Mau tidak mau si anak lelaki kurang ajar berdiri dan segera mengambil langkah seribu. Si anak lelaki berbadan tegap nan bedegap berbalik berhadapan dengan Junny Belle.
"Kau tidak apa-apa?"
Junny Belle menggeleng cepat dan mengulas sebersit senyuman lemah lembut. Untuk pertama kali, si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap sedikit tercengang dan berdiri terpaku di hadapan wajah cantik jelita Junny Belle selama beberapa detik. Dia terus memandangi seraut wajah cantik bagai bidadari yang turun dari kahyangan di hadapannya ini. Sungguh si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap itu tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa menelan air liurnya ke tenggorokannya yang serasa tercekat.
"Oke…" Hanya itu yang bisa diucapkan si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap. Dia berjalan ke arah depan dan mulai mengantre membeli sarapannya pagi itu, dengan Junny Belle yang mengekorinya dari belakang dan juga mengantre hendak membeli sayur-mayur dan lauk-pauk sarapannya pagi itu.
Si anak lelaki tiba di depan makanan-makanan yang dijual di kantin pagi itu. Junny Belle berdiri di sampingnya. Dia mengikuti arah pandang si anak lelaki ke ayam goreng yang ada di depannya. Si anak lelaki sebenarnya ingin makan nasi goreng dengan ayam goreng pagi itu, tetapi jelas uang yang diberikan oleh sang pengasuh panti asuhan kepadanya pagi ini tidak memungkinkannya membeli nasi goreng lengkap dengan ayam gorengnya. Dia hanya bisa mengambil sepiring nasi goreng polos tanpa topping apa pun.
Mendadak saja Junny Belle mengambil sepotong ayam goreng yang ada di depannya dan meletakkannya ke atas piring si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap itu. Anak lelaki itu hanya terdiam dan tertegun menyaksikan apa yang diperbuat oleh Junny Belle.
Junny Belle juga mengambilkan sebuah mangga apel yang dijual di kantin pagi itu. Dia meletakkannya di piringnya sendiri dan juga di piring si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap. Si anak lelaki hanya bisa membisu seribu bahasa menyaksikan apa yang diperbuat oleh Junny Belle.
Junny Belle mengambil sayur-mayur dan lauk-pauk yang diinginkannya. Kemudian ia membayar makanannya sendiri dan makanan si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap tersebut.
"Maukah… Maukah… Maukah kau sarapan sama-sama denganku?" tanya Junny Belle menampilkan sebersit senyuman lemah lembut yang manis memabukkan. Seolah terbius dengan mantera yang dikeluarkan oleh Junny Belle, si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap tersebut hanya menganggukkan kepalanya dan mengikuti ke mana langkah-langkah Junny Belle membawanya.
Junny Belle tidak terbiasa makan di kantin, di tengah-tengah keramaian yang membuatnya kurang percaya diri. Dia lebih memilih makan sendirian di taman belakang sekolah yang memiliki bebungaan yang indah dan pepohonan yang rindang nan asri. Di taman tersebut terdapatlah sebuah meja bulat dan kedua bangku panjang, yang terbuat dari kayu, tepat di bawah sebuah pohon mangga yang asri nan rindang.
"Kau selalu… selalu makan di sini?" tanya si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap di saat mereka berdua tengah-tengah menikmati sarapan mereka.
"Iya… Di sini suasananya lebih nyaman dan tenang… Takkan ada yang terus bertanya kepadaku kenapa aku hanya boleh makan nasi merah, kenapa aku tidak boleh makan sayur ini, kenapa aku tidak boleh makan lauk ini…" kata Junny Belle masih dengan senyuman lemah lembut yang sama.
"Jadi, aku juga tidak boleh menanyakan hal itu?" tanya si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap deg-degan.
"Tidak sekarang… Mungkin suatu hari nanti aku akan memberitahumu apa alasannya…" jawab Junny Belle lemah lembut.
Si anak lelaki hanya mangut-mangut. Dia duluan menghabiskan nasi goreng dan ayam gorengnya. Tibalah waktunya dia memakan mangga apel yang berbau harum tersebut. Namun, jelas dia tampak kebingungan bagaimana cara dia mengupas kulit mangga apel tersebut dan memakan dagingnya.
