Yang sebenarnya terjadi adalah…
Sydney, awal Mei 2013
Seperti biasa, hari ini Junny Belle juga masuk kerja di toko roti. Sambil mengaduk-aduk adonan roti yang ada, dia sesekali menyeka dahinya yang penuh dengan peluh. Entah kenapa hari ini dia bisa begitu banyak berkeringat padahal dia tidak mengerjakan pekerjaan yang berat-berat.
"Ada apa, Junny Belle?" tanya sang kepala cabang yang mulai khawatir karena sejak diperhatikannya tadi, wajah Junny Belle terlihat begitu pucat.
"Tak apa, Pak…" kata Junny Belle tersenyum lemah lembut. Dia menyeka dahinya lagi dan kemudian meneruskan pekerjaannya. Sang kepala cabang juga berlalu begitu saja dan kembali ke ruangan kerjanya.
Adonan roti selesai. Junny Belle menyerahkan adonan roti tersebut kepada staff yang bertugas mencetak bentuk-bentuk adonan roti tersebut dan kemudian memasukkannya ke dalam oven untuk dipanggang.
Junny Belle berjalan ke arah locker di mana dia menyimpan tas tangannya yang berukuran kecil. Diam-diam dikeluarkannya susu ibu hamil dari dalam tas tangannya. Sambil celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan memastikan tidak ada yang memergoki apa yang tengah dilakukannya, dia diam-diam menyeduh susu ibu hamil dengan air hangat dari dispenser. Dia meneguk habis susu ibu hamil tersebut dalam beberapa kali teguk.
Junny Belle berjalan kembali ke arah dapur. Dia siap mencampurkan lagi tepung dan telur untuk membuat adonan roti yang berikutnya.
"Kau baik-baik saja?" Tasma Jones kebetulan berjalan ke arah kamar mandi dan ia sempat melewati ruangan dapur.
"Tak apa-apa, Tasma… Mungkin kemarin aku kecapekan karena menjaga Gover di rumah sakit sampai jam dua dini hari," kata Junny Belle tersenyum semenenangkan mungkin.
"Bukankah kau bilang kau takkan terlalu lelah lagi menjaga Gover di rumah sakit?" tukas Tasma Jones sedikit cemberut.
Sambil tersenyum lirih, Junny Belle mulai mengaduk-aduk tepung dan telur yang ada dalam baskom di hadapannya.
"Bagaimana keadaan Gover memangnya sekarang?" tanya Daniela Helena Johnson yang kebetulan juga melewati ruangan dapur dan mendengar percakapan antara Tasma Jones dan Junny Belle Polaris.
"Tidak begitu baik… Kemarin dia mengalami komplikasi lagi… Dokter Norin bilang… bilang… bilang…" Sungguh Junny Belle tak kuasa meneruskan pernyataan tersebut.
"Sudah seburuk itukah?" Tasma Jones merasa sedikit terperengah.
"Dokter Norin bilang… bilang… bilang darah kotor yang ada di tubuhnya sudah mencapai 90%..." Junny Belle kini sedikit terisak. Ia menjauhkan baskom adonan roti tersebut sejenak dan mulai meneteskan air mata.
Daniela Helena Johnson dan Tasma Jones saling berpandangan sejenak. Mereka meraih Junny Belle ke dalam pelukan persahabatan mereka.
Sementara itu, terlihat Clark Campbell menjemput Aira Antlia pergi bekerja. Berpakaian jas lengkap dan dasi, Clark Campbell membunyikan bel apartemen Aira Antlia. Aira Antlia membuka pintu dan hanya menatap Clark Campbell dengan raut wajah yang sedikit masam. Clark Campbell sedikit terhenyak mendapati Aira Antlia masih berpakaian piama warna cokelatnya.
"Lho? Kau tidak kerja hari ini, Aira? Kok masih berpakaian piama?" Clark Campbell sedikit terkejut.
"Aku sudah minta izin bosku barusan… Aku… Aku…" Aira Antlia jadi tidak bisa mengatakan apa sakitnya.
"Kau sakit?" Clark Campbell langsung masuk ke dalam apartemen Aira Antlia.
Clark Campbell menuntun Aira Antlia kembali ke tempat tidurnya dan merebahkan gadis itu di sana. Dia menyentuh dahi dan leher Aira Antlia sejenak.
"Suhu badanmu sepertinya normal. Kau sakit apa sebenarnya, Aira?" tanya Clark Campbell cemas.
