Sydney, akhir April 2013
"Apakah dia perlu menjalani kemoterapi lagi, Dokter?" tanya Nyonya Sufiaty Polaris dengan nada cemas. Meski ruangan kerja si dokter itu ber-AC, dia tetaplah berkeringat dingin karena digerayangi oleh kekhawatiran yang tak kunjung usai.
"Tidak perlu… Kanker darah yang diderita oleh Dik Junny Belle ini masih stadium satu… Cukup dengan memberikannya obat yang bisa menekan pertumbuhan sel darah putihnya…" kata si dokter sembari tersenyum miris.
Si dokter menuliskan sebuah resep dan memberikannya kepada Pak Kendrick Polaris.
"Terima kasih banyak, Dokter…" kata Pak Kendrick Polaris tersenyum lirih.
Si dokter juga sedikit tersenyum miris memandangi gadis kecil yang terus melarikan pandangannya ke seisi ruangan kerjanya dengan sorot mata nanar. Jelas gadis kecil tersebut kesakitan tadi. Akan tetapi, dia hanya bisa meratap dalam diam, menerima takdirnya yang kejam.
Pasangan suami istri Polaris membeli obat itu dari apotek yang juga berada dalam rumah sakit tersebut. Setelah itu, mobil mereka tampak melaju keluar dari pelataran parkir rumah sakit dan berbaur ke lalu lintas yang cukup ramai di kota kedua terbesar di Indonesia itu.
Sejurus kemudian, Junny Belle sudah diantarkan oleh kedua orang tuanya ke sekolah barunya di kota Surabaya. Tahun pelajaran ini dia sudah duduk di kelas empat SD. Sambil melambaikan tangan, Nyonya Sufiaty dan Pak Kendrick mengucapkan sampai jumpa kepada anak perempuan mereka.
"Oke deh… Kita akan mengurus Gover Robin lagi kan sehabis ini?" tukas Pak Kendrick Polaris dengan mata dingin.
"Iya, Ken…" kata Nyonya Sufiaty Polaris sambil menganggukkan kepalanya.
"Sejak awal aku rasa keputusan kita dengan membawanya pulang adalah keputusan yang salah, Sufi… Aku tidak bermaksud menjadi orang yang kejam. Seharusnya kita tinggalkan saja dia di laboratorium itu. Berbuat baik itu juga harus bijaksana, iya kan? Kita telah melakukan perbuatan baik yang sungguh-sungguh telah berada di luar kendali kita."
"Sudah terlanjur, Ken… Kita hanya bisa meneruskan langkah ini. Kita tidak bisa mundur lagi. Jati diri Gover Robin tidak boleh bocor kepada siapa pun, kau tahu itu dengan sejelas-jelasnya kan?" Senyuman Sufiaty Polaris kembali mengingatkan Kendrick Polaris apa tujuan mereka yang sesungguhnya.
"Oke deh… Teruskan… Teruskan… Aku harap semuanya ini segera berakhir, Sufi…" Pak Kendrick Polaris menginjak pedal gas. Mobil meninggalkan pelataran parkir sekolah.
Beberapa jam berlalu. Pelajaran-pelajaran hari itu berlangsung dengan lancar. Tibalah jam istirahat pertama.
"Kau mau makan di kantin, tetapi kau membawa bekal sarapanmu sendiri. Aneh…" celetuk salah satu teman perempuan yang sekelas dengan Junny Belle.
"Kalau dia sih sudah biasa… Dia makannya nasi merah, tidak bisa makan nasi putih… Sayur dan lauknya dia beli dari kantin… Itu pun tidak semua sayur dan lauk bisa dia makan…" kata salah seorang teman lelaki yang juga sekelas dengan Junny Belle.
Junny Belle hanya terdiam. Dia menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap teman-teman sekelasnya.
"Kasihan sekali… Tidak bisa makan nasi putih… Nasi putih baru enak dong… Nasi merah mana enak. Itu kan makanan kakek dan nenekku di rumah…"
Kebetulan kelas Junny Belle hanya bersebelahan dua ruangan dengan kantin. Dia cukup berjalan beberapa langkah untuk bisa sampai ke kantin. Akan tetapi, sepanjang perjalanan dari kelas ke kantin, dia terus dicerca dan dicemooh oleh anak-anak yang lain, yang menganggapnya aneh dan lain dari yang lain.
