Max Julius berusaha meraih kesadaran dan konsentrasinya kembali. Dia harus memutuskan ke mana ia akan mencari sang gadis cantik jelita supaya ia baru bisa menemukan gadis itu.
Setelah memberikan uang kepada sang detektif sewaan, Max Julius segera berlalu dari kafe tersebut. Ia masuk kembali ke dalam mobilnya. Ia tancap gas ke apartemen kelas rendah yang selama ini dihuni oleh Junny Belle.
"Jun! Jun! Junny! Junny! Buka pintunya, Junny! Buka pintunya! Buka pintunya, Junny Belle!" teriak Max Julius sambil menggedor-gedor pintu apartemen Junny Belle. Akan tetapi, berkali-kali ia mengetuk, berkali-kali ia berteriak memanggil nama sang gadis cantik jelita, berkali-kali ia menggedor-gedor pintu apartemen tersebut, tetap saja tak ada jawaban dari dalam.
"Anda mencari siapa, Tuan?" tanya seorang wanita kira-kira berumur enam puluhan awal yang tinggal di seberang apartemen Junny Belle.
"Apakah penghuni apartemen ini ada?" tanya Max Julius panik.
"Seminggu lalu dia sudah pindah keluar… Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi… Apartemen itu kini kosong dan tengah menunggu penyewa yang berikutnya. Apakah Anda ingin menyewanya?" tanya sang wanita tua sambil mengerutkan dahinya.
"Tidak… Terima kasih…" Max Julius segera berlalu dari apartemen kelas rendah itu.
Dengan napas yang tersengal-sengal, Max Julius masuk kembali ke dalam mobilnya. Otaknya berputar dengan cepat lagi. Ke mana ia akan mencari Junny Belle? Ia bahkan tidak tahu di mana sang gadis cantik jelita mencari pekerjaan setelah ditolak habis-habisan oleh The Pride.
Jalan satu-satunya adalah mencarinya di rumah sakit itu – di rumah sakit penyakit kritis di mana Max Julius pernah memergokinya berada dalam pelukan si dokter jantung itu tempo hari. Max Julius berusaha mengingat-ngingat rute ke rumah sakit yang berada di pinggiran kota Sydney tersebut. Sambil mengorek ke dalam ingatannya, Max Julius tancap gas ke sana.
Empat puluh lima menit kemudian, Max Julius berhasil tiba di pelataran parkir rumah sakit tersebut. Terlihat Max Julius berlari-lari kecil masuk ke dalam rumah sakit tersebut dan bergegas ke meja resepsionis.
"Boleh aku tahu di kamar berapa Gover Robin Polaris dirawat?" tanya Max Julius. Untuk menemukan kakaknya, terlebih dahulu dia harus menemukan adiknya dulu bukan?
"Sebentar, Pak…" kata si resepsionis mengecek-ngecek data-data yang ada dalam komputernya.
"Gover Robin Polaris, pasien kelainan katup jantung bukan?"
Max Julius hanya mengangguk cepat. Si resepsionis mengetik-ngetik lagi di komputernya dan beberapa detik kemudian, ia mengangkat kepalanya lagi.
"Maaf, Pak… Gover Robin Polaris sudah meninggal seminggu lalu…" kata si resepsionis. Tentu saja Max Julius terhenyak kaget bukan main mendengar informasi itu.
"Hah? Sudah meninggal?" Secara tidak sadar, Max Julius bahkan memajukan tubuhnya ke depan beberapa senti.
"Benar, Pak…"
Otak encer Max Julius masih bisa berpikir dan berputar dengan cepat. Langkah selanjutnya adalah berbicara empat mata dengan si dokter jantung yang menjadi rival cintanya itu. Tentu saja mustahil si dokter jantung itu tidak mengetahui ke mana Junny Belle pergi bukan? Atau jangan-jangan kini si dokter jantung itu berusaha membujuk rayu Junny Belle supaya mau tinggal serumah dengannya saja. Jelas Max Julius takkan membiarkan hal tersebut terjadi.
