"Katanya… Katanya ya… Laki-laki yang pertama kali melihat darah haid kita, laki-laki itulah yang akan menjadi suami kita dan ayah dari anak-anak kita kelak… Katanya ya…" kata si dokter wanita mulai tertawa lepas.
"Aahh… Si dokter ini bisa saja deh…" Junny Belle semakin gelagapan. Rona merah delima pada kedua belahan pipinya semakin jelas.
Si dokter wanita berjalan keluar. Tak lama kemudian, Max Julius kembali masuk dan menghampiri sang gadis cantik jelita. Rona merah delima terlihat masih menyelangkupi kedua belahan pipi Junny Belle.
"Jangan lupa matikan lampu dan tutup pintunya nanti ya, Buddies…" kata si dokter wanita.
Max Julius hanya menganggukkan kepalanya. Si dokter wanita melirik sejenak ke Junny Belle. Si dokter wanita mengedipkan sebelah matanya. Kemudian, ia berlalu keluar dari ruangan UKS sembari mengulum senyumannya.
"Tadi… Tadi kau sempat melihat darahku?" tanya Junny Belle merasa deg-degan.
Max Julius mengangguk mengiyakan. Dia sesekali juga membuang pandangannya ke arah lain karena merasa malu.
"Jangan bilang sama yang lain ya… Ini jadi rahasia di antara kita berdua saja ya…" pinta Junny Belle dengan sebersit senyuman lemah lembut.
Max Julius tersenyum cerah kali ini. Ia mengangguk cepat.
Mendadak saja Junny Belle meraih tangan sang lelaki tampan nirmala yang masih berdiri mematung di sisi tempat tidurnya.
"Tidak ada kursi di sini. Kau pasti capek berdiri terus. Kau duduk di tempat tidur ini saja," kata Junny Belle sedikit meminggirkan dirinya sehingga ada tempat untuk Max Julius duduk.
Max Julius pun duduk di sisi tempat tidur tersebut. Duduk dalam posisi tegak terus-menerus juga bukan solusi. Oleh sebab itu, dia perlahan-lahan membaringkan tubuhnya setengah ke sandaran tempat tidur dan setengah ke dinding ruangan UKS.
Di luar dugaannya, kini Junny Belle merebahkan kepalanya ke dadanya. Kontan langsung terdengar detak jantung Max Julius yang berpacu dalam kecepatan tinggi. Namun, Junny Belle mengabaikan hal itu dan tetap merebahkan kepalanya ke dada sang lelaki tampan nirmala.
"Jun… Jun… Kau…" Saking gugupnya, Max Julius sampai tidak tahu mesti berkata apa.
"Kenapa? Kau pernah bilang kau menyukaiku bukan? Tidak bolehkah aku meminjam sedikit sandaran dari tubuhmu, Max?" Suara Junny Belle lebih mirip suara seorang gadis yang merengek di depan kekasihnya.
Timbul rasa hangat dan cinta yang sedikit misterius merambak di relung-relung perasaan Max Julius. Tangannya mulai naik dan membelai-belai kepala hingga punggung sang gadis cantik jelita. Mulanya, tangannya seakan ragu untuk membelai. Akan tetapi, karena tiada penolakan dari sang gadis cantik jelita, belaian tersebut menjadi semakin lancar.
"Kau tidak marah kan aku… aku… aku memegang kepalamu seperti ini?" tanya Max Julius deg-degan.
"Aku takkan marah, Max… Aku justru membutuhkan itu sebagai bentuk… bentuk… penghiburan… Aku ingin tetap dalam posisi ini setidaknya sampai setengah jam ke depan… Kau tidak keberatan kan?" tanya Junny Belle juga deg-degan bukan main.
Max Julius menggeleng cepat. "Pengasuhmu tidak datang menjemputmu?"
"Lagi pulang kampung… Ibunya sakit keras katanya… Akan balik ke Surabaya Sabtu depan… Hari ini memang rencananya aku pulang naik taksi tadi jika tadi tidak senggugutan," kata Junny Belle lemah lembut.
"Aku naik sepeda sih… Di belakang sepedaku ada tempat duduk boncengannya… Bagaimana… Bagaimana kalau aku yang antar kau pulang saja, Jun?" tanya Max Julius harap-harap cemas.
