"Tidak ada akar, rotan pun jadi deh… Sudah hampir sebulan aku tidak bercinta, aku takkan sanggup menahannya, Max. Jangan salahkan aku ya… Salahkan dirimu sendiri yang selalu tidak punya waktu untukku…"
Tak berapa lama kemudian, bel pintu apartemen pribadi Qaydee Zax berbunyi. Qaydee Zax membuka pintu. Terlihatlah sesosok pria bertubuh sungguh atletis, hanya mengenakan celana panjang longgar dan singlet warna kelabu polos berdiri di luar pintu apartemennya. Qaydee Zax membawa masuk pria bertubuh atletis tersebut dan menutup pintu apartemen dengan sangat lembut.
Bibir keduanya mulai saling melumat. Tangan Qaydee Zax yang nakal mulai bergerilya dari leher hingga dada dan perut pria tersebut yang sungguh seksi menggiurkan.
"Aku begitu merindukanmu, Darwin… Sudah berapa lama kau tidak menyentuhku?" desah Qaydee Zax ketika lidahnya sudah mencapai daerah selangkangan pria bertubuh atletis tersebut. Dia menurunkan celana longgar pria itu. Ternyata pria itu tidak mengenakan dalaman. Senjata pamungkasnya langsung menjulang tegak di hadapan wajah Qaydee Zax.
"Terakhir kali kita melakukannya mungkin sekitaran dua bulan lalu…" Si Darwin tampak cengar-cengir sembari mengelus-elus kepala belakangnya.
"Sudah lama ternyata kau menelantarkan aku, Darwin Patterson… Malam ini kau akan kuhukum… Kau yakin kau bisa bertahan tujuh ronde melayaniku?" desah Qaydee Zax dengan sebersit seringai nakal.
"Mudah-mudahan aku bisa…" kata Darwin Patterson juga menyeringai nakal.
"Jangan khawatir… Aku memiliki persediaan kondom yang cukup banyak di apartemen pribadiku ini…" Qaydee Zax tidak menunggu lama lagi. Dia langsung mengulum dan melumat senjata kejantanan yang terpampang di hadapannya.
Terdengar lenguhan dan tarikan napas panjang dari Darwin Patterson. Selanjutnya, Qaydee Zax Thomas akan menghabiskan malam tersebut dengan Darwin Patterson dalam pertempuran ranjang yang beronde-ronde.
Kembali lagi ke Max Julius Campbell yang masih berada di The Pride.
Beberapa menit setelah dia memutuskan hubungan komunikasi dengan Qaydee Zax Thomas, ponselnya berdering lagi. Kali ini tampak tulisan private number pada layar ponselnya. Sambil mengerutkan dahinya, Max Julius menjawab panggilan tersebut.
"Halo, Pak Max Julius… Saya sudah berhasil memperoleh beberapa informasi mengenai Junny Belle Polaris yang mungkin akan membuat Anda tertarik mendengarnya…" kata sang detektif sewaan Max Julius. Max Julius diam-diam juga menyewa seorang detektif untuk memeriksa beberapa informasi yang berkaitan dengan sang gadis cantik jelita yang dicintai dan diharap-harapkannya.
"Oke… Ketemu saja di tempat yang biasa…" kata Max Julius singkat ala kadarnya, langsung memutuskan hubungan komunikasi.
Tanpa mengenakan kembali jasnya, dia langsung menyambar kunci mobil dan dompetnya yang ada di atas meja tulisnya. Sesaat kemudian, sudah tampak mobilnya meluncur keluar dari pelataran parkir VIP hotel The Pride.
Setengah jam kemudian, Max Julius bertemu dengan sang detektif sewaan di sebuah kafe yang cukup eksklusif di belahan selatan kota Sydney. Dia langsung duduk di depan sang detektif sewaan yang sudah sampai di kafe tersebut lima belas menit sebelumnya.
"Jadi informasi apa yang berhasil kaukumpulkan kali ini?" tanya Max Julius langsung ke inti permasalahannya.
Sang detektif meletakkan selembar foto Gover Robin Polaris di atas meja. Max Julius memandangi foto tersebut seraya mengernyitkan dahi. Sang detektif juga meletakkan beberapa lembar catatan kesehatan Gover Robin Polaris yang berhasil disalinnya dari rumah sakit tempat Gover Robin dirawat.
