segera ke sana…"
Tak berapa lama kemudian, Clark Campbell benar-benar tancap gas dan ia tiba di rumah besar Campbell hanya dalam waktu 10 menit. Dia langsung menerjang masuk ke dalam kamar Max Julius Campbell.
"Astaga, Ya Tuhan! Oh, Max… Oh, Max… Kumohon jangan melukai dirimu sendiri…" Clark Campbell memekik tertahan ketika ia melihat darah merah segar yang terus bercucuran dari tangan kanan Max Julius dan pecahan-pecahan cermin yang berserakan di lantai.
Dalam lima belas menit kemudian, Clark Campbell membalut tangan Max Julius yang berdarah dengan perban setelah mengoleskannya dengan antiseptik. Dia menanyakan kepada saudara sepupunya apa sebenarnya yang telah terjadi. Dengan air mata yang terus bercucuran dan suara yang terbata-bata, Max Julius melantunkan sepenggal cerita tentang apa yang terjadi dari kemarin sore hingga ia mendapat kecelakaan di daerah pinggiran kota tersebut.
"Sudah kubilang itu adalah anakmu, Max… Waktu itu kau masih saja bertekak denganku bahwasanya anak yang dikandung Junny Belle itu adalah anak si dokter jantung itu…" Clark Campbell menghela napas panjang.
"Aku sudah mendapatkan karmaku… Itukah yang ingin kaukatakan?"
Kini Max Julius terlihat sudah lebih tenang. Ia tidak lagi menangis terisak-isak. Ia hanya bersandar pada dinding dan menerawang keluar jendela kamarnya dengan sorot mata yang agak hampa.
"Memang masing-masing harus membayar karma dari apa yang telah diperbuat. Tidak ada yang bisa lari dari hukum alam kan? Memang di antara semua hukum di dunia ini, tetap hukum karma inilah yang paling adil, paling pas dan paling akurat."
Max Julius masih menerawang keluar jendela kamarnya dengan sorot mata yang kurang fokus.
"Aku tidak pernah percaya dengan apa yang namanya karma – dulunya… Sekarang mau tidak mau aku harus mengakui hukum karma itu memang nyata adanya," tukas Clark Campbell.
"Jangan bilang kau juga sudah menerima karmamu, Clark…"
"Bisa dibilang begitu… Gadis yang benar-benar aku sukai kini marah padaku dan tidak ingin bertemu denganku lagi. Aku bingung apa yang harus aku perbuat supaya ia mau mendengarkanku dan mempercayai bahwasanya kedekatan kami murni adalah karena aku menyukainya. Aahhkk…! Bisa dibilang secara tidak sadar aku sudah jatuh cinta padanya…"
"Mendingan kau berarti… Setidaknya kau masih berkesempatan untuk mendatangi gadis itu, meyakinkannya dan menaklukkannya… Aku bahkan kesempatan saja tidak ada karena Junny Belle yang aku cintai dan aku harap-harapkan selama ini kini telah tiada…"
Tangan Max Julius terangkat lagi dan ia menungkupkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangannya. Tampak bahunya sedikit berguncang halus.
"Jadi kau sudah pergi ke kuburannya dan memberikan penghormatan untuk yang terakhir kali?"
Kontan pertanyaan tersebut bagai siraman air es ke Max Julius di siang bolong. Mendadak saja dia tersadarkan dari dunia kepiluan dan kesedihan yang membelitnya sejak kemarin malam.
"Hah? Kuburan? Maksudmu…?"
"Kau jadi benar-benar bodoh ya apabila sudah berhadapan dengan hal-hal yang berhubungan dengan Junny Belle Polaris ini ya. Bisa kusimpulkan kau itu begitu mencintai dan begitu tergila-gila padanya, Max…"
"Iya… Aku memang sangat mencintainya, begitu menginginkannya, dan begitu tergila-gila padanya… Namun, apa dayaku… Maksud hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai…"
"Masih bisa sampai… Sekarang aku tanya kepadamu… Kau bilang kau dengar dari Dokter Norin itu kan bahwasanya Junny Belle sudah meninggal dan ia mendonorkan jantungnya kepada si adik lelakinya yang menderita cacat katup jantung itu?"
"Maksudmu si dokter sialan itu berbohong padaku? Dia menunjukkan laporan hasil operasi transplantasi jantung Gover Robin Polaris yang dinyatakan gagal. Dalam laporan tersebut jelas tertera nama Junny Belle Polaris sebagai pendonornya. Dan ada akta kematian Junny Belle Polaris juga…"
"Bisa saja laporan operasi transplantasi jantung dan akta kematian itu palsu, Max. Dalam keadaan pikiranmu yang kalut dan batinmu yang terguncang, aku yakin kau tak sempat lagi memeriksa apakah kedua surat catatan tersebut asli atau tidak. Apakah kedua surat tersebut ditandatangani oleh pihak yang berotoritas? Apakah ada tercantum badan atau lembaga yang mengeluarkan kedua surat catatan tersebut?"
"Astaganaga, Clark… Kemarin malam tidak terpikirkan olehku untuk memfoto kedua surat catatan tersebut," kata Max Julius seraya menepuk jidatnya sejenak. Matanya mulai kembali bersinar. Semangat dan antusiasmenya selama ini berangsur-angsur kembali.
"Aku akan membantumu menyelidikinya lagi... Percayalah padaku… Junny Belle Polarismu itu takkan memilih untuk meninggal semudah itu…" kata Clark Campbell yakin.
"Dari mana kau merasa seyakin itu?" Max Julius merasa sedikit bingung.
Clark Campbell mendengus ringan. "Kau mendadak jadi bodoh ya apabila berhadapan dengan masalah Junny Belle, Max. Junny Belle jauh-jauh mencarimu sampai ke Sydney ini dan menyerahkan mahkotanya kepadamu adalah karena ia mencintaimu. Sekarang kita berdua sudah yakin terhadap hal itu. Ia begitu mencintaimu sampai ia membiarkan dirinya hamil kedua anak kembarmu itu, Max. Umpamanya kau adalah Junny Belle, dalam keadaan tengah hamil anak kembar dari lelaki yang begitu kaucintai itu, apakah kau akan memilih mati saja dan mendonorkan jantungmu kepada orang lain?"