Trenyuh perasaan Aira Antlia berdiri di dalam kamar rawat inap itu. Kamar rawat inap itu pastilah telah menjadi saksi bisu sedemikian lama – untuk beberapa keberangkatan, untuk beberapa kematian, untuk beberapa perpisahan yang sungguh mengharu biru nan menguras air mata.
"Aku sudah semakin tenang, Kak… Kau jangan terus larut dalam kesedihan ya, Kak… Aku yakin ke depannya kau akan bisa menemukan sumber kebahagiaanmu sendiri…"
Junny Belle menggenggam tangan sang adik lelaki dan mendekatkan tangan tersebut ke pipinya. Dia tidak menangis meraung-raung, juga tidak menangis terisak-isak, tetapi air matanya tak mau berhenti menetes.
"Iya… Aku akan berbahagia… Tenanglah… Jangan merisaukan keadaanku, Gover…"
"Sekarang saja aku sudah bisa melihat adanya setitik cahaya kebahagiaan di matamu, Kak. Aku yakin setitik cahaya tersebut akan berubah menjadi seberkas cahaya ketika kau sudah bertemu dengan sumber kebahagiaanmu nanti. Takkan lama, Kak… Takkan lama… Hanya sebentar… Kakak hanya perlu bersabar sebentar saja lagi…"
"Apa kau yakin, Gover? Dari mana kau bisa merasa seyakin ini, Gover?"
"Anggap saja ini adalah firasat dari seseorang yang sangat menyayangi dan mencintaimu, Kak… Firasat dari seseorang yang akan segera mati jarang meleset kan?" Gover Robin berusaha tersenyum semenenangkan mungkin kendati senyumannya itu terlihat pucat dan lemah.
"Aku merasa lega… Akhirnya aku bisa meninggalkan dirimu yang sebentar lagi akan bertemu dengan sumber kebahagiaanmu sendiri… Akhirnya aku bisa meninggalkan tubuh ini yang sudah tidak bisa dipakai lagi… Akhirnya aku bisa meninggalkan kehidupan yang serba membosankan dan tidak menyenangkan ini… Akhirnya aku bisa meninggalkan kehidupan yang menyakitkan dan menyedihkan ini – dengan tenang, tanpa beban sedikit pun…"
"Gover… Gover…" Kini Junny Belle merebahkan kepalanya ke dada sang adik lelaki. Air mata masih saja menganak sungai dan menetes tiada berkesudahan.
Tangan sang adik lelaki perlahan terangkat naik, membelai-belai kepala hingga punggung kakak perempuannya.
"Tenanglah, Kak… Seharusnya kau turut bergembira untukku… Aku sudah terbebaskan dari segala rasa sakit ini. Aku sudah terbebas dari segala penderitaan ini. Di kehidupan yang selanjutnya, aku yakin aku takkan lagi terlahir ke tubuh yang memiliki kelainan. Di kehidupan yang selanjutnya, aku yakin aku akan hidup dengan sehat dan bahagia. Yang jelas, ada di mana pun aku berada, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Kak. Semoga kau cepat-cepat bisa bertemu dengan sumber kebahagiaanmu itu…" kata Gover Robin Polaris semakin lemah dan semakin lemah.
Junny Belle mangut-mangut. Dia menggigit jari dan membiarkan air matanya menetes dan sedikit membasahi pakaian rumah sakit yang dikenakan oleh si adik lelaki.
"Kak… Bisa tidak ya dekatkan tempat tidurku ini dengan tempat tidur Talitha yang ada di sebelah?"
Mendadak saja Gover Robin mengeluarkan satu permintaan yang terdengar agak aneh. Junny Belle kontan mengangkat kepalanya dan menatap si adik lelaki dengan sorot mata yang serba salah.
"Dad… Bisa tidak ya dekatkan tempat tidurku ini dengan tempat tidur Gover yang ada di sebelah?"
Talitha Thompson yang ada di sebelah juga mengeluarkan sebentuk permintaan yang terdengar agak aneh kepada ayahnya dan kerabat-kerabat dekatnya.
Si ayah mengangguk. Dia menyibakkan kain pembatas di tengah-tengah kedua tempat tidur.
