Max Julius hanya mengedikkan bahunya dan membisu seribu bahasa.
"Kau sendiri sudah insaf? Kutengok akhir-akhir ini kau sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki ke klub lagi deh… Aku jadi bertanya-tanya… Apakah akhir-akhir ini kau sama sekali tidak pernah bawa pulang perempuan lain lagi ke apartemen-apartemenmu?"
Max Julius mendesah napas panjang. "Usia semakin bertambah, Clark… Aku rasa aku sudah mulai harus fokus pada satu perempuan, Clark – perempuan yang akan menjadi istri dan ibu dari anak-anakku kelak."
Clark Campbell meledak dalam tawa menyindirnya. "Kau baru berumur 21 tahun, tapi cara bicaramu seolah-olah kau sudah berusia 41 tahun."
"Entahlah… Akhir-akhir ini aku sudah mulai bosan dengan kehidupan malam dan petualangan liar yang kujalani selama beberapa tahun terakhir ini…"
"Kenapa tiba-tiba bisa merasa bosan? Kutengok kau mulai berubah semenjak malam kau merenggut keperawanan Junny Belle itu, Max."
"Kenapa kau selalu mengait-ngaitkan perubahan yang terjadi pada diriku ini dengan perempuan itu, Clark? Sekarang dia sudah berbahagia dengan si dokter jantung. Sebentar lagi mereka akan memiliki anak dan menikah," sungut Max Julius mulai kesal. Terbayang lagi adegan ketika si dokter tampan muncul sebagai pahlawan di tanah kosong belakang The Pride tempo hari yang kembali menyulut api kecemburuannya.
"Kau yakin anak itu adalah anak si dokter jantung itu, bukan anakmu?" Clark Campbell kini menatap Max Julius lekat-lekat.
Max Julius berdiri mematung dan merasa sedikit terkesiap di tempatnya. Dia hanya menerawang ke lantai bawah dari tempatnya berdiri kini, ke tamu-tamu yang memenuhi ruangan ballroom rumah besar Campbell.
"Baru saja aku ingin memberimu ucapan selamat begitu aku mendengar berita kehamilan Junny Belle dari si Qaydee Zax itu. Ternyata oh ternyata… Ada yang langsung menarik kesimpulan secara gegabah tanpa menyelidikinya terlebih dahulu…"
"Dia sendiri yang mengakuinya, Clark! Dia sendiri yang bilang kepada Qaydee Zax anak dalam kandungannya itu adalah anak dari si dokter jantung itu! Aku bisa bilang apa lagi! Tidak mungkin kan aku tetap bertahan pada kenyataan palsu bahwasanya anak dalam kandungannya itu adalah anakku!"
Max Julius melemparkan kedua tangannya ke udara petanda ia mulai menyerah dan tak tahu lagi apa yang mesti diperbuatnya.
Clark Campbell hanya membisu seribu bahasa. Dia tampak seperti sedang mereka-reka sesuatu.
"Akan kuselidiki lagi nanti… Aku kira kenyataan yang sesungguhnya tidak seperti yang terlihat dari luar…" kata Clark Campbell meletakkan tangannya ke bahu sang saudara sepupu.
***
Sydney, pertengahan Mei 2013
Lagi-lagi mimpi masa lalu kembali menggelincir di padang sanubari Max Julius Campbell. Mimpi meloncat ke masa ketika Junny Belle duduk di kelas enam SD dan Max Julius duduk di kelas dua SMP.
Sekolah mereka sedang mengadakan field trip ke Bali. Anak-anak yang mendaftar dan membayar biaya administrasinya boleh berangkat dan menginap di Bali selama tiga malam empat hari. Max Julius diperbolehkan ikut field trip tersebut dan biayanya ditanggung sekolah karena dia terpilih menjadi wakil ketua panitia acara tersebut. Bekerja sama dengan seorang guru Penjaskes SMP mereka yang bertindak sebagai ketua panitia, Max Julius mengurus serba-serbi kegiatan field trip tersebut dari A sampai Z.
Hari ini sudah hari kedua mereka jalan-jalan dan bersenang-senang di Bali. Tampak Max Julius berlari-lari kecil di sepanjang koridor hotel tempat mereka menginap, yang langsung menghadap ke laut lepas. Dia bangun paling awal dan untuk menghabiskan waktu di pagi harinya, dia memutuskan untuk berlari-lari kecil di sekitar hotel mereka menginap.
