"Justru pelayanan itu merupakan salah satu unsur paling penting dalam bidang perhotelan, Aira Sayang… Thanks banget… Sesekali aku ingin membawamu jalan-jalan ke hotel kami…" kata Clark Campbell benar-benar serius. Namun, dia sama sekali tidak menyangka keinginannya tersebut sangatlah susah terpenuhi.
"Jangan deh… Nanti timbul gosip-gosip yang tidak pada tempatnya di antara kalangan manager dan staff-mu…" Aira Antlia sedikit menunduk dan tersipu malu.
"Tidak apa… Memang aku rencananya akan bawa kau ke hotel kami jalan-jalan di saat senggang nanti. Di saat orang-orang bertanya, aku akan memperkenalkan kau sebagai pacarku. Kau… kau tidak keberatan kan?" tanya Clark Campbell takut-takut.
Aira Antlia hanya tersenyum cerah nan lemah lembut. Dia tidak mengiyakan, juga tidak menolak.
"Jangan dalam waktu dekat ini… Biar aku siap-siap dulu…" kata Aira Antlia Dickinson kemudian.
Clark Campbell mengangguk ringan nan santai. Makan malam dilanjutkan lagi dengan berbagai canda tawa dan obrolan ringan lainnya.
Clark Campbell kembali ke alam realita. Entah kenapa bayangan Aira Antlia Dickinson malam ini terasa begitu sesak menyiksa. Dia mulai bertanya-tanya apakah bayangan gadis cantik jelita itu yang terasa sesak menyiksa atau justru cinta dan kerinduannya sendiri yang terasa begitu sesak menyiksa?
Clark Campbell hanya bisa menyalurkan hasrat dan gairah kelelakiannya melalui olahraga lima jari malam itu. Dia menenggelamkan diri ke dalam air hangat di bath tub setelah ia menyemburkan sari-sari vitalnya yang cukup banyak.
"Oh, Aira… Aira… Aira Antlia… Bagaimana caranya supaya kau mau mendengarkan aku? Apa yang harus aku perbuat untuk menunjukkan kepadamu bahwasanya kedekatan kita adalah murni karena aku menyukaimu, bukan karena hal-hal lain?" desah Clark Campbell dengan resah gelisah yang terus menggelincir di kuncup pikirannya malam itu.
Sekelumit rindu merecup cinta di padang sanubari Clark Campbell malam itu.
***
Perlahan-lahan, Max Julius membuka kedua bola matanya. Dia mendapati dirinya sudah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dia hanya menatap kosong ke langit-langit kamar rawat inapnya.
"Bang Max…" panggil Fernanda Julia dan Fenny Julia berbarengan.
Max Julius menoleh ke sumber suara tersebut. Dia mendapati kedua adik angkat dan kedua orang tua angkatnya tengah menatapnya dengan raut wajah cemas.
"Apa yang terjadi, Max?" tanya Pak Concordio cemas.
"Kenapa kau bisa ke daerah pinggiran kota seperti itu pada tengah-tengah malam begitu?" tanya Bu Desenda dengan nada suara yang sama cemasnya.
Kedua adik angkat terus menatap ke Max Julius dengan rasa penasaran yang sudah bergolak tinggi. Max Julius hanya membisu seribu bahasa. Dia kembali menatap kosong ke langit-langit kamar rawat inapnya dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca.
"Semuanya sudah berakhir, Dad, Mom… Semuanya sudah berakhir… Dan aku… aku… aku tak lagi memiliki kesempatan apa pun…"
Mendadak saja air mata Max Julius bergulir turun di depan keluarga angkatnya. Sudah sekian lama kedua adik angkat maupun kedua orang tua angkatnya tidak pernah melihatnya meneteskan air mata. Pertama kali mereka melihatnya meneteskan air mata ketika dia tersadar pasca kebakaran yang meninggalkan delapan puluh persen luka bakar pada wajahnya. Kini kecelakaan kecil terjadi dan ketika tersadarkan dari pingsannya, dia juga meneteskan air mata.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi padamu, Nak?" tanya Bu Desenda menggenggam dan meremas tangan anak angkatnya dengan cemas. Max Julius jarang seperti ini. Jika ia seperti ini, berarti memang ada sesuatu yang serius yang sudah terjadi. Tapi apa itu?
