"Iya loh… Dokter operasi plastik yang dari Seoul waktu itu merupakan dokter operasi plastik terjago dari seluruh dokter-dokter oplas yang Mom cari di seisi dunia ini," sahut Bu Desenda menahan napasnya dan terus memandangi anak sulungnya tanpa kedip.
Max Julius tersenyum tipis ala kadarnya. Dia menarik kursi di ruang makan dan duduk di ruang makan dengan santai. Beberapa pelayan pun menghidangkan makanan dan minuman paginya.
"Kau ada makan obat atau ada ke dokter operasi plastik yang lain lagi, Max?" tanya Pak Concordio dengan dahi yang sedikit mengerut.
"Tidak ada, Dad, Mom… Aku tidak makan obat apa pun dan ke dokter mana pun…" jawab Max Julius mulai memotong daging sapi pilihan pagi itu dan mengarahkannya ke dalam mulut.
"Aku tidak percaya…" celetuk Fernanda Julia.
"Benaran loh, Fernanda… Aku sibuk sekali mengurus hotel-hotel kita. Ada banyak tamu belakangan ini karena musim panas segera tiba. Memangnya kau ada dengar aku ke luar negeri dua atau tiga bulan belakangan ini?" bantah Max Julius meneruskan sarapan paginya.
"Wah… Ini benaran kulit asli, Bang Max. Kau bahkan tidak memakai bedak apa pun. Benar-benar bekas luka pada wajahmu ini sudah hilang total tanpa jejak…" sahut Fenny Julia terus-menerus memegangi, menyentuh, dan mengelus wajah abang lelakinya yang tampan nirmala.
"Lama-lama setelah kaupegangi wajahku ini, wajahku ini akan infeksi, dan bekas luka bakar itu akan muncul lagi, Fenny…" kata Max Julius sedikit berseloroh, namun wajahnya tetap datar, santai nan tanpa ekspresi.
Seisi meja makan meledak dalam tawa lepas mereka ketika Fenny Julia menarik kembali tangannya dengan sikap yang salah tingkah.
"Dengan demikian, kau takkan kesulitan mendapatkan gadis mana pun yang kauinginkan, Bang Max…" tukas Fernanda Julia sembari memperhatikan wajah tampan nirmala abang lelakinya sembari menggigit bibir bawahnya.
Max Julius hanya mengunyah-ngunyah daging sapi pilihannya dengan santai. Pak Concordio sedikit berdeham. Fernanda Julia yang seolah-olah tersadarkan dari lamunannya mengalihkan perhatiannya kembali ke makanannya dan meneruskan sarapannya pagi itu.
"Selamat atas kesembuhanmu, Max…" kata Pak Concordio berjalan ke tempat duduk anak angkatnya dan memberikan suatu pelukan kekerabatan.
"Thanks, Dad…" jawab Max Julius singkat ala kadarnya. Di rumah besar ini, di tengah-tengah keluarga angkatnya ini, dia memang tidak banyak bicara. Dia lebih banyak diam dan tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Selamat ya, Max… Qaydee Zax beruntung sekali terus mendampingimu selama ini… Kini penantiannya berbuah hasil… Dia akan mendapatkan seorang suami yang sungguh sempurna…" kata Bu Desenda menghampiri anak angkatnya memberikan suatu pelukan kekerabatan.
"Thanks, Mom…" jawab Max Julius juga singkat ala kadarnya. Kedua adik angkatnya hanya mendengus kesal ketika nama Qaydee Zax Thomas diungkit-ungkit oleh ibu mereka. Pasalnya mereka berdua memang kurang setuju abang angkat mereka bersanding dengan Qaydee Zax yang menurut mereka terlalu kebanyakan gaya, terlalu centil, tidak tulus dan memiliki niat terselubung terhadap abang angkat mereka.
"Jadi kapan kau akan ke rumah keluarganya dan mengajukan lamaran pernikahan?" tanya Bu Desenda riang gembira nan bersemangat.
"Belum dalam waktu dekat ini… Biarkan musim panas ini berlalu dulu… Ada banyak acara yang ingin aku adakan di hotel kita…" kata Max Julius santai.
"Biarkan saja Max yang menyelesaikannya sendiri, Desenda… Dia sudah besar… Aku percaya dia bisa memutuskannya sendiri…" sahut Pak Concordio sembari menghabiskan sarapan paginya.
"Kan sudah lama mereka pacaran. Sudah bertahun-tahun si Qaydee Zax itu mendampingi Max kita, Concordio… Aku rasa sudah waktunya Max meresmikan hubungannya dengan si Qaydee Zax itu kan? Supaya keluarga orang tidak asyik bertanya-tanya kapan Max akan memperistri anak perempuan mereka…" kata Bu Desenda Taylor Campbell sedikit membela diri.
