Habis manis sepah dibuang… Itulah yang dirasakan oleh Junny Belle yang tengah berendam dalam air hangat di dalam kamar mandi. Dia merasa dirinya seperti gadis penghibur yang menjual keperawanannya seharga 100 ribu. Ia hanya akan dicampakkan setelah rasa manis yang ada pada dirinya habis, hanya akan dibuang setelah dinikmati.
Perlahan-lahan air mata mulai bergulir turun. Dari air mata yang menetes butir demi butir, kini ia menangis meraung-raung dalam kamar mandi tersebut.
Tangisan Junny Belle terus membelungsing tiada tertahan, tiada terhenti.
Menit demi menit berlalu… Setelah dirasakannya ia sudah bisa menggerakkan kedua kakinya secara lebih leluasa dan rasa perih pada ngarai kewanitaannya sudah agak berkurang, Junny Belle memutuskan untuk keluar dari air hangat dan mengeringkan badannya dengan handuk hotel yang memang disediakan dalam kamar mandi. Ia keluar dari kamar mandi. Ia hendak bergerak ke tumpukan pakaiannya yang kini terlihat mengonggok di lantai di samping ranjang.
Ya Tuhan… Kenapa bisa sakit sekali? Kenapa bisa semenderita ini setelah pertama kali berhubungan? Dan Max Julius kemarin melakukannya padaku hingga lima kali… Bukan sekali, bukan dua kali… Dia melakukannya hingga lima kali… Dasar lelaki kejam nan tidak berperasaan… Setelah menikmati apa yang ingin dinikmatinya, dia meninggalkan aku begitu saja di kamar hotel ini…
Dengan menahan rasa perih yang tinggal sedikit-sedikit pada areal selangkangannya, Junny Belle mengenakan semua pakaiannya kembali. Karena masih terasa sedikit-sedikit perih pada areal ngarai kewanitaannya, Junny Belle memutuskan dia baru akan check out tepat pada jam 12 siang nanti. Dia memutuskan dia akan sarapan di hotel saja dan minta sarapannya diantarkan ke kamar hotelnya.
Ya… Ya… Ya… Lebih baik aku sarapan di dalam kamar hotel ini saja… Tidak mungkin dalam keadaan begini, aku langsung berjalan keluar. Tidak mungkin juga hari ini aku langsung masuk kerja. Orang-orang akan bertanya apa yang sebenarnya terjadi padaku sehingga cara jalanku bisa seperti ini. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang bisa langsung menebak bahwa sesungguhnya aku telah kehilangan keperawananku.
Teringat ke fakta kejam nan menyakitkan itu, lagi-lagi air mata kembali terbit di rongga mata. Kembali air mata jatuh tak tertahan.
Ya… Aku telah kehilangan keperawananku… Aku telah menyerahkan segalanya kepada lelaki yang kucintai selama ini. Akan tetapi, lelaki itu sama sekali tidak mencintaiku. Ia malahan sangat membenciku. Aku jadi tidak tahu apakah aku harus berbahagia keperawananku telah jatuh ke tangan lelaki yang kucintai selama ini, ataukah aku harus menyesali pilihan dan keputusanku ini…
Junny Belle menyeka ekor matanya lagi. Dia menarik napas dalam-dalam, menghibur dan menguatkan dirinya sendiri.
Apa yang telah dipilih dan diputuskan, janganlah disesali, Jun… Apa yang telah dipilih dan diputuskan, haruslah dijalani. Aku harus kuat… Selama ini aku selalu bisa kuat dan melewati semua penderitaan seorang diri. Tidak mungkin kali ini aku tidak bisa melewatinya bukan?
Junny Belle mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Panggilan pertama adalah memesan menu sarapan pagi dan meminta mereka mengantarkannya langsung ke kamarnya. Panggilan kedua adalah menelepon kepala cabang tempat ia bekerja nanti dan meminta izin dia tidak bisa masuk kerja hari ini. Si kepala cabang yang sudah mengetahui riwayat kesehatan Junny Belle selama setahun terakhir ini tentu saja akan langsung mengizinkannya tidak masuk kerja hari ini.
Segelintir kepiluan masih mengerabik di semenanjung pikiran Junny Belle Polaris pagi itu.
***
Matahari sudah menjulang tinggi dari ufuk timur dan menyinari seantero kota Sydney ketika Max Julius turun dari mobilnya dan melangkah memasuki bangunan hotel The Pride. Sebelum dirinya benar-benar sampai di pintu masuk hotel tersebut, dia melemparkan kunci mobilnya kepada seorang satpam yang bertugas pada pagi hari itu.
