Chereads / 3MJ / Chapter 258 - Meninggalkan Masa Lalu, Menyongsong Masa Depan

Chapter 258 - Meninggalkan Masa Lalu, Menyongsong Masa Depan

"Kurasa aku… aku… aku menyukaimu, Gover… Sudah terlambatkah mengatakan itu kepadamu sekarang?"

"Tidak… Tidak terlambat sama sekali… Perjalanan kita kan baru dimulai… Masih panjang ke depannya… Aku juga ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu sejak pertama kali kita bertemu dan berkenalan, Litha…" tukas Gover Robin Polaris masih dengan sebersit senyuman cerah yang sama.

"Apa itu?"

"Aku menyukaimu…"

Gover Robin Polaris menggandeng tangan Talitha Thompson dan mereka meneruskan langkah-langkah mereka ke depan. Keduanya menghilang ke dalam cahaya yang berbias lembayung kemuning berwarna jingga yang sedemikian indah di hadapan mereka.

Di hadapan Junny Belle dan yang lain di kamar rawat inap tersebut, kini terlihat dua tubuh yang sudah tidak lagi bernyawa, dengan dua mesin pendeteksi detak jantung yang sudah berbunyi panjang ke dalam telinga mereka semua.

Junny Belle menenggelamkan diri ke dalam dekapan kehangatan sahabatnya. Dokter Norin Apus Brown hanya bisa meremas lembut bahu sang gadis cantik jelita guna meringankan kesedihan dan kepiluannya.

Ratap tangis bergelitar di seisi kamar rawat inap tersebut.

***

Keesokan siangnya, mereka semua sudah berkumpul di suatu areal pemakaman yang tidak jauh dari rumah sakit khusus untuk jantung dan penyakit kritis tersebut.

Setelah sang pendeta membacakan doa-doa terakhir yang mengiringi kepergian Gover Robin Polaris dan Talitha Thompson, pelan-pelan peti mati diturunkan ke dalam satu liang lahat yang sama. Setelah diskusi dan perundingan yang cukup panjang antara Junny Belle dan keluarga Thompson, mereka akhirnya sepakat memakamkan Gover Robin Polaris dan Talitha Thompson dalam satu peti mati yang sama dan dalam satu liang lahat yang sama. Tentu saja pada batu nisan terukir nama kedua mendiang yang telah beristirahat dengan tenang.

"Tabahlah, Junny Belle…" kata sang pendeta menghampiri Junny Belle sesaat setelah pemakaman selesai. Tentu saja si pendeta mengenal kedua kakak beradik Junny Belle dan Gover Robin Polaris karena Junny Belle sering menghadiri misa di gereja di mana sang pendeta sering memberikan khotbah.

"Iya, Bapa… Aku akan tetap tabah dan tegar meneruskan langkah-langkahku ke depannya…"

"Yang pergi biarkanlah berlalu, Junny Belle. Yang tinggal akan meneruskan kehidupan ini apa pun yang terjadi. Manusia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Manusia hanya bisa belajar hidup dengan apa yang ada."

"Iya, Bapa… Aku akan berusaha memetik hikmah dari semua ini…" Junny Belle sesekali masih terisak-isak.

Sang pendeta tersenyum teduh dan menenangkan.

"Sesaat sebelum mereka pergi, mereka ada mengatakan seakan-akan mereka melihat cahaya yang sedemikian terang tetapi tidak menyilaukan mata. Apakah itu petanda baik, Bapa?" tanya Junny Belle lagi.

"Tentu saja, Anakku… Tentu saja itu petanda baik… Mereka yang semasa hidup percaya kepada-Nya, terus berbuat amal kebajikan atas nama-Nya, tentu saja akan melihat seberkas cahaya terang di ujung jalan kehidupan mereka," kata sang pendeta masih dengan senyuman menenangkan yang sama.

"Terima kasih, Bapa… Dengan demikian, aku bisa tenang. Dengan demikian, aku sudah tidak memiliki beban apa pun karena kini adik lelakiku sudah berada di tempat yang benar-benar cocok untuknya."

Sang pendeta menganggukkan kepalanya. Sang pendeta terlihat berlalu dan masuk ke dalam mobilnya. Satu demi satu pelayat mulai berlalu dan meninggalkan areal pekuburan.

