Aira Antlia tanpa sadar meneteskan air matanya. Begitulah kehidupan manusia… Sungguh rapuh, sungguh tak tertebak, sungguh penuh dengan kejutan dan misteri… Namun, ditepisnya jauh-jauh kesedihannya. Dia tidak ingin terlihat sedih di hadapan sahabatnya sehingga justru menambah beban pikiran sang sahabat.
"Oh ya, Jun… Sudah sejak seminggu lalu sebenarnya aku ingin menanyakan hal ini kepadamu…" Aira Antlia berusaha mengalihkan pembicaraan mereka ke topik lain.
"Apa?" tanya Junny Belle dengan sebersit senyuman simpul.
"Dari mana… dari mana… kau bisa memperoleh uang sebanyak itu untuk melunasi seluruh biaya operasi Gover, Jun?" Aira Antlia bertanya dengan perasaan deg-degan.
Junny Belle tersenyum simpul. "Kau benaran ingin tahu, Aira?"
Aira Antlia mengangguk cepat.
"Max Julius… Max Julius Campbell memberikannya kepadaku…" jawab Junny Belle singkat nan ala kadarnya. "Jangan bilang pada Dokter Norin ya, Aira… Aku yakin dia pasti akan sangat marah padaku telah meminta bantuan dari Max Julius dan mengabaikan bantuannya."
Aira Antlia kini menaikkan alisnya beberapa senti.
"Lelaki itu sangat membencimu karena mengira kau telah menjebaknya ke dalam gudang yang terbakar itu kan? Kenapa sekarang dia bisa memberimu uang sebanyak ini secara cuma-cuma?" Aira Antlia menyipitkan kedua matanya.
"Tidak cuma-cuma, Aira…" Junny Belle menghela napas panjang. Dia memandang pemandangan jalanan sibuk di luar melalui jendela toko roti tempat ia bekerja.
Aira Antlia kontan membeliakkan sepasang matanya. "Hah… Jangan bilang kau sudah… kau sudah…"
"Ya, Aira… Aku sudah tidak perawan lagi… Aku sudah menyerahkan kesucian dan kegadisanku kepada Max Julius. Sebagai gantinya, dia memberiku uang 100 ribu yang kini aku pakai sebagai biaya operasi jantung Gover." Junny Belle berbisik lirih walau dalam ruangan tersebut hanya ada dirinya dan sang sahabat.
Aira Antlia memekik tertahan. Dia menutupi mulutnya dengan tangan kanan.
"Astaganaga, Jun… Kau… Kau… Kenapa kau bisa…? Kenapa kau bisa…?" Sungguh Aira Antlia kehabisan kata-kata untuk mengajukan pertanyaan tersebut ke sang sahabat.
Junny Belle hanya membisu seribu bahasa. Dia terus menatap sang sahabat dengan senyuman lirih di sudut bibirnya.
"Kenapa kau bisa berpikiran pendek, menyerahkan keperawananmu, menyerahkan segalanya yang berharga pada dirimu kepada lelaki itu? Dia membencimu bukan? Dia sama sekali tidak mencintaimu bukan?"
Junny Belle menghela napas panjang lagi. Dia kembali mengarahkan sinar matanya ke jalanan sibuk di luar toko roti.
"Entahlah… Aku tidak tahu… Yang jelas aku tahu dia sekarang sudah memiliki kekasih yang terus lengket di sampingnya. Aku yakin sang kekasih pujaan hatinya itu bisa menggantikan diriku menjaganya setelah aku pergi nanti. Aku bisa pergi tanpa beban karena Max Juliusku sudah ada yang menjaga, merawat, dan membalas semua cinta dan perasaannya…"
"Kau sangat mencintainya?" tanya Aira Antlia lirih.
Junny Belle menatap sang sahabat. "Menurutmu, apakah ini cinta?"
Aira Antlia hanya membisu seribu bahasa dan lebih memilih menunggu sang sahabat menyelesaikan pernyataannya.
"Jika ini adalah cinta, berarti memang ada beberapa cinta di dunia ini yang hanya bisa mencintai tetapi tidak bisa memiliki. Ada cinta yang bisa diperjuangkan dan berakhir dalam kebahagiaan, ada cinta yang berakhir dalam kesedihan dan dilupakan begitu saja, dan ada juga cinta yang hanya bisa terus disimpan dalam lubuk hati yang terdalam. Aku… akan memilih menjadi cinta yang terakhir itu…"
Tanpa disadarinya, air mata Junny Belle mulai berlinang. Dia mulai terisak.