"Akan kupikirkan nanti, Mom… Sekarang biarkan aku fokus dulu mengurus acara-acara hotel… Aku sudah kenyang, Dad, Mom… Aku ke hotel dulu…" kata Max Julius berdiri dari duduknya dan hendak berjalan meninggalkan meja makan ketika tangan kanan dan tangan kirinya dicegat oleh kedua adik perempuannya.
Max Julius tersenyum simpul. Dia mendaratkan kecupan lembut ke pipi kedua adik perempuannya. Akhirnya, bayangan sang lelaki tampan nirmala pun menghilang ke bagian depan rumah besar. Tak lama kemudian, terdengar bunyi deru mesin mobil yang keluar dari pekarangan depan rumah besar Campbell.
"Mau berapa kali Mom katakan kepada kalian, Fernanda, Fenny? Max Julius adalah abang kalian ya…" tegur Bu Desenda memberikan sedikit penegasan.
"Biarkan saja… Kami memang sudah sepakat bersaing secara adil untuk bisa mendapatkan Bang Max, Mom…" sahut Fernanda Julia santai sambil terus menghabiskan sarapannya.
"Kami tentu saja takkan membiarkan si Qaydee Zax itu berhasil dengan sepak terjang dan segala rencana busuknya selama ini…" sahut Fenny Julia santai juga sambil terus menghabiskan sarapannya.
Pasangan suami istri Campbell saling berpandangan sesaat. Pak Concordio mengangkat kedua tangannya ke udara petanda ia menyerah jika sudah harus berhadapan dengan kedua anak perempuannya yang super manja ini.
"Pertama kali aku memutuskan untuk mengadopsi Max dan membawanya pulang ke rumah ini, aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi…" gumam Pak Concordio lebih terhadap dirinya sendiri.
"Iya… Walau demikian, kalian tetap harus membiarkan keputusan dan pertimbangan akhir ada dalam tangan Bang Max sendiri ya… Jangan terus kalian racuni pikirannya dan pengaruhi dia supaya dia meninggalkan Qaydee Zax itu. Pasalnya Qaydee Zax itu juga tidak buruk-buruk amat kok dibandingkan dengan kalian berdua. Mom rasa tetap Bang Max kalian itu berhak memutuskan gadis mana yang bisa membuatnya bahagia," kata Bu Desenda memberi sekali lagi penegasan dalam kalimat-kalimatnya.
Kedua putri manja keluarga Campbell hanya saling berpandangan sesaat. Keduanya menghabiskan sarapan pagi mereka dan berdiri dari tempat duduk mereka.
"Aku ke kampus dulu, Dad, Mom…" sahut Fenny Julia Campbell segera berlalu dari ruang makan tersebut.
"Aku ke bank dulu, Dad, Mom…" sahut Fernanda Julia Campbell. Fernanda Julia Campbell memang bekerja di bank. Dia menolak bekerja di hotel-hotel ayahnya dan memutuskan untuk mencari pengalamannya sendiri dulu di luar hotel-hotel raksasa ayahnya.
"Menurutmu pada akhirnya nanti Max akan memilih siapa yang menjadi istrinya?" tanya Bu Desenda merasa penasaran.
Pak Concordio hanya mengangkat kedua bahunya dengan ringan. "Entahlah… Selama ini memang Max jarang mengutarakan isi hati dan pikirannya kepadaku. Aku tidak begitu mengerti apa sebenarnya yang ia pikirkan selama ini. Dari mana asal luka bakar pada wajahnya itu saja, sampai sekarang dia tidak pernah ingin menceritakannya kepadaku."
"Iya… Mungkin dia kurang percaya diri karena posisinya yang anak angkat di keluarga kita ini, Concordio… Kau tidak pernah mencoba mendekatkan diri kepadanya dan membuatnya merasa nyaman, mencoba meyakinkannya bahwasanya di mata kita berdua posisinya dan posisi Fernanda dan Fenny itu adalah sama?"
"Tentu saja… Sudah berkali-kali aku melakukan apa yang kaubilang itu. Akan tetapi, yah begitulah… Mungkin memang sudah pada dasarnya Max begitu… Memang sudah dari sananya Max memiliki kepribadian yang demikian – tertutup dan sedikit misterius…" tukas Pak Concordio menyesap kopinya pada pagi hari itu.
Bu Desenda Taylor Campbell hanya mangut-mangut mendengarkan penuturan sang suami.