"Pergilah, Max… Di antara kita sudah tidak ada urusan apa pun lagi… Kau sudah memperoleh apa yang kauinginkan, dan aku juga sudah mendapatkan apa yang kuinginkan… Sudah impas… Tidak ada yang mesti dibicarakan lagi…" Junny Belle berbalik badan dan air matanya langsung jatuh seketika.
Hati dan relung perasaan Max Julius Campbell bagai ditusuk ribuan jarum begitu mendengar kata-kata yang sedemikian kejam bisa terlontar keluar dari mulut Junny Belle Polaris yang begitu diharapkan dan dicintainya selama ini. Tangan dan sekujur tubuhnya bergelugut hebat berusaha menahan emosi yang siap-siap akan meletus keluar.
"Iya… Memang tidak ada urusan lagi di antara kita… Aku sudah menikmati apa yang ingin kunikmati dari tubuhmu itu, Junny Belle. Aku juga membayarmu dengan harga yang pantas. Aku senang sekali aku menjadi yang pertama menjamahmu, Junny Belle. Kau tahu kenapa?"
Junny Belle masih berdiri membelakangi Max Julius Campbell. Dia berusaha menahan mati-matian supaya kedua bahunya tidak berguncang hebat karena ia mulai menangis sesenggukan.
"Karena aku tidak suka menyentuh dan memakai barang bekas. Semua barang yang aku sentuh dan yang aku pakai haruslah fresh dari pabriknya…" Dengan sedikit tertawa sinis nan melecehkan, Max Julius berbalik badan dan meninggalkan Junny Belle dalam ruangan dapur tersebut.
Dengan raut wajah yang begitu tidak sedap dipandang mata, Max Julius membuka pintu ruangan dapur. Dia sedikit membanting pintu ruangan dapur tersebut sampai-sampai beberapa pelayan yang berkerumun di depan pintu sedikit terperanjat kaget mendengar suara bantingan pintu itu. Dengan raut wajah masam dan delikan mata yang begitu tajam mengerikan, Max Julius langsung meninggalkan ruangan dapur tersebut tanpa mengatakan apa-apa.
Junny Belle cepat-cepat menyeka ekor matanya. Dengan mata yang masih sembab dan pipi yang masih basah, dia cepat-cepat menghabiskan susu ibu hamilnya dan langsung berjalan keluar dari ruangan dapur tersebut.
Beberapa pelayan yang tadi memang bergerombol di depan pintu ruangan dapur sedikit tercengang dengan kondisi Junny Belle Polaris yang jelas-jelas habis menangis.
Ternyata Qaydee Zax balik ke hotel The Pride lebih awal. Dia bisa menyelesaikan perkara di pabriknya dengan lebih cepat dan dia bisa segera bertolak ke hotel The Pride lebih cepat. Keningnya langsung mengerut dalam tatkala dilihatnya Max Julius Campbell berjalan keluar dari ruangan ballroom lantai bawah dengan delikan mata yang tajam mengerikan. Dia buru-buru menghampiri Max Julius Campbell.
"Sayang… Aku balik lebih cepat… Ternyata urusanku bisa selesai dengan lebih cepat…" kata Qaydee Zax menunjukkan senyuman yang secerah dan seceria mungkin.
"Sudah selesai urusan di pabrikmu sana?" tanya Max Julius dengan agak ketus, tanpa senyum dan tanpa ekspresi.
"Iya… Hanya sedikit perselisihan antara mandor pabrik dan beberapa karyawan yang ada di sana. Sudah selesai karena sudah kubantu mereka carikan titik tengah," kata Qaydee Zax sedikit memamerkan kepintarannya kepada sang lelaki tampan nirmala.
"Aku ingin sendirian dulu, Qaydee… Kita ketemuan jam dua belas nanti dan makan siang bersama. Oke…?" kata Max Julius sudah hendak langsung bergerak menuju ke lift.
