Aira Antlia mengangguk-nganggukkan kepalanya. Dia masih membelai-belai kepala dan rambut sang sahabat. Air mata sesekali akan berlinang nan menetes turun.
Junny Belle membuang pandangannya ke jalanan sibuk di luar toko roti. Keriap duka dan pilu kembali berselarak di beranda hatinya.
***
Hari ini banyak sekali tamu mancanegara yang menginap di hotel The Pride yang memang sudah terkenal di mana-mana. Musim panas akan segera tiba. Musim liburan sudah mulai datang menyapa. Sudah mulai banyak turis luar negeri dan turis lokal yang mengunjungi kota Sydney. Kebanyakan menginap di hotel The Pride yang memang namanya sudah terdengar di mana-mana.
Akan tetapi, justru terlihat Max Julius duduk mengerutkan dahi, sepertinya sedang memikirkan sesuatu di kursi kebesarannya. Beragam tanda tanya dan tanda seru masih meragas benak pikirannya.
Terdengar suara ketukan di pintu. Pintu terbuka dan masuklah Clark Campbell.
"Ini dia laporan terakhir mengenai Adam Levano Smith dan Lolita Jacqueline Smith," kata Clark Campbell meletakkan satu amplop cokelat besar di atas meja kerja sang direktur tertinggi.
Max Julius mengeluarkan beberapa lembar kertas ukuran folio dari dalam amplop. Setelah beberapa detik menelusuri isi kertas-kertas tersebut, akhirnya terlihatlah sebersit senyuman sinis dari wajah Max Julius yang tampan nirmala.
"Adam Levano Smith akhirnya bunuh diri setelah konstruksinya mengalami kerugian besar. Lolita Jacqueline Smith mengalami tekanan mental yang dahsyat dan kini tengah dirawat di rumah sakit jiwa. Tinggallah anak perempuan mereka yang berumur satu tahun. Anak itu kini tinggal bersama saudara perempuan dari Lolita Jacqueline Smith ini, yang tidak menikah dan hanya membuka sebuah restoran kecil di pinggiran kota Sydney."
Max Julius mengangguk santai nan ringan.
"Oke… Cari tahu di mana restoran kecil itu… Aku akan ubah restoran itu menjadi sebuah restoran besar yang bakalan terkenal di mana-mana nantinya… Cari tahu juga di mana anak perempuan itu akan bersekolah nantinya… Aku yang akan menanggung biaya sekolah anak perempuan itu sampai dia tamat SMA…"
Clark Campbell sedikit menaikkan alisnya. "Kenapa mendadak kau menjadi berhati malaikat seperti ini?"
"Aku takkan pernah mau melibatkan anak kecil dan orang-orang yang tidak tahu apa-apa ke dalam pembalasan dendamku," tukas Max Julius santai nan tanpa ekspresi.
Clark Campbell mengangguk-nganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya yang membuatku penasaran adalah bagaimana kau bisa menjebak pasangan suami istri Smith ini supaya mereka bisa datang sendiri ke hotel ini dan mengajakmu kerja sama…" Clark Campbell terlihat sedikit mengernyitkan keningnya.
"Adam Levano Smith terkenal suka bermain saham selain hobinya menjalankan perusahaan konstruksinya. Jadi, aku dengar ada sebagian saham perusahaan konstruksi itu yang dipertaruhkannya dalam bursa saham. Kudengar ya… Entah benar entah tidak… Perusahaan itu sejak dulu sampai sekarang tidak pernah berkembang sebagian adalah karena hobinya main saham dan tak pandai membaca situasi dalam dunia bursa saham. Tentu saja dia akan keteteran mencari-cari cara bagaimana mengembangkan nama perusahaan konstruksinya. Salah satunya adalah ya mengajak kerja sama perusahaan-perusahaan lain yang sudah memiliki household names sama seperti The Pride."
"Kau yakin sekali mereka berdua akan datang ke The Pride dan mengajakmu kerja sama?" tanya Clark Campbell lagi.
"Kau terlalu meremehkan kekuatan nama The Pride kita, Clark…" Max Julius sedikit terkekeh kecil.
"Ketika pertama kali bertemu denganmu, mereka tidak bisa mengenalimu?" tanya Clark Campbell lagi sembari sedikit membesarkan sepasang bola matanya.