"Jadi apakah saya bisa bicara dengan Dokter Norin Apus Brown? Dia kan dokter yang menangani dan mengurus Gover Robin Polaris selama ini?" tanya Max Julius membuat suatu pertaruhan. Dia akan mencari alasan lain untuk bisa berbicara dengan si dokter jantung itu apabila si resepsionis ini menggelengkan kepalanya. Akan tetapi, si resepsionis justru menganggukkan kepalanya.
"Naik dari tangga sebelah sini, Pak… Di lantai dua… Dua ruangan di sebelah kiri setelah tangga…" kata sang resepsionis memberikan petunjuk arah.
"Terima kasih…" kata Max Julius singkat ala kadarnya, tanpa senyum sedikit pun.
Max Julius menaiki anak-anak tangga hingga ke lantai dua. Dia berbelok ke kiri dan mengambil beberapa langkah lebar. Ia menerjang masuk ke ruangan kerja Dokter Norin Apus Brown dengan mimik wajah yang sulit diartikan.
Dokter Norin Apus Brown sedikit menyunggingkan sebersit senyuman sinis tatkala dilihatnya kehadiran sang rival cintanya di dalam ruangan kerjanya malam itu.
"Mau apa lagi kau datang ke sini? Bukankah waktu itu sudah jelas kukatakan? Jangan pernah menampakkan diri di hadapan kami lagi…" desis Dokter Norin dengan sepasang matanya yang mendelik tajam.
"Di mana Junny Belle?" tanya Max Julius dengan sorot mata dingin mengerikan.
"Tidak seharusnya kau mencarinya lagi! Dia sudah tenang sekarang! Kau seharusnya menghabiskan waktumu dengan si Qaydee Zaxmu itu sekarang! Berhentilah mengganggu Junny Belle! Apa belum cukup penderitaan yang kaudatangkan ke kehidupannya selama ini!"
"Katakan di mana Junny Belle berada sekarang! Kau takkan suka berurusan denganku, Dokter!" desis Max Julius dengan nada suara yang begitu rendah dan terdengar begitu mengerikan. Sorot matanya mulai berubah.
"Dia sudah pergi dengan tenang sekarang…" kata Dokter Norin membuang pandangannya ke arah lain.
"Apa maksudmu!" Kali ini terdengar Max Julius menggebrak meja di depan Dokter Norin Apus Brown.
"Itulah maksudku yang sebenarnya! Kau bisa sampai ke sini, tentunya kau sudah tahu apa yang terjadi pada Junny Belle dan adiknya Gover Robin selama ini kan! Seminggu lalu, Junny Belle yang tak tahan melawan penyakitnya lagi memutuskan untuk mendonorkan jantungnya kepada adiknya… Sayang sekali… Sayang sekali…" Narasi Dokter Norin tertahan sampai di sana dan terdengar menggantung di udara.
"Apa kau bilang! Apa kau bilang! Kau berdusta padaku! Jelas kau sedang berdusta padaku!" Max Julius mulai mencengkeram kerah baju seragam Dokter Norin.
Dokter Norin Apus Brown membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah map. Dibantingnya map tersebut ke meja di hadapan Max Julius. Dengan tangan gemetaran dan mata yang berkabut oleh air mata, Max Julius membuka map tersebut dan menelusuri isi yang ada di dalamnya. Dia hanya bisa terduduk lemas ke kursi tamu yang ada di depan meja kerja Dokter Norin Apus Brown.
"Sayang sekali… Terjadi komplikasi pada organ-organ vital Gover Robin saat kami melakukan transplantasi. Kami… Kami tidak bisa menyelamatkan nyawa kedua kakak beradik itu, dan tentunya nyawa kedua… kedua… kedua bayi kembarmu itu juga tidak selamat…" kata Dokter Norin Apus Brown sambil memancarkan sorot mata tajam nan penuh kesinisan ke arah Max Julius yang sudah terhempas tidak berdaya di hadapannya.
"Apa! Itu adalah anakku…? Dua bayi kembar…? Dan kedua bayi kembar itu adalah anakku…?" Terdengar sedikit jerit tangis Max Julius di sini.
Max Julius sungguh terlihat seperti panglima perang yang dihujam ribuan tombak dan trisula, seperti jenderal perang yang digempur dengan senjata nuklir. Dia kehilangan sendi-sendi kehidupannya sekarang. Dia kehilangan seperdelapan dari roh dan jiwanya sendiri.