"Mereka selalu memilihku menjadi ketua kelompok apabila ada tugas-tugas kelompok. Namun, tidak pernah sekali pun mereka mengajukan usul untuk mengerjakan tugas-tugas kelompok itu di tempat tinggalku. Mungkin mereka terlalu malu atau terlalu jijik apabila berkumpul di tempat tinggalku."
"Kadang memang manusia terlalu banyak perhitungan, Max. Biarkan saja… Abaikan saja mereka… Mereka yang membutuhkanmu… Kau sama sekali tidak membutuhkan mereka…"
Max Julius mendekatkan wajahnya ke wajah sang gadis cantik jelita dan menatapnya lekat. Timbul rona merah delima yang mendekorasi wajah cantik jelita Junny Belle dan dia mulai merasa jantungnya berdegup dengan irama yang sedikit lain dari yang lain.
"Makanya itu… Aku merasa kau adalah teman yang spesial buatku… Aku merasa kau begitu istimewa, Jun… Thanks banget ya mau menerima hadiah boneka Doraemonku tempo hari kendati itu adalah barang yang tidak seberapa."
"Aku menyukainya… Aku meletakkannya di samping bantal di atas tempat tidurku. Ketika aku tidak bisa tidur nyenyak, dialah yang menemaniku hingga terlelap."
Max Julius tersenyum cerah sekali lagi. Tangan otomatis terangkat naik dan membelai-belai kepala sang gadis cantik jelita. Akan tetapi, detik-detik berikutnya dia menyadari mungkin dia terlalu lancang. Dia menurunkan tangannya dan menjadi sedikit salah tingkah.
"Sorry… Sorry, Jun…" kata Max Julius menjadi salah tingkah. Dia meneruskan pekerjaannya sementara Junny Belle kembali memperhatikannya dengan sebersit senyuman lemah lembut yang masih bertengger di sudut bibirnya.
"Kenapa kau melihatku terus?" tanya Max Julius menyadari sang bidadari cantik jelita yang terus menatapnya dalam kebisuan.
"Aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengingatmu, untuk melihatmu, untuk menikmati saat-saat kebersamaan ini – selagi aku masih diberikan kesempatan…" kata Junny Belle sedikit miris.
Max Julius tertegun sejenak. Apakah itu berarti Junny Belle akan segera pindah sekolah, pindah ke kota lain, atau bahkan pindah ke negeri lain? Sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikirannya gadis secantik dan selembut itu bisa menderita suatu penyakit mematikan.
"Kau… Kau akan pindah ke tempat lain? Kau akan pindah sekolah? Kudengar kedua orang tuamu adalah ilmuwan dan mereka takkan menetap di satu tempat untuk jangka waktu yang lama… Begitukah…?"
"Aku tidak tahu, Max… Mereka jarang berada di rumah… Segala keperluanku diurus oleh kedua pengasuhku… Mereka jarang mengatakan apa yang ada dalam pikiran mereka. Dan aku juga jarang sekali bisa bercerita segala yang kupikirkan dan kurasakan kepada mereka. Sesungguhnya nasib kita berdua tidak jauh berbeda…"
Max Julius menghentikan pekerjaannya lagi dan menghampiri sang bidadari cantik jelita.
"Setidaknya kau masih bisa membeli apa pun yang kauinginkan… Aku ingin makan nasi goreng ditambah dengan ayam goreng saja, aku harus menyisihkan gajiku selama tiga hari dulu…" kata Max Julius menghela napas panjang.
"Aku tidak ingin terdengar sok idealis… Namun, seandainya kau sudah sampai di tahap yang kulalui sekarang, kau akan menyimpulkan uang itu hanyalah unsur pelengkap, bukan unsur utama. Seandainya kau berada di posisiku saat ini, kau akan mengerti unsur utama di sini itu adalah waktu…"
"Kau sebenarnya kenapa, Jun?"
"Seperti janjiku, Max… Jika sudah tiba saatnya nanti, aku akan memberitahumu… Kau tidak keberatan kan?"
Max Julius tersenyum simpul dan menganggukkan kepalanya. Ia menyelesaikan tahap finishing dalam pembersihannya, meletakkan kembali semua peralatan pembersih ke tempatnya semula dan duduk sebentar merehatkan diri sembari mengipas-ngipasi dirinya dengan sebuah buku tulisnya.
Mendadak timbul pemikiran yang benar-benar liar dalam benak pikiran Junny Belle.
