Sambil beberapa kali terisak kecil, Junny Belle diam saja. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dalam dekapan kehangatan sang adik lelakinya.
"Menangislah kalau kau ingin menangis, Kak… Di dalam ruangan rawat inap ini hanya ada kita berdua… Takkan ada yang tahu kau menangis, Kak…" bisik Gover Robin lemah lembut lagi.
Akhirnya tangisan Junny Belle menyeruak di dalam dekapan sang adik lelaki. Dia menumpahkan segala beban derita bagai awan gelap kelabu yang selama ini berarak dalam dunianya. Dia menumpahkan segala gundah gulana laksana panas api neraka yang membumihanguskan seluruh sendi kehidupan dan pertahanannya.
"Aku berusaha menjadi sekuntum bunga teratai bagimu dan bagi orang-orang yang aku sayangi dan aku cintai, Gover. Aku berusaha tetap tumbuh cantik, segar, sehat, ceria, dan bahagia kendati dunia di sekelilingku keruh, kotor, getir, dan tajam menusuk. Menurutmu, akankah aku berhasil, Gover?" Terdengar senandung kesedihan dari sang kakak perempuan.
"Kau akan berhasil, Kak… Kau akan berhasil… Kau akan berhasil menjadi sekuntum bunga teratai yang akan terus tumbuh walau air di sekelilingmu sudah mengering… Hanya saja, sayang sekali… Sayang sekali…"
Junny Belle mengangkat kepalanya dan ia memandangi sang adik lelaki dengan sorot mata penuh tanda tanya.
"Sayang sekali aku takkan berkesempatan untuk menyaksikan dirimu dalam keberhasilan itu…" Terlihat Gover Robin Polaris tersenyum lirih nan lemah lembut.
"Kau akan sembuh, Gover… Kau akan sembuh, Gover… Kau akan bisa dioperasi dan kau akan sembuh, Gover… Percayalah padaku…" kata Junny Belle juga tersenyum lirih nan lemah lembut sambil membelai-belai kepala sang adik lelaki.
Gover Robin tidak menjawab apa pun lagi. Ia hanya terus memancarkan sebersit senyuman lirih nan lemah lembut.
Mendadak saja, Gover Robin berceletuk. Dia menggumamkan suatu pertanyaan yang terdengar begitu menohok ke dalam relung-relung sanubari kakak perempuannya.
"Menurutmu, apakah surga itu indah, Kak?"
"Sungguh indah sekali pastinya… Namun, aku lebih suka kau tetap di dunia manusia, Gov. Karena waktumu sekarang belum waktunya untuk menetap di surga."
"Jikalau seandainya sekarang ada di surga, aku ingin berlari-lari di taman bebungaan yang ada di sana. Aku ingin menikmati segarnya air pegunungan yang ada di sana. Aku juga ingin merasakan hangatnya pelangi yang berbias lembayung di sore hari. Alangkah indah dan damainya…"
"Kau juga bisa menikmati semuanya itu di dunia manusia, Gover…" Air mata sang kakak perempuan semakin menganak sungai. Isakan-isakannya terdengar semakin dalam.
"Apakah kau akan bersedih jika aku pergi ke surga, Kak?"
"Tentu saja aku akan bersedih… Kaulah satu-satunya keluarga yang aku miliki, Gov… Aku tak mau kehilanganmu…"
"Tapi selama ini aku hanya menjadi beban bagimu, bagi Ayah dan Ibu ketika mereka masih ada dulu, dan juga menjadi beban bagi diriku sendiri…"
"Kami semua mencintaimu… Seandainya Ayah dan Ibu masih ada, aku yakin mereka juga takkan merasa kau adalah beban… Aku juga sangat mencintaimu… Aku akan selalu menjagamu, Gover…" Tangisan si kakak perempuan benar-benar menganak sungai nan tak terbendung kali ini.
"Terkadang aku bisa merasa begitu lelah, begitu letih, begitu bosan dengan semua ini… Aku terkadang ingin berhenti saja… Aku tak kuat melangkah lagi, Kak…"
"Aku bisa menggenggam tanganmu, Gover… Tetap akan ada hari esok bagimu, Gover… Kita masih bisa melangkah bersama menyongsong hari esok… Tetap akan ada jejak kaki yang akan kita buat di masa depan…"
Gover Robin tetap saja tersenyum lirih nan lemah lembut. Dia kini mengalihkan matanya ke jalanan pinggiran kota yang cukup sibuk di bawah sana melalui jendela kaca kamar rawat inapnya.
"Apa yang tengah kauperhatikan, Gov?" tanya sang kakak perempuan lagi. Belakangan ini adik lelakinya memang menjadi lebih sensitif. Itu menorehkan sedikit cemas dan takut ke dalam relung sanubari Junny Belle.
"Pemandangan pinggiran kota ini yang kalau tidak sekarang aku perhatikan dan lihat baik-baik, mungkin ke depannya aku takkan berkesempatan melihatnya lagi," gumam Gover Robin.
