Chereads / 3MJ / Chapter 214 - Mencari Pendonor Sumsum Tulang Belakang

Chapter 214 - Mencari Pendonor Sumsum Tulang Belakang

Seminggu berlalu sudah… Begitu rasa sakit dan perih pada daerah selangkangannya sudah sepenuhnya menghilang, Junny Belle sudah masuk kerja seperti biasa. Dia bekerja di sebuah toko roti yang cukup besar di pusat kota Sydney. Dia bekerja sebagai salah satu tukang roti di dapur. Dia menguasai berbagai resep roti di toko tersebut. Toko tersebut memiliki banyak cabang yang tersebar di seantero Australia. Junny Belle bekerja di toko yang menjadi kantor pusat. Sesekali akan terlihat sang kepala cabang di kantor pusat berlalu-lalang sembari menginspeksi pekerjaan para tukang roti yang kini berkutat dengan pekerjaan masing-masing.

Terlihat Junny Belle sedang mengguling dan sedikit membanting adonan kue yang telah tercampur rata dalam sebuah mesin. Adonan tersebut keluar dari bagian ujung mesin untuk kemudian diguling-guling dan dibanting-banting secara manual. Melihat Junny Belle yang sedikit kelelahan, sang kepala cabang menegur halus,

"Kau kelelahan, Jun?" tanya si kepala cabang yang setengah baya itu.

"Tidak apa-apa, Pak… Kemarin aku jaga adikku di rumah sakit dan balik ke apartemen jam dua dini hari. Mungkin sedikit kelelahan, Pak…"

"Habis ini, beristirahatlah… Biarkan mereka yang membentuk dan mencetak adonan-adonan roti ini…" kata si kepala cabang sembari tersenyum tipis.

"Baik… Terima kasih banyak, Pak…" kata Junny Belle meneruskan pekerjaannya.

Dalam hati, Junny Belle sedikit bersyukur. Si kepala cabang ini begitu baik hati, masih ingin menerima dirinya yang penyakitan bekerja di toko roti ini, dan membayarnya dengan gaji yang lumayan cukup untuk biaya penghidupannya sehari-hari. Si kepala cabang ini mengetahui dirinya yang mengidap leukimia sejak lahir, dan masih saja bersedia mempekerjakannya di toko ini. Junny Belle juga memiliki beberapa rekan kerja yang menjadi teman baiknya di toko roti ini. Dia merasa sangat bersyukur. Di tengah-tengah badai yang menerpa hidupnya tiada henti, sesekali dia masih bisa menikmati angin sepoi-sepoi dan hangatnya sinar matahari.

Setengah jam berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Karena riwayat kesehatannya, Junny Belle memang memiliki waktu istirahat yang jauh lebih panjang daripada karyawan-karyawati lain. Junny Belle diizinkan beristirahat dari pukul sebelas siang hingga jam dua siang. Namun, terkadang Junny Belle tidak murni beristirahat total. Dia akan memanfaatkan waktu istirahatnya untuk memasak beragam menu makan siang untuk sang kepala cabang berikut semua rekan kerjanya di toko roti tersebut. Sering kali sang kepala cabang dan semua rekan kerjanya tidak pernah makan siang di luar. Mereka lebih ketagihan dengan masakan-masakan Junny Belle.

Sama halnya pula dengan siang ini… Dia berencana memasak satu menu dari Indonesia tempat dia tinggal ketika kecil dan beranjak remaja. Dia berencana memasak rendang sapi. Rempah-rempah yang dia pesan online dari Indonesia baru saja tiba kemarin sore. Jadi, hari ini dia akan memasakkan menu tersebut.

Sejurus kemudian, mulai tercium aroma menggugah selera dari bagian dapur yang lain. Ada beberapa pembantu harian yang juga turut membantu Junny Belle menyiapkan makan siang hari itu.

"Wow… Kau memasak apaan nih, Jun?" cetus Tasma Jones.

"Kalau tidak salah, ini rendang kan?" celetuk Aira Antlia Dickinson.

"Dari mana kau tahu, Aira?" tanya Junny Belle terkekeh kecil.

"Pernah aku ke Indonesia waktu remaja dulu. Aku pernah diajak orang tuaku ke Danau Toba di Sumatera Utara Indonesia. Aku pernah makan ini waktu itu. Rasanya lezat dan nikmat sekali. Tapi, pedasnya itu loh… Aku tidak bisa menahannya kadang…" celetuk Aira Antlia meledak dalam tawa renyahnya.