Ya Tuhan… Max Julius berkeringat cukup banyak dan itu membuat pakaian seragamnya menjadi tembus pandang. Benaran dia memiliki otot-otot tubuh yang terpahat nan tergurat sempurna. Ya Tuhan… Di usiaku yang masih belia begini, aku sudah berani berpikir liar dan tidak-tidak. Maafkan aku, Ya Tuhan…
Mendadak lagi Junny Belle mengeluarkan beberapa helai tisu dan mulai mengelap kening, wajah, bahkan sampai ke leher dan tengkuk belakang sang lelaki tampan nirmala. Sontak Max Julius mematung dan tidak berani bergerak sedikit pun. Selama beberapa detik, dirasakannya jarak antara dirinya dan sang gadis cantik jelita begitu dekat, begitu intim.
Ya Tuhan… Cobaan apa lagi ini…? Dalam jarak yang sedemikian dekat ini, aku jadi bisa melihat wajahnya yang begitu cantik dan tubuhnya yang begitu… begitu… begitu… seksi… Ya Tuhan… Maafkan hamba-Mu, Ya Tuhan… Tidak seharusnya di usia yang masih belia seperti ini, aku berpikiran kurang ajar dan berpikiran liar terhadap gadis cantik jelita nan lemah lembut seperti ini.
Junny Belle terus mengeringkan keringat Max Julius dengan beberapa helai tisu miliknya. Keduanya tenggelam dalam kebisuan masing-masing.
Tanpa diketahui oleh Max Julius dan Junny Belle, sebenarnya adegan dalam ruangan UKS tersebut disaksikan oleh sepasang mata Adam Levano Smith dan Qaydee Zax Thomas yang terbakar api kecemburuan.
Lagi dan lagi Max Julius tersadar dari dunia mimpinya. Dia segera melihat ke sekelilingnya. Dia tertidur di ruang istirahat pribadinya dalam ruangan kerjanya di hotel The Pride.
Max Julius kembali menghela napas panjang untuk kesekian kali. Rapat dan evaluasi yang dilakukannya sepanjang hari terasa sungguh melelahkan. Max Julius mengusap wajahnya sebentar dan turun dari tempat tidur. Dia keluar dari ruangan pribadinya dan kembali ke meja kerjanya di bagian depan.
Mendadak ponselnya yang diletakkannya begitu saja di atas meja tulisnya berdering. Tampak nama Qaydee Zax Thomas berkedap-kedip pada layar ponselnya. Dengan malas, Max Julius menjawab panggilan tersebut.
"Max Julius Sayang… Kau sudah mau pulang? Aku ingin makan malam bersama-sama denganmu di apartemenmu malam ini… Kau mau kan?"
"Aku masih lama, Qaydee… Malam ini jangan dulu ya… Masih ada sedikit hal yang harus aku selesaikan di sini…" kata Max Julius berbohong dan menolak secara halus.
Qaydee Zax Thomas menghela napas panjang dan mulai mendesah,
"Aku merindukanmu, Sayang… Aku merindukan wangi tubuhmu dan kekuatanmu… Tahukah kau sudah hampir sebulan kau tidak menyentuhku lagi?"
"Iya… Iya… Aku juga sangat merindukanmu, Qaydee… Tapi benaran malam ini ada sedikit perencanaan acara yang harus aku putuskan karena hari acaranya sudah semakin dekat…" kata Max Julius menolak secara halus lagi.
"Oke deh…" Terdengar helaan napas kecewa di seberang.
"Selamat malam, Qaydee… Besok aku akan menghubungimu lagi ya…" Max Julius langsung memutuskan hubungan komunikasi tanpa menunggu balasan dari Qaydee Zax Thomas dulu.
Sedikit kesal, Qaydee Zax Thomas menghentakkan kakinya ke lantai.
"Selalu saja sibuk, sibuk, dan sibuk… Bilang saja kau lagi tak ada mood denganku malam ini dan ingin menghindariku, iya kan, Max?" Terdengar Qaydee Zax Thomas sedikit menggerutu.
Mendadak muncul ide liar yang kurang ajar dalam benak pikiran Qaydee Zax Thomas. Dia mengambil kembali ponselnya dan mulai mengetik-ngetik sesuatu pada layar ponselnya. Dengan seringai nakal dan kerlingan mata penuh kabut gairah, dia bersenandika pada dirinya sendiri.