"Kenapa kau bisa berpikir begitu?"
"Tentu saja nilai tambah… Max Julius ke depannya akan sukses dengan mengandalkan kemampuan dan kepintarannya sendiri, bukan dengan mengandalkan harta warisan peninggalan orang tua, iya kan?" Mereka berbisik-bisik karena takut kedengaran oleh Adam Levano Smith.
"Iya ya… Lagipula, aku juga kurang suka dengan gaya dan pembawaan si Adam Levano Smith yang terkesan angkuh dan congkak selama ini… Aku tidak sreg saja dan menurutku dia itu kurang cocok bersanding dengan Junny Belle kita…"
"Iya juga sih… Pasalnya Junny Belle kita kan tergolong ke gadis yang lemah lembut, pengertian, dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri…"
"Iya… Kau merasa tidak cocok saja kan si Adam Levano Smith itu bersanding dengan Junny Belle kita?"
"Jangan keras-keras… Orangnya masih berada dalam kantin ini… Nanti dia dengar pula… Lebih baik kita keluar dulu dari sini dan bicarakan hal ini di tempat lain saja…"
Nyatanya, Adam Levano Smith tetap bisa mendengar bisik-bisik tersebut. Dengan gusar dan kemarahan yang sudah memuncak, dia mencampakkan hadiahnya sendiri ke lantai. Jam tangan mahal tersebut hancur dan rusak seketika – dengan jarum jam, jarum menit dan jarum detik yang bertebaran ke segala arah. Dengan gusar pula, Adam Levano Smith melangkahkan kedua kakinya segera keluar dari kantin tersebut.
Tinggallah Vallentco Harianto dan Jay Frans Xaverius saling berpandang-pandangan di dalam kantin tersebut. Mereka terlihat menggaruk-garuk kepala mereka yang sebenarnya tidak gatal dengan dahi yang berkerut dalam.
Sampailah Max Julius dan Junny Belle di taman samping sekolah.
"Thanks very much karena telah menerima hadiahku, Jun… Apakah ini berarti… berarti… kau menerima perasaanku?" tanya Max Julius dengan deg-degan.
Junny Belle menggeleng lirih. Sedikit sakit perasaan Max Julius melihat gelengan kepala tersebut. Namun, dengan menerima hadiahnya hari ini saja, Junny Belle sudah berhasil melambungkan jiwa Max Julius ke langit yang ketujuh. Seolah-olah Max Julius berubah menjadi anak lelaki yang paling berbahagia di seluruh semesta raya hari ini.
"Kau sama sekali tidak menyukaiku…?"
Kali ini Junny Belle menggelengkan kepalanya. "Tentu saja aku menyukaimu, Max… Sangat menyukaimu… Justru aku berterima kasih hanya kaulah yang selalu siap membantuku kapan pun aku membutuhkan bantuanmu… Justru aku berterima kasih sekali kau ingin berteman dengan cewek yang pendiam dan penyendiri sepertiku ini…"
Senyuman lirih juga merekah di wajah tampan Max Julius.
"Lalu kenapa kau tidak bisa menerima perasaanku ini, Junny? Apakah karena aku adalah seorang anak yang tinggal di panti asuhan?" tanya Max Julius dengan kepala yang kini tertunduk lemah.
Junny Belle buru-buru mengangkat kembali kepala sang lelaki tampan. Dia menggeleng cepat.
"Ada satu alasan yang tidak bisa kuberitahukan kepadamu sekarang, Max."
"Kenapa? Haruskah ada rahasia di antara kita?"
"Aku mohon… Beri aku waktu… Jika memang sudah saatnya, aku akan memberitahumu rahasia itu, Max. Aku sedikit… sedikit takut… sedikit resah…" kata Junny Belle lagi sedikit terbata-bata.
"Takut apa?"
"Takut kedekatan kita ini takkan bertahan lama… Takut suatu saat perpisahan akan datang membayang…"
"Meski kau pindah sekolah atau kelak kemungkinan kita takkan bersekolah di sekolah yang sama, aku pasti akan bisa menemukanmu, Junny Darling… Aku pasti akan mencarimu dan akan bisa menemukanmu… Sesungguhnya tidak ada yang perlu kaukhawatirkan…" kata Max Julius.