"Dia melakukannya terhadapmu tanpa pengaman?" tanya Aira Antlia menyipitkan kedua matanya lagi.
Junny Belle mengangguk malu-malu.
"Bagaimana nanti kalau kau hamil?"
"Aku menderita leukimia, Aira. Kecil kemungkinan bagiku untuk hamil. Namun, jikalau seandainya aku hamil, aku memilih untuk melahirkan anak ini ke dunia."
Mata Aira Antlia membesar. Dia shocked bukan main dengan segala pertimbangan dan keputusan sang sahabat, yang tampaknya adalah keputusan yang sudah dipikirkannya secara masak-masak.
"Aku akan bertahan selama mungkin dan melihat anakku tumbuh besar. Jika memang pada akhirnya nanti aku tidak bisa bertahan, aku percaya Gover akan bertahan dan dia akan menggantikan aku membesarkan anakku…" Senyuman lirih dengan beberapa tetesan air mata terlihat menghiasi wajah cantik jelita Junny Belle.
"Pernahkah kau menyesali semua ini, Jun?"
Junny Belle menggeleng cepat. "Seandainya saja aku hamil nanti, anak ini akan menjadi buah cinta sejatiku dengan Max. Anak ini akan menjadi satu-satunya bagian paling berharga dari Max yang bisa aku miliki. Tidak apa-apa aku tidak bisa memiliki Max. Setidaknya dengan memiliki satu bagian penting dari dirinya, aku sudah sangat puas, aku sudah sangat bahagia… Melihat anak ini tumbuh besar nanti, itu akan selalu mengingatkanku pada Max, pada cintaku terhadapnya, pada hari-hari yang pernah aku habiskan bersamanya. Itu sudah cukup memberiku kekuatan untuk terus melawan penyakit ini dan terus melanjutkan hidup ini…"
Tangisan semakin menganak sungai. Air mata terus berjatuhan tiada henti. Aira Antlia meraih sang sahabat ke dalam pelukan dukungannya.
"Kau benaran perempuan yang sangat kuat, Junny Belle… Aku akan terus berada di sampingmu dan mendukungmu. Apa pun yang bisa aku bantu, jangan segan-segan katakan padaku, Jun… Aku akan membantumu semampuku." Tangan Aira Antlia terangkat dan ia membelai-belai kepala hingga rambut Junny Belle.
"Sejak usia dini sudah tidak memiliki orang tua… Apa-apa selalu hanya bisa mengandalkan diri sendiri… Sejak kecil aku sudah harus berurusan dengan penyakit ini… Sejak kecil aku sudah tiga kali menjalani kemoterapi sampai hari ini… Rasanya seperti hidup di dalam neraka, Aira… Aku tidak sekuat yang kausangka… Kadang aku juga berpikir ingin menyerah dan berhenti saja…" kata Junny Belle sesekali menyeka ekor matanya.
"Lalu apa yang membuatmu terus bertahan hingga sekarang?" Sesekali akan terdengar isakan halus dari Aira Antlia Dickinson.
"Semenjak aku bertemu dan berkenalan dengan Max Julius, sedikit banyak pandanganku mengenai hidup ini juga berubah. Sejak kecil dia juga sudah tidak mempunyai kedua orang tua. Dia besar di panti asuhan dan hanya mengandalkan kemampuan dan kepintarannya sendiri untuk bertahan di segala tempat, di segala situasi. Dia menularkan semangat dan keberaniannya kepadaku. Aku mulai memandang hidup ini dari sudut pandang yang berbeda. Terlebih lagi… Ketika ia menyatakan perasaannya kepadaku, aku kembali merasa… merasa… merasa aku ini masih pantas untuk dicintai…"
"Dan kau menolaknya…?" desis Aira Antlia lirih.
Junny Belle terisak lembut lagi. Dia menganggukkan kepalanya dengan cepat.
"Aku tidak akan bisa menemaninya hingga kami sama-sama menua, hingga anak cucu kami… Setelah aku pergi, dia pasti akan terpuruk dalam kesendirian dan kesedihan. Aku tidak ingin setelah kepergianku, dia terus tersiksa dalam cinta, kerinduan dan kesendiriannya. Aku ingin dia berbahagia dengan wanita lain yang juga sama sepertiku mencintainya, dan wanita itu akan mencintai Max Juliusku bersama-sama dengan cintaku…"