"Jangan cemas… Aku tidak memasukkan banyak cabai… Aku tahu kalian tidak suka makan pedas…" celetuk Junny Belle kembali terkekeh kecil.

"Bagus deh…" Aira Antlia mengacungkan jempolnya.

"Aduh… Tak ada dirimu, makan siang kami bisa terancam tiap hari, Jun…" sahut Daniela Helena Johnson.

Junny Belle hanya kembali tergelak kecil. Daniela Helena dan Tasma Jones kembali ke counter mereka di ruang depan. Mereka adalah kasir dan staff yang melayani pembeli di bagian depan. Tinggallah Aira Antlia di belakang, masih membaui aroma semerbak yang menggugah selera di sana.

"Siap deh… Tinggal diangkat dari wajan ini… Hidangkan di lima piring yang berbeda ini ya…" kata Junny Belle pada salah satu pembantu harian yang membantunya siang itu. Si pembantu harian mengangguk cepat nan mantap.

"Kau sudah selesai?" tanya Junny Belle pada Aira Antlia. Aira Antlia mengangguk ringan nan santai.

"Aku tidak ada banyak kerjaan hari ini… Seluruh laporan sudah aku selesaikan kemarin… Sore ini nanti tunggu transaksi yang baru untuk dimasukkan ke dalam komputer…" Aira Antlia adalah bagian accounting pusat yang mengurus seluruh transaksi dari cabang-cabang toko roti tersebut yang tersebar di seluruh Australia.

"Oke deh… Aku juga sudah siap… Aku agak sedikit lelah hari ini, Aira… Aku ingin istirahat dulu sejenak…" kata Junny Belle dengan senyuman lirih.

Junny Belle kini duduk di ruang istirahat mereka sembari menyesap secangkir susu strawberry dingin. Aira Antlia menatap sang sahabat dengan raut wajah khawatir.

"Kau tidak kenapa-kenapa kan?"

"Jangan khawatir, Aira… Aku masih harus menjaga adikku. Aku takkan kenapa-kenapa…"

"Obatmu ada dimakan?" tanya Aira Antlia, masih dengan nada cemas.

Junny Belle hanya mengangguk ringan.

"Bagaimana dengan kondisi Gover? Mereka jadi mengoperasinya?" tanya Aira Antlia.

"Masih dalam pemeriksaan laboratorium, Aira… Mereka sedang memeriksa apakah katup jantung buatan itu bisa cocok dengan tubuhnya atau tidak… Hasilnya akan keluar dalam beberapa hari ini… Mudah-mudahan bisa cocok dan Gover bisa segera menjalani operasinya… Dengan demikian, aku bisa… bisa…"

Aira Antlia masih menatap sang sahabat dengan dahi berkerut dan sorot mata yang sedikit tajam.

"Setelah Gover sembuh, mungkin bebanku sudah hilang seluruhnya dan dengan demikian, aku bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang…" Senyuman lirih mendekorasi raut wajah Junny Belle yang cantik jelita.

"Jangan berkata begitu, Jun… Kau akan sembuh… Kau akan sembuh… Tuhan akan membuka jalan untuk kesembuhanmu juga, bukan hanya kesembuhan Gover saja…" kata Aira Antlia meremas-remas kedua tangan sang sahabat.

"Aku tak ingin menjadi beban banyak orang… Aku mengerti benar persentase kesembuhan bagi seorang pasien kanker darah sepertiku ini sangatlah kecil…" sahut Junny Belle dengan sepasang mata yang berkaca-kaca.

"Dokter Norin sudah berjanji akan mencarikanmu seorang pendonor sumsum tulang yang cocok bukan?" tanya Aira Antlia.

Junny Belle mengangguk cepat. "Iya… Akan tetapi, sungguh sulit menemukan seorang pendonor sumsum tulang yang cocok. Kalaupun ada, risikonya bagi pendonor juga tinggi apabila imun dan daya tahan tubuh si pendonor itu tidak cukup kuat. Jarang ada yang ingin mendonorkan sumsum tulang belakangnya apalagi kepada orang yang tidak dikenal. Aku sudah lama tidak menaruh harapan terhadap transplantasi sumsum tulang belakang ini."