Tangan Max Julius perlahan-lahan terangkat. Tangan tersebut membelai-belai rambut dan wajah Junny Belle yang cantik jelita.
"Aku tidak berani menjanjikan apa-apa padamu, Max… Aku bahkan tidak yakin terhadap apa yang akan terjadi pada diriku esok-esok hari… Aku tidak berani berjanji apa-apa padamu…" tukas Junny Belle dengan kedua bola mata yang sedikit berkaca-kaca.
Alis Max Julius sedikit terangkat naik. Dahi mengernyit dalam. Ada satu kebingungan yang tidak terjelaskan di wajah Max Julius. Gadis cantik jelita di hadapannya mengatakan ia juga memiliki perasaan yang sama. Namun, kenapa ia sekarang bilang ia tidak berani menjanjikan apa-apa kepadanya dan tidak berani menerima perasaannya? Apa sebenarnya yang telah terjadi di sini? Max Julius mereka-reka dalam benak pikirannya. Ternyata memang benar ada sesuatu yang menjadi rahasia kelam dalam diri sang gadis cantik jelita ini.
"Akankah kau mengatakannya kepadaku jika waktunya sudah tiba?" tanya Max Julius lemah lembut lagi.
Junny Belle mengangguk cepat.
"Pengasuhku sudah datang menjemput… Aku pulang dulu ya…" kata Junny Belle segera berlalu dari hadapan Max Julius sambil terus memeluk boneka Doraemon yang dihadiahkannya barusan.
Ingin rasanya Max Julius merengkuh sang gadis cantik jelita ke dalam dekapan kehangatannya. Akan tetapi, semua hanya tertoreh dalam angan-angan. Semuanya hanya tergaris dalam alam khayal. Semuanya hanya terucap dalam alam imajinasi.
Kenapa kau tidak bisa menerima perasaanku, Junny Belle? Kenapa kau terus menolakku? Kenapa kau terus menciptakan jarak di antara kita, jarak yang semakin hari semakin lebar?
Seketika Max Julius terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Dia celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri. Ia mendapati dirinya berada dalam kamarnya sendiri di rumah besar. Malam sebelumnya ia memang memutuskan untuk pulang ke rumah besar. Terlalu lama tidak pulang dan hanya tidur di apartemen-apartemen pribadinya hanya akan memancing serentetan pertanyaan panjang tak berpangkal ujung dari kedua orang tua angkat dan kedua adik angkatnya.
Kaki melangkah turun dari tempat tidur. Tubuh telanjang yang hanya terbalut undies melangkah menuju ke kamar mandi. Terdengar guyuran air di kamar mandi.
Lima belas menit kemudian Max Julius sudah berpakaian lengkap dan rapi, berjalan menuruni tangga ke lantai bawah. Pagi ini dia tidak mengenakan jas dan dasi. Dia memakai kemeja berlengan panjang dengan kedua lengannya yang sedikit dilipat ke atas. Dia mengenakan kemeja berlengan panjang yang sewarna dengan celana panjang yang dikenakannya. Bahkan sepatu dan kaus kaki juga memiliki warna dasar cokelat yang hampir-hampir mirip.
Fernanda Julia Campbell yang pertama kali memekik kaget karena abang laki-lakinya sudah tidak mengenakan topengnya dan sudah tidak memiliki bekas luka sama sekali di wajahnya.
Fenny Julia Campbell juga memekik kaget sampai-sampai Pak Concordio Campbell dan Bu Desenda Taylor Campbell terperanjat kaget bukan main.
Kini Max Julius tampil tanpa topeng dengan wajahnya yang tampan nirmala. Dia menyisir seluruh rambutnya ke belakang, memperlihatkan jidatnya yang putih, bersih, nan lebar.
Pak Concordio Campbell dan Bu Desenda Campbell juga berbalik ke belakang guna melihat keadaan anak angkat mereka sebentar. Mereka juga terhenyak kaget bukan main karena kini wajah Max Julius Campbell sudah tidak memiliki bekas luka bakar sedikit pun.
"Kau ke dokter operasi plastik yang mana, Bang Max?" tanya Fernanda Julia.
"Bahkan dokter operasi plastik yang dari Seoul waktu itu saja angkat tangan," celetuk Fenny Julia.