"Pulang kita sekarang?" tanya Aira Antlia Dickinson. Junny Belle berpaling dan mengangguk.

"Aku tak lagi tinggal di apartemenku yang sekarang, Friends…" gumam Junny Belle singkat.

"Jadi kau tinggal di mana?" tanya Dokter Norin Apus Brown.

"Aku kembali tinggal di rumah besarku yang dulu," jawab Junny Belle.

"Bukankah rumah besar itu kausewakan kepada suatu keluarga lain, Junny?" Tasma Jones sedikit mengerutkan dahi.

"Mereka hanya menyewa lantai satu. Lantai dua dan lantai tiga tetap bisa kupakai…" kata Junny Belle tersenyum lemah lembut. "Kandunganku ini akan semakin membesar dan kukira aku membutuhkan suatu tempat yang lebih luas dan lebih tenang."

Dokter Norin Apus Brown sedikit mendengus kesal. Ia terlihat membuang pandangannya ke arah lain. Aira Antlia Dickinson kembali meraih Junny Belle ke dalam pelukan persahabatannya. Melihat itu, Tasma Jones dan Daniela Helena Johnson juga meraih Junny Belle ke dalam pelukan persahabatan mereka.

Siang itu terasa begitu panas. Matahari terus memancarkan teriknya di cakrawala biru.

***

Seminggu pun berlalu… Pagi ini Junny Belle terbangun di dalam kamar tidurnya sendiri di rumah besar, dengan semangat baru, dengan perjuangan baru, tapi dengan senyuman lirih yang tetap bertahan di wajahnya yang cantik jelita.

Junny berdiri di balkon kamar tidurnya dan memandang ke seantero taman luas di rumah besarnya itu. Kolase kenangannya di rumah itu kembali berputar di benak pikirannya. Tangannya menggenggam paspor dan tiket pesawat yang sebenarnya sudah selesai diurusnya dua hari sebelum Gover Robin Polaris menghembuskan napas terakhirnya. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia sadar benar sang adik lelaki takkan mungkin bisa bertahan lebih lama lagi.

Oleh sebab itulah, dia memutuskan akan meninggalkan Australia dan kembali ke kampung halamannya di Indonesia setelah adik lelakinya berangkat ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Junny Belle tersenyum lirih. Sesekali tangan kanannya akan mengelus lembut perutnya yang masih rata.

Kids… Mommy akan kembali ke kampung halaman Mommy di Indonesia. Di sana sangat indah – penuh dengan kenangan masa kecil dan masa remaja Mommy. Dan yang terpenting adalah, di sana terdapat segala kenangan kebersamaan Mommy dan Daddy dulu. Kalian juga akan menyukainya, Kids. Kita akan berangkat hari ini juga. Kalian senang bukan?

Junny Belle berbalik badan dan masuk kembali ke dalam kamar. Tangan menjinjing kopernya dan ia bergegas turun ke lantai bawah. Sejurus kemudian, sebuah taksi tiba di depan pintu kediaman Polaris. Junny Belle memasukkan kopernya ke bagasi taksi di belakang dan ia sendiri segera masuk ke dalam taksi.

Taksi membawa Junny Belle meninggalkan pahit dan getir di masa lalunya yang kejam.

Pesawat terbang hari itu membawa Junny Belle menyongsong hari esoknya walau masih dipenuhi oleh segudang misteri.

***

"Kau menemukannya di rumah besar?" tanya Dokter Norin Apus Brown mulai gusar karena ia kehilangan jejak Junny Belle Polaris pada hari itu. Sialnya dia baru menyadarinya ketika ponsel Junny Belle tak bisa dihubungi pada malam harinya.

"Orang-orang di rumah besar bilang tadi pagi Junny Belle berangkat entah ke mana sambil membawa kopernya, Dokter Norin. Aku khawatir sekali… Kenapa Junny Belle pergi begitu saja tanpa memberitahu kita semua?" Aira Antlia mulai terisak-isak.

"Aku akan cari dia di sekitar apartemennya sini dan sekitar rumah sakit. Kau dan kedua temanmu tolong tanya-tanya ke tetangga-tetangga yang ada di sekitaran rumah besar. Mana tahu Junny Belle ada titip pesan ke salah satu dari mereka sebenarnya dia pergi ke mana."

"Baiklah, Dokter Norin…" kata Aira Antlia. Hubungan komunikasi pun terputus.