"Kau… Kau… Kau hamil anak si Max Julius itu, Jun?" tanya Daniela Helena Johnson pelan-pelan.
Junny Belle memandangi ketiga teman dekatnya secara bergantian. Akhirnya ia mengangguk lirih.
"Iya… Ini anak Max Julius… Aku hamil dua bayi, Friends… Aku hamil bayi kembar…" kata Junny Belle menundukkan kepalanya dengan lemah.
Ketiga teman dekatnya terperanjat kaget lagi. Ketiganya berdiri dengan napas tertahan, dengan mulut mereka yang terbabang lebar.
"Aku tidak tahu apakah aku harus merasa prihatin padamu atau aku harus memberimu ucapan selamat karena sebentar lagi kau akan menjadi seorang ibu, Jun…" Aira Antlia sedikit mendengus kesal.
"Beri aku ucapan selamat saja kalau begitu, Aira… Aku akan melahirkan anak kembar… Tidakkah kalian merasa bergembira untukku?" Junny Belle berusaha menunjukkan senyuman yang secerah dan semenenangkan mungkin.
"Tapi… Tapi… Tapi kedua anak kembarmu itu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok seorang ayah. Apa… Apa…" kata Daniela Helena Johnson tak sanggup meneruskan kekhawatiran dan kecemasannya.
"Apa kau bisa membesarkan dua orang anak sekaligus?" tanya Tasma Jones menyelesaikan kekhawatiran sahabatnya.
Junny Belle tampak mereka-reka sejenak. Sejurus kemudian, dia tampak mengangguk cepat dan tersenyum penuh semangat.
"Tentu saja aku bisa, Friends… Aku akan membesarkan kedua bayi kembar ini sendirian… Mereka berdua adalah bagian penting dari Max yang aku bawa bersamaku sekarang. Melihat mereka nantinya sama saja dengan melihat Max. Tentu saja aku bisa membesarkan mereka berdua."
Aira Antlia mendengus ringan. Tasma Jones dan Daniela Helena Johnson saling bertukar pandang dan menghela napas panjang. Mereka benar-benar salut dengan ketabahan dan ketegaran Junny Belle Polaris.
"Kau sudah memikirkan rencanamu ke depan secara matang-matang, Jun?" tanya Daniela Helena Johnson menghela napas panjang.
Ketiga teman dekat Junny Belle saling berpandangan sesaat. Masing-masing dari mereka mengerti apa yang ingin disampaikan. Namun, tidak ada yang berani mengungkapkannya karena takut melukai perasaan Junny Belle.
"Bukannya aku kejam dan tidak berperasaan, Jun… Usia kandunganmu masih muda dan… dan… dan belum terlambat untuk menggugurkannya…" kata Aira Antlia menatap sang sahabat dengan sorot mata serius.
Junny Belle Polaris menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku mencintai kedua anakku ini, Aira. Aku takkan sanggup membunuh mereka. Mereka adalah darah dagingku sendiri. Mereka adalah buah cintaku dengan ayah mereka."
"Ayah mereka jelas-jelas tidak mencintaimu lagi, Jun… Kau membawa benih dari seorang lelaki yang tidak mencintaimu lagi, yang membencimu sekarang, dan sekarang mungkin saja dia tengah menanamkan benihnya ke rahim wanita lain. Apa kau sudah berpikir panjang kelak apa yang akan kauhadapi dan apa yang harus kaujalani apabila kau memutuskan untuk melahirkan kedua anak ini ke dunia?" tanya Aira Antlia lagi menatap sang sahabat dengan sinar mata serius.
"Tentu saja… Aku akan hidup menjauh dari Max Julius. Aku takkan mengganggu kehidupan barunya bersama Qaydee Zax. Dengan demikian, Qaydee Zax itu juga takkan mempunyai kesempatan untuk mencelakakan atau membahayakan kedua anak kembarku ini bukan?"
Junny Belle terlihat begitu yakin dengan keputusannya. Dia duduk tegak dan terlihat sudah siap menghadapi segala risiko.
Ketiga teman dekatnya terlihat saling berpandangan sejenak. Ketiganya meraih Junny Belle ke dalam pelukan persahabatan mereka.
"Aku ingin kau berpikir masak-masak dulu sebelum memutuskan, Jun… Aku tidak ingin kau menyesal kelak di kemudian hari…" kata Aira Antlia membelai-belai kepala hingga punggung Junny Belle.