Sambil tersenyum lemah lembut, Junny Belle mengeluarkan sebilah pisau kecil dari dalam tas tangannya yang juga berukuran kecil. Dengan telaten, dia mengupas kulit mangga apel si anak lelaki, membaginya menjadi potongan-potongan kecil dan meletakkannya kembali di atas piring si anak lelaki.
"Makanlah… Ini enak sekali…" Junny Belle menusuk sepotong mangga apel dan menyodorkannya ke mulut si anak lelaki.
Butuh beberapa detik bagi si anak lelaki untuk pulih dari kekakuannya, membuka mulutnya dan memakan potongan mangga apel tersebut. Sambil mengunyah mangga apel yang begitu manis, dia terus menatap anak perempuan yang begitu cantik jelita, yang duduk di hadapannya ini. Tanpa disadarinya waktu itu, perasaan manisnya sudah berangsur-angsur tumbuh, sudah berangsur-angsur berbunga nan bermekaran di relung-relung sanubarinya.
"Thanks banget sudah traktir aku sarapan pagi ini… Dari kecil sampai sekarang, ini adalah sarapanku yang paling lezat…" gumam si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap.
"Thanks juga karena telah menolongku tadi… Namaku Junny… Boleh… Boleh… Boleh aku tahu siapa namamu, Penyelamatku?" tanya Junny Belle mengulurkan tangannya ke depan diiringi dengan sebersit senyuman cerah yang begitu manis memabukkan.
Max Julius dengan bersemangat mengulurkan tangannya ke depan menyambut tangan sang gadis cantik jelita.
"Namaku Max… Max Julius… Kau boleh memanggilku Max saja… Aku kelas enam. Kelasku ada di sebelah kelasmu di lantai satu ini…" kata Max Julius dengan bersemangat.
Mungkin itulah pertama kalinya Max Julius memancarkan sebersit senyuman cerah yang begitu teduh dan hangat. Dia tidak bisa memancarkan senyuman cerah yang sama kepada siapa pun lagi. Dia hanya bisa memancarkannya kepada Junny Belle Polaris.
Sekonyong-konyong Max Julius terbangun dari tidurnya. Dia menyadari dia sedang berendam dalam bath tub di rumah besar. Saking santainya dia dalam bath tub tersebut, dia jatuh tertidur entah sudah berapa lama.
Dengan gontai, Max Julius bangkit dari rendamannya dan segera membasuh sekujur tubuhnya dengan air bersih dari pancuran. Tak lama kemudian, Max Julius sudah keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan pakaian handuk. Dia berdiri di depan cermin besar dalam kamar tidurnya.
Max Julius menatap bayangannya sendiri di cermin. Dia berusaha memancarkan lagi senyuman yang sama, senyuman yang diingatnya dalam mimpinya barusan. Namun, berkali-kali ia mencoba, berkali-kali pula ia gagal. Senyumannya malah terlihat aneh dan kaku. Dia merasa dia menjadi sesosok lelaki idiot yang senyam-senyum sendiri terhadap bayangannya di cermin.
Max Julius menghela napas panjang.
Junny… Junny Belle… Kenapa kau justru bisa hamil dengan si dokter jantung itu? Kenapa kau bisa hamil anaknya? Kenapa kau tidak hamil anakku? Kau tahu aku begitu bahagia ketika mengetahui dirimu hamil? Aku sungguh berharap anak yang ada dalam kandunganmu itu adalah anakku… Namun, kembali aku terhempas ke neraka yang paling dalam tatkala mengetahui anak dalam kandunganmu itu adalah anak lelaki lain.
Oh, Tuhan… Sakitnya bukan main perasaan ini… Sebegitu sakit sampai-sampai aku hampir tidak bisa menahannya lagi… Lebih baik aku mati saja, Ya Tuhan… Lebih baik aku menghilang saja dari dunia ini dan selamanya tidak pernah muncul lagi… Apa yang harus aku perbuat sekarang, Ya Tuhan?