"Jadi benar Gover Robin Polaris ini adalah adiknya?" Max Julius lebih menjurus ke senandika batinnya terhadap dirinya sendiri.
"Benar sekali, Pak Max… Dan ini catatan-catatan kesehatannya selama ini, baik selama tinggal di Surabaya dulu maupun setelah tinggal di Sydney sekarang ini…"
Setelah menelusuri beberapa tulisan pada catatan-catatan tersebut, tentu saja mata Max Julius sontak membelalak lebar.
"Hah…? Katup jantungnya bermasalah? Cacat bawaan lahir…?"
"Benar sekali, Pak Max… Sejak lahir, memang katup jantung Gover Robin Polaris ini bermasalah. Akibatnya, sejak kecil Gover Robin sudah tinggal di rumah sakit."
"Apa tidak ada jalan penyembuhannya?"
"Mereka pernah memeriksa apakah katup jantung buatan bisa dipasang ke jantung Gover Robin Polaris ini atau tidak. Hanya saja, kondisi jantungnya yang memang sudah rusak pada awalnya sehingga tidak memungkinkan untuk bisa dipasang katup jantung buatan mana pun. Jadi, jalan penyembuhan satu-satunya adalah dengan transplantasi jantung. Itu pun harus ada seseorang yang akan meninggal dan jantungnya cocok dengan kondisi tubuh si Gover Robin Polaris ini."
Bagai tersambar halilintar, Max Julius duduk dengan tegang di tempat duduknya. Hidungnya mulai kembang kempis karena gejolak perasaan yang berkecamuk di muara pikirannya.
"Ini catatan kesehatan Junny Belle Polaris sendiri baik selama tinggal di Surabaya maupun ketika tinggal di Sydney sekarang…" kata sang detektif sewaan memperlihatkan beberapa lembar catatan kesehatan Junny Belle dari ia kecil hingga hari ini.
Dengan tangan gemetaran, Max Julius meraih beberapa lembar catatan tersebut. Serta-merta dunia di sekelilingnya menjadi gelap semua – tiada yang terlihat kecuali beberapa lembaran kertas yang kini berada dalam genggaman tangannya.
"Kanker darah…? Ia menderita kanker darah…?" Max Julius mengangkat kedua matanya yang kini sudah membelalak lebar dan menatap nanar ke sang detektif sewaan.
"Benar sekali, Pak Max Julius… Sejak kecil Junny Belle memiliki kelainan sel darah putih dalam tubuhnya. Seiring dengan berjalannya waktu, kelainan tersebut berubah menjadi kanker darah yang kita kenal dengan leukimia. Di catatan-catatan ini jelas terlihat sejak kecil sampai sekarang, Junny Belle Polaris ini sudah beberapa kali menjalani kemoterapi. Kemoterapi yang terakhir kali dijalaninya adalah pada waktu dua tahun yang lalu."
Max Julius bersandar lemas ke sandaran kursinya. Dia sungguh tidak bisa mempercayai segala informasi dan kenyataan ini. Misteri demi misteri mulai terungkap. Segala kolase kata-kata dan kalimat-kalimat Junny Belle yang selama ini terdengar membingungkan, sekarang mulai jelas, mulai terurai satu demi satu, mulai menampakkan titik terang dan titik temu satu demi satu. Segala tindak-tanduk dan keputusan yang diambil Junny Belle selama ini, yang terasa tidak masuk akal nan mengherankan, kini mulai terasa masuk akal, mulai terasa klop, mulai terasa sambung-menyambung dengan segala fakta dan kenyataan yang ada.
Max Julius sungguh tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengklarifikasi segala fakta yang ia terima, segala perasaan yang berkecamuk dalam relung sanubarinya, dan segala keterkejutan yang membelungsing di padang sanubari hatinya.
Oh, Jun! Oh, Junny Darling…! Kenapa selama ini kau tidak pernah mengatakan kau sakit? Kenapa selama ini kau tidak pernah bercerita soal penyakitmu kepadaku? Kenapa…? Apa yang mendasarimu berbuat demikian…? Apa sebenarnya yang selama ini ada dalam pikiranmu? Kau berniat pergi sendirian? Kau berniat meninggalkan aku selamanya tanpa memberikanku kesempatan untuk menjagamu, melindungimu, dan meringankan sedikit rasa sakit yang kaurasakan selama ini?