Kini Junny Belle meraih sang adik lelakinya ke dalam dekapan kehangatannya. Air mata terus bergulir turun. Betapa rapuhnya hidup mereka sekarang. Betapa tidak pastinya kehidupan mereka sekarang. Sama seperti apa yang diucapkan oleh si adik lelaki barusan, terkadang Junny Belle Polaris juga ingin menyerah dan berhenti saja. Terkadang dia juga ingin menghilang dari segala fatamorgana penderitaan yang mengungkungnya selama ini.
Namun, terkadang Junny Belle berpikir lagi… Kini sang adik lelakinya hanya memiliki dirinya dan dia hanya memiliki sang adik lelakinya. Tiada orang lain lagi yang bisa mereka andalkan. Mereka hanya bisa saling mengandalkan. Jika dia berhenti dan menyerah, kepada siapa lagi adik lelakinya ini akan bergantung? Dia tidak tega meninggalkan adik lelakinya sendirian di dunia ini… Dia tidak tega meninggalkan adiknya yang begitu rapuh, begitu lemah nan tidak berdaya ini… Oh, Tuhan… Mudah-mudahan ini masih belum terlambat baginya untuk bertindak.
"Siang…"
Suara seorang dokter lelaki muda membuyarkan lamunan kepiluan Junny Belle dan Gover Robin. Serta-merta keduanya menoleh ke arah pintu dan mendapati sosok seorang dokter muda – kira-kira pertengahan dua puluhan – berjalan menghampiri mereka.
"Bagaimana kabar Gover kita hari ini?" Si dokter mengelus-elus kepala Gover Robin sambil memancarkan sebersit senyuman cerah ke arah Gover Robin.
"Baik, Dok… Tetap seperti ini…" Gover Robin tidak ingin meneruskan lebih lanjut. Dia tahu benar kondisinya sekarang. Dia mengerti apa sesungguhnya yang tengah terjadi pada jantungnya.
"Oke… Aku ingin berbicara dengan kakakmu sebentar, Gov… Bolehkah?" tanya si dokter muda yang baru saja menamatkan spesialis jantungnya di pusat kota Sydney tersebut.
"Lama juga tak apa-apa, Dokter Norin… Aku juga tidak bisa menemani Kak Junny lama-lama… Efek obat yang mereka suntikkan kepadaku tadi pagi membuatku mengantuk sekarang, Dok…" kata Gover mulai kembali membaringkan diri ke tempat tidurnya.
Junny Belle membantu merapikan kembali selimut sang adik lelakinya dengan raut wajah cemas.
"Iya… Kau butuh istirahat yang banyak, Gover… Beristirahatlah…" kata Dokter Norin Apus Brown sambil mengelus-elus kepala Gover Robin beberapa kali sebelum akhirnya ia beranjak keluar dari ruang rawat inap pemuda akhir belasan tersebut.
"Kita bicara di luar saja, Dokter Norin…" kata Junny Belle tersenyum lirih nan lemah lembut.
Dokter Norin Apus Brown dan Junny Belle Polaris berjalan-jalan di taman di lahan samping rumah sakit. Semilir angin siang hari menemani mereka yang jalan-jalan di taman yang mengelilingi bangunan rumah sakit tersebut.
"Aku sudah mendapatkan uangnya, Dokter…" kata Junny Belle setelah ia mengumpulkan segenap keberaniannya.
"Hah? Dari mana mendadak kau bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Jun?" Alis si dokter muda kontan terangkat naik dan dahinya berkerut dalam. "Bukankah aku sudah bilang padamu aku yang akan mengumpulkan uangnya dari gajiku ini? Aku yang akan membantu biaya operasi jantung adikmu itu… Kenapa sekarang mendadak kau bisa memperoleh uang sebanyak itu dalam waktu secepat ini?"
Junny Belle menghela napas panjang. Dia sudah menduga pastilah dia akan dicerca dengan banyaknya pertanyaan dari si dokter muda ini.
"Ada salah satu saudara ibuku yang membantu… Dia tinggal di Indonesia sana… Dia mengirimkan uangnya ke rekeningku kemarin malam. Aku baru sempat ke sini siang ini dan memberitahumu soal ini, Dokter Norin…" kata Junny Belle jelas berbohong. Ia mana mungkin mengatakan kepada si dokter muda ia telah menjual keperawanannya kepada seorang lelaki yang membencinya demi mendapatkan uang untuk operasi jantung adik lelakinya itu.
"Oh ya…? Kok aku tidak pernah mendengar kau bercerita soal saudara mendiang ibumu yang ada di Indonesia sana?" Dahi si dokter muda masih terlihat berkerut dalam.
"Saudara ibuku ada banyak, Dok… Bahkan ada beberapa saudara-saudari ibuku yang aku tidak kenal karena tidak pernah kontak-mengontak sampai sekarang…" kata Junny Belle dengan nada suara yang senetral mungkin supaya tidak membangkitkan lebih lanjut lagi kecurigaan si dokter muda.
Si dokter muda hanya mangut-mangut beberapa saat kemudian.