Junny Belle langsung mengangguk cepat. Sebersit senyuman lemah lembut merekah dan mendekorasi wajahnya yang cantik jelita.
Max Julius juga tersenyum cerah. Tangan terus bergerak, membelai-belai kepala hingga punggung sang bidadari cantik jelita. Sungguh rasanya bagai pucuk dicita ulam tiba. Apakah ini berarti perasaannya mulai berbalas? Apakah ini artinya Junny Belle yang begitu diharap-harapkannya sejak lama ini sudah mulai membalas perasaannya? Apakah ini artinya perasaannya selama ini tidaklah bertepuk sebelah tangan?
Akan tetapi, Max Julius tidak berani berharap terlalu banyak dulu. Baginya, bisa duduk dalam jarak yang sedemikian dekat dan bisa membelai-belai kepala sang bidadari kesayangannya seperti ini sudah termasuk hal yang melambungkan jiwanya ke langit ketujuh.
Satu jam berlalu… Setelah merasa kram pada perutnya agak mereda, Junny Belle bangkit dari rebahannya. Kedua anak remaja tersebut keluar dari ruangan UKS, mematikan lampu dan menutup pintunya. Kini terlihat keduanya kembali ke taman belakang sekolah. Max Julius mengambil peralatan pembersih dari kamar mandi laki-laki dan mulai membersihkan noda darah di bawah bangku kayu yang diduduki oleh Junny Belle tadi.
Terlihat keringat mulai membutir besar-besar di wajah, leher dan tubuh Max Julius. Akibatnya, seragam yang dikenakannya pada hari itu menjadi tembus pandang. Karena tidak tahan dengan panas yang mulai menderanya, Max Julius menanggalkan jas luar seragamnya, melonggarkan dasi, dan sedikit melipat lengan kemeja dalam yang dikenakannya. Junny Belle terus memperhatikan Max Julius menyelesaikan pembersihan tersebut dengan sebersit senyuman lemah lembut yang bertengger di sudut bibirnya.
"Maafkan aku… Gara-gara aku, kau jadi harus repot-repot membersihkan tempat ini," kata Junny Belle dengan seraut wajah bersalah.
"Ini dihitung-hitung kan markas kita juga… Kau lagi sakit… Tidak apa-apa… Aku yang membersihkan saja…" gumam Max Julius.
"Kau pasti lelah…"
"Tak apa-apa… Aku sudah terbiasa membersihkan kamarku sendiri di panti asuhan – mengepel lantai, membersihkan tempat tidur, mengganti seprai, mencuci pakaian-pakaianku sendiri… Di tempat gym aku bekerja, aku juga melakukan hal serupa. Hitung-hitung olahraga…" Max Julius lagi-lagi menampilkan sebersit senyuman cerah, yang hanya bisa ditampilkannya kepada Junny Belle seorang.
"Ada berapa anak di panti asuhan tempat kau tinggal, Max?"
"Ada dua puluh orang… Akulah yang tertua… Mereka semua masih SD, bahkan ada yang TK dan belum bersekolah… Ada dua suster pengasuh yang menjaga, merawat dan membesarkan kami semua. Kini aku sudah besar dan aku juga membantu kedua suster kami menjaga, merawat dan membesarkan adik-adikku di sana…"
Junny Belle hanya tersenyum lemah lembut.
"Kedua Ibu Suster pasti sangat menyayangi kalian semua…"
"Iya… Suster Elizabeth dan Suster Xaveria… Kami semua juga sangat menyayangi mereka berdua…"
"Kapan-kapan jika ada kesempatan, aku ingin berkunjung ke panti asuhan tempat kau tinggal, Max…" kata Junny Belle masih dengan senyuman lemah lembut yang sama.
Max Julius berhenti sesaat dan menoleh ke sang bidadari cantik jelita kesayangannya. Dia terlihat menekur sejenak.
"Kenapa, Max?"
"Tak apa-apa… Hanya sedikit tidak menyangka kau ingin berkunjung ke tempat tinggalku… Tidak pernah ada temanku di sekolah ini yang pernah mengatakan ingin berkunjung ke tempat tinggalku." Max Julius menghentikan pekerjaannya sejenak dan berkata dengan sorot mata menerawang.
Junny Belle hanya membisu seribu bahasa, menunggu sampai sang lelaki tampan nirmala menyelesaikan paragrafnya.