"Kasihan sekali… Kau sakit ya sehingga tidak bisa makan nasi putih dan tidak semua sayur dan lauk bisa kaumakan?"
"Sakit apa sih kau?"
"Aku pernah coba nasi merah yang biasa dimakan kakek nenekku di rumah. Rasanya itu tidak enak sekali… Kau setiap hari makan nasi merah ini? Aduh… Mengerikan sekali menu-menu makanmu setiap hari…"
"Tidak enakkah nasi merah ini? Sini coba aku rasakan…" kata salah seorang anak lelaki yang sedikit tidak sopan, ingin langsung mengambil secuil nasi merah dalam kotak makan Junny Belle dengan menggunakan tangannya langsung.
"Jangan… Ini nasiku…" kata Junny Belle lirih.
"Aku hanya ingin tes secuil saja… Pelit kali kau…" kata si anak lelaki ingin mencoba mengambil lagi.
"Jangan… Makananku tidak boleh kotor… Aku mohon jangan ambil…"
"Tanganku bersih ini loh… Kau ini benar-benar aneh ya… Aku ingin tes nasi merahmu apakah enak atau tidak. Kasih atau tidak!"
Junny Belle hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memegang erat kotak makannya. Dia mulai ketakutan. Anak lelaki itu semakin kurang ajar. Kali ini dia mencoba merebut kotak makan Junny Belle. Terjadilah tarik-menarik antara dirinya dan Junny Belle sampai akhirnya tangan anak lelaki kurang ajar itu dicekal oleh tangan anak lelaki yang lain, yang badannya jauh lebih besar, tinggi nan bedegap.
"Dia bilang jangan ambil, kenapa kau masih memaksa?" tanya si anak lelaki berbadan lebih besar nan tinggi.
"Apa urusanmu di sini! Aku hanya ingin mengetes nasi merahnya… Apa hubungannya denganmu di sini? Dia adikmu?"
"Dia sahabatku…" kata si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap. Dengan sekali dorong saja, dia berhasil memundurkan si anak lelaki kurang ajar tadi beberapa langkah ke depan.
Si anak lelaki kurang ajar tidak terima. Dia maju dua langkah dan hendak mendaratkan tinjunya ke anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap. Namun, tinjunya yang kecil nan tidak seberapa itu tertahan dalam genggaman tangan si anak lelaki tinggi nan bedegap.
"Sudah kubilang dia adalah sahabatku… Kalau kau berurusan dengannya, berarti kau mau berurusan denganku juga…" geram si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap.
Ia mulai meremas tangan si anak lelaki kurang ajar yang masih menempel dalam genggaman tangannya. Si anak lelaki kurang ajar mulai melolong kesakitan. Namun, tidak ada yang berani mendekat dan menolongnya. Di SD sekolah itu, tidak ada yang berani mencari masalah dengan si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap itu.
Untuk pertama kalinya, Junny Belle terpesona sesaat kepada si anak laki-laki. Dia jarang bercengkerama dengan anak-anak lain seusianya, apalagi anak laki-laki. Itulah pertama kalinya dia bisa melihat sosok tinggi kekar nan bedegap dengan rupa wajah yang nirmala, sempurna nan tanpa cela, berdiri tegak di hadapannya. Tanpa disadarinya, dia mulai bergerak merapat berdiri di belakang tubuh si anak lelaki berbadan besar, kekar nan bedegap.
Dengan sekali dorong, si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap mendorong mundur si anak lelaki kurang ajar itu. Si anak lelaki kurang ajar mundur sempoyongan ke belakang.
"Jangan pernah mengganggunya lagi! Sekali lagi aku dengar kau mengganggunya lagi, kau akan berurusan denganku! Camkan itu!" desis si anak lelaki berbadan tinggi nan bedegap dengan tatapan mata yang mendelik tajam – tidak sedap dipandang mata.