Mendadak saja dari kejauhan dia melihat Junny Belle juga bangun pagi. Gadis kecil cantik jelita itu tampak berjalan-jalan di sekitaran kolam renang hotel sambil menikmati pemandangan pagi dan menghirup udara pagi hari yang segar.
Namun sial bagi Junny Belle pagi itu, kakinya terpeleset dan dirinya langsung tercebur ke dalam kolam renang. Sang gadis cantik jelita tidak bisa berenang. Dia hanya bisa meronta-ronta di permukaan air. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi dan tak ada seorang pun yang berlalu-lalang di daerah kolam renang dan sekitarnya. Beberapa detik berlalu… Hampir satu menit berlalu dan akhirnya tidak tampak lagi tubuh sang gadis cantik jelita yang meronta-ronta di permukaan air. Tubuh gadis cantik jelita itu tenggelam perlahan-lahan ke dalam kolam renang dengan kedalaman lima meter.
Max Julius yang panik berlari secepat kilat ke arah kolam renang. Dia meloncat masuk ke dalam kolam renang. Dengan tubuh yang meliuk-liuk di dalam air bagai lumba-lumba, dia menarik tubuh gadis tersebut ke atas dan mulai bergerak ke pinggiran kolam. Dia menarik tubuh gadis itu keluar dari kolam renang. Tampak mata sang gadis cantik jelita terpejam erat dan dia sudah tidak sadarkan diri.
"Jun! Jun! Junny Belle! Junny Belle!" panggil Max Julius dengan terus-menerus menepuk pipi sang gadis cantik jelita. Akan tetapi, sang gadis cantik jelita tidak menampakkan tanda-tanda dia akan sadar.
Max Julius mulai kebingungan. Dia celingak-celinguk ke sekitar. Tak ada seorang pun di sana. Haruskah aku memberinya napas buatan? Ketika dia bangun nanti dan tahu akulah yang memberinya napas buatan, akankah dia marah kepadaku? Max Julius yang mengalami dilema terus bersenandika dalam hatinya.
Karena tak ada seorang pun di sekitaran kolam renang tersebut, Max Julius memberanikan diri dan mengambil sedikit risiko dengan memberi Junny Belle napas buatan. Setelah Max Julius menekan-nekan dada sang gadis cantik jelita beberapa kali dan memberinya napas buatan, akhirnya gadis itu terbatuk-batuk, memuncratkan sedikit air dari mulutnya, dan tersadarkan dari shocked-nya karena hampir mati tenggelam tadi.
"Kau tidak kenapa-kenapa?" tanya Max Julius cemas.
"Aku hampir mati tenggelam tadi. Kau… Kau menolongku, Max?"
Max Julius hanya mengangguk dengan rona merah yang mulai menyelangkupi kedua belahan pipinya. Dia membuang pandangannya ke arah lain.
"Hah…? Kau… Kau memberiku napas buatan tadi?" desis Junny Belle dengan suara yang benar-benar kecil hampir tak terdengar.
"Aku… Aku… Really really sorry, Junny… Tadi kau tidak sadarkan diri… Aku… Aku tidak punya pilihan lain selain memberimu napas buatan…" kata Max Julius merasa bersalah.
Junny Belle hanya terdiam dan ia terlihat merapatkan sepasang bibirnya.
"Really really sorry, Jun… Kau… Kau… Kau telah kehilangan ciuman pertamamu ya?" tanya Max Julius lirih dengan perasaan bersalah yang semakin bergejolak.
Junny Belle menganggukkan kepalanya dan kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perlahan-lahan, Max Julius meraih kedua tangan sang gadis cantik jelita dan mencoba menatap dalam-dalam ke kedua bola mata sang gadis cantik jelita.
"Aku minta maaf… Aku… Aku… Aku telah mengambil ciuman pertamamu. Tadi kau tidak sadarkan diri dan aku benar-benar tidak memiliki pilihan lain selain memberimu napas buatan."
Junny Belle perlahan-lahan berdiri. Ia menganggukkan kepalanya.