"Anakku ingin berbaring di dekat adikmu di saat-saat terakhirnya…" kata si ayah kepada Junny Belle dengan tegar, dengan tabah – berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Junny Belle tersenyum lirih. Dia menganggukkan kepalanya. Dokter Norin memanggil beberapa staff rumah sakit untuk memindahkan kedua nakas yang ada di samping tempat tidur kedua pasien tersebut. Sejurus kemudian, kedua tempat tidur tersebut pun didorong mendekat satu sama lain. Akhirnya bersatulah kedua tempat tidur tersebut.
"Litha… Kau masih bisa mendengarku kan?" tanya Gover Robin lemah lembut. Tangan terangkat naik dan mengelus-elus kedua belahan pipi si gadis yang sudah terlihat sangat lemah.
Talitha Thompson mengangguk cepat. Tangan juga terangkat naik dan membelai-belai rambut sang pemuda yang ada di depannya, yang kondisinya tak jauh berbeda dengannya.
"Aku senang… Akhirnya bisa saling menepati janji kita terhadap satu sama lain…" Terlihat Talitha Thompson tersenyum lemah kepada Gover Robin Polaris.
Tak ada satu pun orang yang berkumpul di kamar rawat inap tersebut yang tidak menitikkan air mata mereka. Mendadak saja langit di luar menjadi mendung. Awan kelabu sekonyong-konyong mulai berarak, seolah-olah menjadi tanda kesedihan langit yang mengantar keberangkatan kedua jiwa lemah penuh penderitaan ke titik keberangkatan mereka yang paling final.
"Iya… Aku juga senang… Tangan kita tidak boleh lepas ya… Usahakan genggaman tangan kita berdua tidak boleh lepas sebelum kita benar-benar sampai pada tujuan kedatangan kita yang selanjutnya. Mau kan?" tanya Gover Robin Polaris sambil menggenggam tangan Talitha Thompson.
Talitha Thompson menganggukkan kepalanya.
"Sepertinya perjalanan yang harus kita tempuh cukup jauh, cukup berliku dan cukup memakan banyak waktu ya…" kata Talitha Thompson lemah.
"Iya… Akan cukup lama… Tapi karena ada kau di sisiku, perjalanan tersebut tidaklah lama…" sahut Gover Robin Polaris juga dengan sebersit senyuman lemah lembutnya.
Suasana perpisahan di dalam kamar rawat inap tersebut sungguh terasa pedih menyayat-nyayat, perih mengiris-ngiris.
"Iya… Tentu saja berangkat berdua seperti ini jauh lebih menyenangkan daripada berangkat sendiri. Berangkat sendiri jauh lebih membosankan karena di sepanjang perjalanan tak ada teman untuk bercerita…"
"Aku rasa waktunya sudah tiba, Litha…" bisik Gover Robin Polaris dengan nada suaranya yang semakin mengecil nan melemah.
"Iya… Mendadak menjadi terang sekali… Tidak kenapa-kenapa kan kita berjalan terus menembus cahaya yang sedemikian terang ini?" tanya Talitha Thompson juga dengan nada suara yang semakin mengecil nan melemah.
"Tidak apa-apa… Buktinya mata kita tidak silau dan masih bisa memandang dengan jelas ke depan, iya kan?" bisik Gover Robin Polaris lagi dengan nada suara yang semakin dan semakin kecil.
"Iya… Meski cahaya ini terang, cahaya ini tidaklah menyilaukan…" sambung Talitha Thompson lagi dengan nada suara yang semakin dan semakin mengecil.
"Iya… Kita lanjut saja lagi… Tubuhku sudah bisa bergerak dengan leluasa nih… Bagaimana dengan tubuhmu?"
"Iya… Sudah bisa bergerak dengan leluasa… Akhirnya aku bisa bergerak bebas, Gover…"
"Iya… Ayo kita teruskan saja ke depan… Jangan pernah melihat ke belakang lagi… Ada cahaya yang begitu terang telah menanti kita di depan sana…"
"Mmm… Sebenarnya sejak pertama kali kita bertemu dan berkenalan, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu, Gover…" kata Talitha Thompson sedikit merasa ragu.
Gover Robin menghentikan langkah-langkahnya sejenak. Dia memandangi Talitha Thompson dengan sebersit senyuman cerah. "Apa itu?"
"Kurasa aku… aku… aku menyukaimu, Gover… Sudah terlambatkah mengatakan itu kepadamu sekarang?"