Aira Antlia sedikit membuang pandangannya ke arah lain – merasa malu.
"Aku PMS, Clark…" kata Aira Antlia dengan rona merah delima yang mulai menyelimuti kedua belahan pipinya.
Tangan Clark Campbell yang mulanya menyentuh dahi dan leher sang gadis cantik jelita kini hanya membeku di udara. Mulut lelaki tampan nirmala itu juga sedikit terbabang berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi apa yang dikatakan oleh Aira Antlia sebelumnya.
"Kalau itu… Kalau itu… Kalau itu rasa-rasanya aku tidak tahu bagaimana caranya membantu meringankan sakitmu, Aira. Bukankah itu normal terjadi pada setiap perempuan?" Clark Campbell menjadi tersenyum kaku dan aneh.
"Aku sudah makan obat dan vitamin… Thanks banget sudah mengkhawatirkan aku, Clark…" tukas Aira Antlia masih dengan rona merah delima yang menyelimuti kedua belahan pipinya.
"Tak masalah…" Clark Campbell menjadi salah tingkah dan tak tahu dia mesti bagaimana karena dia sudah terlanjur masuk ke dalam apartemen Aira Antlia dan sudah berdiri di sisi tempat tidur sang gadis cantik jelita.
"Kau sudah boleh pergi ke hotel, Clark… Nanti kau terlambat lagi…" pinta Aira Antlia sesekali mendesis kesakitan. Dia sungguh merasa tidak nyaman dengan PMS-nya bulan ini.
"Kau… Kau tidak kenapa-kenapa kan? Apakah… Apakah kau membutuhkan bantuanku?" tanya Clark Campbell memberanikan diri.
"Biasanya aku akan kompres dengan air hangat, Clark… Tak apa-apa… Aku sudah terbiasa melakukannya sendiri. Kau berangkat ke kantor saja. Lagipula… Lagipula…" Rona merah delima semakin jelas pada wajah dan leher Aira Antlia.
Clark Campbell memandangi sang gadis cantik jelita sembari mengerutkan dahi.
"Lagipula… Lagipula… Tidak wajar aku meminta bantuan seorang lelaki untuk mengerjakan hal-hal perempuan seperti ini…"
Clark Campbell meledak dalam tawa lepasnya.
"Kau ingin aku bantu apa? Merebus air panas dan mencampurkannya dengan air dingin? Tidak masalah… Kenapa kau mesti malu? Aku bahkan bersedia kompres perut bagian bawahmu itu jika kau… kau… kau tidak keberatan…" bisik Clark Campbell mesra.
"Jangan… Jangan… Kau cukup rebuskan air panas dan campurkan dengan air dingin saja… Aku kompres sendiri…" gumam Aira Antlia gelagapan.
"Kenapa? Kau takut aku akan mengambil keuntungan darimu? Aku memang seorang fuckboy, tapi aku tidak sebejat itu, Aira…" tukas Clark Campbell dengan wajah cemberut dan ia bergerak menuju dapur.
Sementara Clark Campbell mulai merebus air panas di dapur, Aira Antlia kembali berbaring di atas tempat tidurnya dengan perasaan yang bagai makan buah simalakama.
Lima menit kemudian, Clark Campbell masuk kembali ke kamar tidur Aira Antlia di dalam apartemennya tersebut membawa sebuah baskom berisi air hangat dan handuk kering.
"Oke… Aku akan menunggu di luar… Ketika kau sudah selesai kompres, beritahu aku…" kata Clark Campbell masih dengan raut wajah yang kikuk dan canggung.
"Thanks very much, Clark…" kata Aira Antlia mulai sedikit menutup pintunya. Untuk bisa kompres dengan leluasa, dia harus membuka celana dan undies-nya.
Akan tetapi, sungguh sial bagi Aira Antlia pagi itu… Kram pada perut bagian bawahnya semakin menjadi-jadi dan itu mengakibatkan kedua tangannya gemetaran hebat. Saat ingin mencelupkan handuk yang sudah basah kembali ke dalam baskom berisi air hangat, tangannya yang gemetaran menyenggol baskom berisi air hangat tersebut. Baskom air hangat jatuh ke perut bagian bawah Aira Antlia. Air hangat yang cukup panas mengenai tubuh bagian bawah Aira Antlia dan juga mengenai tempat tidurnya sehingga bagian pinggiran tempat tidurnya menjadi basah kuyup semua.