Max Julius menggeleng ringan dan santai.
"Semua musuhku ketika bertemu denganku lagi sekarang, semuanya tidak bisa mengenaliku lagi meski aku tetap memakai nama Max Julius ini dan ditambah dengan nama Campbell dari Ayah yang membesarkanku hingga hari ini. Adam Levano Smith dan istrinya Lolita Jacqueline Smith tidak bisa mengenaliku; Vallentco Harianto dan Jay Frans Xaverius itu juga tidak mengenaliku… Mereka tidak bisa mengenaliku atau memang mereka menganggapku telah tewas terbakar di dalam gudang panti asuhan itu – entahlah, aku tidak tahu… Hanya mereka sendirilah yang tahu…"
"Mereka pernah membakarmu hidup-hidup di dalam gudang panti asuhan tempat tinggalmu dulu di Indonesia?" tanya Clark Campbell dengan napas tertahan. Dia terperanjat kaget bukan main pasalnya selama ini Max Julius sama sekali tidak pernah bercerita apa-apa soal kejadian yang menimpanya sehingga dia bisa memiliki luka bakar 90% di wajahnya hingga detik ini.
Max Julius hanya mengangguk santai nan ringan – tanpa ekspresi.
"Mereka berempat semuanya tidak bisa mengenaliku ketika bertemu denganku lagi di Sydney ini… Namun, ada satu orang yang tetap bisa mengenaliku meski aku kini tampil dengan topeng penutup muka ini, menutupi hampir seluruh wajahku yang penuh dengan luka bakar…" kata Max Julius melanjutkan, masih dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.
"Junny Belle Polaris…" tebak Clark Campbell. Max Julius kembali mengangguk mengiyakan.
"Ada sesuatu yang istimewa dalam diri gadis itu kurasa… Apakah… apakah dia begitu spesial dan berarti bagimu, Max?" tanya Clark Campbell lagi.
"Dia sangat cantik… Aku pertama kali bertemu dengannya ketika aku di kelas enam SD dan dia di kelas empat SD… Kami berteman sampai aku kelas tiga SMP dan dia kelas satu SMP. Aku pernah menyatakan perasaanku padanya waktu itu. Namun, dia menolakku… Dia menolakku tanpa alasan yang jelas. Beberapa saat setelah itu, aku tahu Adam Levano Smith juga mengejar-ngejar dirinya. Adam Levano Smith yang waktu itu memang jauh di atasku dengan kekayaan keluarganya dan status sosialnya, juga mengejar-ngejar Junny Belle Polaris yang sudah aku harapkan, sudah aku tunggu-tunggu dan aku impi-impikan sedemikian lama…"
Tampak kedua tangan Max Julius yang mengepal di atas meja.
"Dan kau langsung menyimpulkan Junny Belle menolakmu gara-gara alasan status sosial?"
"Tentu saja… Ada alasan apa lagi kalau bukan alasan status sosial ini…? Waktu itu memang ayah ibu Junny Belle Polaris ini memiliki kedudukan status sosial yang lumayan berada di kota Surabaya tempat kami tinggal. Aku dengar ayahnya waktu itu memiliki banyak aset… memiliki banyak rumah dan apartemen di Surabaya, di Jakarta, di Medan, di Singapura, di Kuala Lumpur, di Bangkok, di Taipei, di Beijing, Shang Hai, dan bahkan di Sydney sini…"
"Berarti ada rumah peninggalan kedua orang tuanya di sini?"
"Iya… Tapi terakhir kali aku dengar disewakannya rumah peninggalan kedua orang tuanya itu dan lebih memilih tinggal di sebuah apartemen kecil, mungil, ala kadarnya…"
"Kenapa? Bangkrut ya?"
"Entahlah…" Max Julius mengangkat kedua bahunya – acuh tak acuh. "Dia menolakku berkali-kali… Bahkan bisa dibilang dia yang memancingku ke gudang panti asuhanku itu dan di sanalah mereka menyalakan api, ingin membakarku hidup-hidup… Tapi mereka salah… Aku masih hidup hingga detik ini, hingga hari ini… Hari ini aku bahkan sudah berada di atas mereka dan memberikan pembalasan sepuluh kali lipat daripada apa yang mereka perbuat padaku…"
Mata Max Julius mulai tampak menyala-nyala, penuh dendam dan kebencian.