"Parkirkan… Aku akan pulang cepat hari ini, jadi tolong kauparkirkan di tempat yang agak mendekati pintu keluar ya…" kata Max Julius dengan raut wajah datar, tanpa ekspresi.
"Baik, Pak Max Julius…" kata si satpam dan segera menjalankan perintah yang diberikan oleh atasannya.
Tampak Max Julius berjalan masuk ke dalam bangunan hotel The Pride. Karyawan-karyawati yang berpapasan dengannya membungkukkan badan mereka dan menyapa, "Selamat pagi, Pak Max Julius…"
Max Julius hanya berjalan lurus ke lift. Begitu masuk dan menekan tombol lantai 35, lift segera membawanya ke lantai paling atas bangunan hotel tersebut di mana ruangannya terletak. Dari jendela kaca ruangannya, dia bisa melihat ke seantero kota Sydney tanpa penghalang apa pun.
Baru saja duduk tidak sampai lima menit, pintu ruangannya terkuak dan masuklah sang saudara sepupu yang sudah menjadi temannya semasa kecil dan juga menjadi salah satu jajaran pemegang saham di hotel The Pride.
"Hai, Sepupu… Pagi ini kau tampak lebih ceria dan tidak memarahi karyawan-karyawati yang ada di lantai bawah ya…" kata Clark Campbell, yang ayahnya adalah salah satu dari enam bersaudara Campbell yang juga memiliki saham-saham mayoritas di hotel The Pride beserta cabang-cabangnya yang tersebar di seluruh Australia, Amerika, dan Inggris.
"Memangnya selama ini aku selalu bermuka masam dan memarahi para karyawan-karyawati tanpa alasan?" Max Julius memasang raut muka cemberut.
"Alah… Macam tak ada yang kenal Max Julius Campbell itu orangnya bagaimana saja…" serang Clark Campbell sedikit sengit.
"Oke… Anggap saja aku sedikit lebih senang hari ini." Max Julius menyandarkan kepalanya ke sandaran kursinya, sedikit memiringkan badannya dan sebagian pandangan matanya diarahkan keluar melalui dinding kaca.
"Jadi kemarin bagaimana? Kau benaran menggerayangi gadis perawan yang bernama Junny Belle itu?" tanya Clark Campbell dengan mata tanpa berkedip.
Max Julius menyunggingkan sebersit senyum misterius.
"Kau benar-benar terlalu deh, Max… Jadi dia masih perawan atau tidak?" tanya Clark Campbell lagi merasa begitu penasaran.
Max Julius Campbell hanya mengangguk ringan nan santai.
"Kubilang apa… Kau bilang dia itu wanita materialistis yang rela buka kaki kepada lelaki mana pun yang rela membayarnya dengan mahal. Buktinya dia benaran masih perawan dan kau menjadi yang pertama baginya, Max…"
"Harus kuakui aku sedikit salah paham terhadapnya, Clark…" kata Max Julius masih menyunggingkan sebersit senyum misteriusnya.
"Kau melakukannya berkali-kali?"
Max Julius Campbell kembali mengangguk ringan nan santai. Clark Campbell menepuk jidatnya.
"Kau melakukannya tanpa pengaman?"
Max Julius Campbell kembali mengangguk ringan nan santai. "Aku sudah pernah membawanya ke dokter dan memeriksakan kesehatannya. Dan buktinya sekarang dia masih perawan. Tak ada yang perlu kukhawatirkan bukan?"
"Dia yang harus kaukhawatirkan, Max… Bagaimana kalau sampai dia hamil?"
"Aku sudah membayarnya dengan mahal… Aku bayar dia 100 ribu… Dengan uang 100 ribu itu, dia bisa membereskan sendiri masalahnya jika seandainya nanti timbul masalah. Itu sama sekali bukanlah urusanku…" Di luar Max Julius terlihat tersenyum ringan nan santai. Akan tetapi, sebenarnya di dalam hatinya sedikit berdenyut nyeri bagaimana nanti jika seandainya Junny Belle Polaris hamil, hamil anaknya… Dia menjadi sedikit resah begitu terpikirkan ke kemungkinan itu.
"Kau benar-benar telah merusak dan menghancurkannya, Max…" bisik Clark Campbell sedikit tidak percaya.