"Thanks very much, Teman-teman… Aku sudah memikirkannya masak-masak sejak jauh-jauh hari. Aku tak mungkin menyesalinya, Friends…" kata Junny Belle memejamkan erat matanya seraya menikmati pelukan persahabatan yang diberikan oleh ketiga teman dekatnya.
"Jadilah ibu yang baik untuk kedua anak kembarmu kelak, Junny…" sahut Daniela Helena Johnson.
"Ajarkanlah cinta, persaudaraan dan persahabatan kepada mereka…" sambung Tasma Jones.
"Thanks very much, Teman-teman… Ada teman-teman terbaik seperti kalian di dalam hidupku, itu sudah memberikan aku dorongan semangat yang sangat banyak…" kata Junny Belle masih memejamkan erat kedua matanya dalam pelukan persahabatan ketiga teman dekatnya.
Ponsel Junny Belle berdering. Junny Belle melepaskan diri dari pelukan persahabatan ketiga teman dekatnya sejenak. Dia mengeluarkan ponselnya dari kantong dan tampak nama Dokter Norin Apus Brown berkedap-kedip pada layar ponselnya.
Sontak takut dan khawatir menyalib beranda pikiran Junny Belle seketika.
"Iya… Halo, Dokter Norin… Ada…" Belum sempat Junny Belle menyelesaikan pertanyaannya, pernyataan Dokter Norin sudah bagai gementam meriam yang menghantam kuat saraf pendengarannya.
Ponsel tersebut hampir saja terlepas dari genggaman tangan Junny Belle jika bukan Aira Antlia yang menampungnya.
"Ada apa? Ada apa dengan Gover, Jun?" tanya Aira Antlia cemas.
Air mata Junny Belle kini jatuh tak tertahankan. Cobaan demi cobaan datang menghampirinya bertubi-tubi. Kesedihan demi kesedihan datang menyapa silih berganti. Tragedi demi tragedi datang berselarak satu demi satu.
"Gover sudah mencapai tahap yang benar-benar kritis. Dokter Norin bilang mungkin saja hari ini akan menjadi… menjadi… menjadi hari terakhirnya…" Tangan Junny Belle menutupi mulutnya dan air matanya terus menganak sungai – tiada pangkal, tiada ujung.
Ketiga teman dekatnya kembali saling berpandangan. Mereka bertiga juga mengenal Gover Robin Polaris. Sesekali mereka juga pernah mengikuti Junny Belle Polaris ke rumah sakit menjenguk keadaan pemuda itu. Kini mendengar kabar bahwa pemuda itu hanya memiliki hari ini sebagai hari terakhirnya sungguh membuat perasaan mereka perih teriris. Ketiganya hanya bisa kembali meraih Junny Belle ke dalam pelukan persahabatan mereka.
"Kau ingin ke rumah sakit sekarang?" tanya Aira Antlia sembari menyeka ekor matanya yang mulai basah.
Junny Belle hanya menganggukkan kepalanya dengan air mata yang menetes tiada henti.
"Aku akan menemanimu ke sana. Aku akan minta izin dulu pada Bos."
Aira Antlia menghilang masuk ke dalam ruangan kepala cabang untuk memperoleh izin ke rumah sakit sebentar. Sang kepala cabang dan beberapa rekan kerja yang lain di toko roti tersebut juga mengucapkan turut berduka kepada Junny Belle sebelum akhirnya Aira Antlia menemani Junny Belle ke rumah sakit untuk menjumpai sang adik lelaki, untuk yang terakhir kalinya.
***
"Bagaimana keadaanmu, Gover?" tanya Junny Belle dengan pandangan penuh air mata kepada si adik lelaki yang kini terbaring tidak berdaya di tempat tidurnya.
Terlihat kedua rongga mata Gover Robin Polaris yang hanya terbuka setengah. Terdengar napasnya yang tinggal satu-satu. Terdengar mesin pendeteksi detak jantung yang juga berbunyi satu-satu di samping tempat tidurnya.
Aira Antlia menengok Talitha Thompson yang ada di tempat tidur sebelah. Gadis itu juga mengalami kondisi saat-saat terakhirnya yang juga tak jauh berbeda dengan Gover Robin Polaris. Terlihat orang tuanya, beberapa teman dekat, dan beberapa kerabat dekat sudah mengerubungi tempat tidurnya seolah-olah akan mengantarkannya ke tempat keberangkatannya yang terakhir – ke titik yang benar-benar merupakan tanda titik, ke titik keberangkatan yang paling final.