"Ceritakanlah, Bang Max… Jika kau tidak cerita, bagaimana kami bisa membantumu?" pinta Fenny Julia dengan suara yang mulai serak. Dia ikut bersedih melihat kesedihan abang angkatnya.
"Iya… Jika kau diam saja, mana kami tahu apa yang sudah terjadi padamu, Bang Max…" sambung Fernanda Julia lirih.
Max Julius menggeleng lirih. Dia menyeka ekor matanya yang sudah berkabut akan air mata. Dia membuang pandangannya ke arah lain. Dalam kondisi hancur seperti ini, dia sama sekali tidak ada mood berbagi penderitaannya kepada keluarga angkatnya yang diketahuinya tidak tahu-menahu segala yang berhubungan dengan masa kecil dan masa remajanya sewaktu ia menetap di Indonesia.
"Aku ingin sendirian, Dad, Mom, Fernanda, Fenny… Sorry… Really really sorry… Saat ini aku membutuhkan kesendirian… Dalam kesendirian tersebut, aku akan berusaha mencari sendiri jawabannya… Tinggalkan aku…"
Max Julius kali ini terisak lembut nan perlahan. Kedua suami istri Campbell hanya bisa saling berpandangan satu sama lain. Tidak ada yang bisa diperbuat mereka selain menuruti keinginan anak angkat mereka. Sama halnya dengan kedua bersaudari Campbell… Mereka hanya bisa saling berpandangan dan menuruti keinginan abang angkat mereka. Detik-detik berikutnya setelah kepergian keluarga angkatnya, Max Julius kembali terpuruk ke dalam kesedihan dan kesendiriannya yang tak berbatas.
Kolase kenangan kebersamaannya dengan Junny Belle sewaktu masa-masa remaja mereka kembali membelandang ke permukaan sanubari sukma Max Julius. Air mata menetes tiada henti.
Kenapa kau tidak mengatakan bahwa kau sakit, Junny Darling? Kenapa kau langsung pergi begitu saja meninggalkan aku dalam kesendirian seperti ini? Hidup di dunia ini tanpamu sungguh adalah hukuman yang begitu kejam. Teganya dirimu membiarkan aku menjalani hukuman yang sungguh-sungguh kejam seperti ini. Teganya kau pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Teganya dirimu menelantarkan aku sendirian dalam penyesalan yang begitu sesak menyiksa ini.
Oh, Jun… Junny Darling… Katakan padaku apa lagi yang bisa kuperbuat untuk menolong, membantumu dan mengembalikan keberadaanmu lagi di sisiku. Aku tahu aku sudah bersalah kepadamu selama ini. Aku sudah melakukan kesalahan yang sungguh-sungguh tidak termaafkan. Namun, bahkan kesempatan bagiku untuk menebus saja tidak kauberikan kepadaku. Kau pergi begitu saja, membawa semua cintamu, semua kenangan kebersamaan kita dan membawa semua kesempatan terakhir yang kumiliki.
Ranai air mata Max Julius menganak sungai – tiada batas, tiada tepi.
Segudang rindu dan pilu merecup duka, nestapa dan gulana di semenanjung pikiran Max Julius pagi itu.
***
"Apa yang harus kita lakukan, Concordio? Max benar-benar kehilangan semangatnya… Entah apa sebenarnya yang sudah terjadi padanya kemarin malam di daerah pinggiran kota itu…" Resah gelisah juga kian menggelimuni rangkup pikiran Bu Desenda Taylor Campbell.
Pak Concordio Campbell tampak berdiri tegak dan menekur.
"Mungkin Clark tahu sesuatu mengenai apa yang terjadi pada Max kita kemarin malam, Desenda. Clark yang kebanyakan waktu berada di samping Max kan?"
"Oh ya kau benar, Concordio… Bisakah kau segera menanyakan hal ini kepada Clark?"
"Ya… Kita pulang saja dulu… Aku akan menyuruh Clark datang ke rumah saja dan aku akan menanyainya apa sebenarnya yang telah terjadi. Aku curiga ini ada kaitannya dengan masa lalu Max ketika ia menetap di Indonesia dulu."
Keluarga Campbell akhirnya pulang kembali ke rumah besar.