"Tapi, ini kan masih pagi, Sayang… Seingatku pagi ini kau tidak ada rapat penting atau kerjaan penting yang mendesak harus diselesaikan bukan?"
"Qaydee! Aku ingin sendirian sekarang ini… Kita ketemuan jam dua belas siang nanti…" kata Max Julius mengulangi sekali lagi kalimatnya barusan, tapi kali ini dengan nada rendah yang terdengar dingin nan menusuk sumsum tulang.
Jika sudah berbicara dengan nada seperti itu, Qaydee Zax langsung tahu Max Julius tidak bisa diajak berkompromi lagi. Sambil menghentakkan kakinya sekali ke lantai, Qaydee Zax hanya bisa membiarkan kekasih tercintanya menghilang masuk ke dalam lift.
Qaydee Zax melirik sebentar ke dalam ballroom di mana pertemuan para dokter jantung masih berlangsung pada pagi hari itu. Terlihat Junny Belle kini sudah duduk agak tenang di balik roti-roti dagangannya. Terbit kebencian yang langsung membelandang ke permukaan sanubari sukma Qaydee Zax Thomas.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Sebelum makan siang, Junny Belle memutuskan ke kamar kecil sebentar. Dia buang air kecil dan mencuci tangan di depan cermin besar kamar mandi perempuan. Rasa mual dan pening kembali menderanya. Perasaan ingin muntah kembali menghampiri perut Junny Belle. Namun, begitu ia membuka mulut di depan wastafel, sama sekali tidak ada cairan apa pun yang keluar dari mulut. Tentu saja Qaydee Zax yang sejak tadi memperhatikannya dari salah satu sekat ruangan kamar mandi, terhenyak bukan main.
Dengan mengambil beberapa langkah lebar, Qaydee Zax mendekati Junny Belle dan mencekal lengan sang gadis cantik jelita. Junny Belle tentu saja juga terperanjat kaget bukan main dicekal secara mendadak nan sekonyong-konyong seperti itu.
"Sudah kukatakan bukan! Sudah pernah kuperingatkan kau sebelumnya jangan pernah coba-coba hamil anak Max!" Terdengar suara Qaydee Zax yang menggeram menahan amarah yang mulai mengerabik di teluk pikirannya.
Junny Belle menepiskan tangan Qaydee Zax dan mundur beberapa langkah sampai tubuhnya menempel pada dinding kamar mandi.
"Ini bukan anak Max. Menjauhlah kau dariku…"
"Oh ya…? Kau ada bukti bahwasanya anak ini bukanlah anak Max?" tanya Qaydee Zax dengan mata melotot tajam.
"Setelah berhubungan dengan Max malam itu, aku ada rutin makan pil KB. Dua minggu berikutnya lagi aku baru berhubungan dengan pacarku yang sekarang. Dan sekarang aku langsung hamil. Sudah jelas bukan ini bukan anak Max?" Jelas-jelas Junny Belle berbohong di sini. Jelas dia tidak pernah berhubungan dengan lelaki mana pun selain Max Julius Campbell.
Lama sekali Qaydee Zax memelototi Junny Belle yang berdiri dengan sangat gugup dengan posisi tubuh yang menempel pada dinding kamar mandi.
"Aku ingin sekali mengandung anak Max. Namun takdir berkehendak lain… Ini anak dari pacarku yang sekarang. Setelah anak ini lahir, mungkin kami akan menikah tahun depan…" kata Junny Belle dengan gugup, berusaha meyakinkan Qaydee Zax yang masih menatapnya dengan penuh kecurigaan.
"Aku tidak percaya dengan kata-katamu… Aku takkan pernah percaya dengan kata-katamu sebelum aku membuktikannya sendiri…" kata Qaydee Zax mulai mengeluarkan ponselnya dan mengetik-ngetik sesuatu di ponsel itu.
Tak berapa lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Masuklah beberapa pengawal Qaydee Zax yang berbadan tinggi tegap, berpakaian jas dan berkacamata hitam.