Seperti tersihir oleh sinar mata si perawan muda yang begitu bening, tenang dan meneduhkan, Verek Felix perlahan-lahan menganggukkan kepalanya. Ia menggandeng tangan si perawan muda dan mereka sama-sama berlari ke bagian depan kapal.
Si perempuan muda yang kedua juga tampak menggelingsirkan sebutir air mata yang merengat di pelupuk mata. Sejak pertama kali ia dijual oleh abangnya sendiri ke sindikat perdagangan gadis-gadis perawan, dia sudah menerima takdir dan siap menghadapi nasib. Dia siap berakhir di tangan lelaki yang mana saja, dan siap mati di mana saja.
"Aku tidak jadi memakaimu lagi… Kau bebas pergi dari sini… Anggap saja uangku itu adalah hadiah lotre yang kaudapatkan malam ini…" kata Thobie Chiawan sedikit ketus.
Si perawan muda yang kedua mulai ketakutan. Dia membulatkan kedua mata dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat.
"Kau sudah membeliku, Thobie… Kini aku sudah menjadi milikmu… Tidak bisakah aku ikut denganmu saja…? Tidak masalah kau ingin menikmati tubuhku ini atau tidak… Yang jelas, sesampainya di darat nanti, kau bebas membawaku ke mana saja. Aku bisa menjadi apa saja yang kauinginkan, Thobie. Jangan tinggalkan aku ya…"
Sambil memelas, raut wajah perawan muda tersebut terlihat begitu ketakutan. Beberapa kali dia hanya membiarkan air matanya bergulir turun dengan bebas dari rongga matanya.
"Oke… Sesampainya di darat nanti, kau akan ikut denganku ke mana saja aku membawamu kan? Selain tubuhmu itu, coba katakan manfaat dan keuntungan apa lagi yang bisa kudapatkan dari dirimu… Coba katakan…" kata Thobie Chiawan sedikit ketus.
"Aku bisa menjadi pembantu di rumahmu saja, Thobie… Aku bisa memasak berbagai masakan… Masakan China, masakan Korea, masakan Jepang, masakan Melayu, masakan Indonesia, masakan India… Berbagai masakan aku pernah belajar sejak aku kecil hingga remaja… Aku bisa membersihkan rumahmu, bisa mengurus segala keperluan harianmu, bisa mencuci pakaian-pakaianmu – apa saja… Tapi yang jelas, jangan tinggalkan aku sendirian di kapal ini ya… Aku mohon…"
Thobie Chiawan memicingkan matanya sejenak. Dia mereka-reka selama beberapa detik sebelum akhirnya ia membuka matanya lagi dan berkata dengan sedikit nada ketus kepada si perawan muda yang kedua itu,
"Oke… Belum tentu kita akan selamat sampai di darat atau tidak… Sesampainya kita dengan selamat di darat nanti, baru akan kupikirkan lebih lanjut…"
Senyuman lirih merekah menghiasi wajah si perawan muda yang kedua. Dia mengikuti saja ke mana Thobie Chiawan melangkah. Mendadak bom yang ketiga meledak lagi. Beberapa meter dari tempatnya berdiri hancur lebur. Terdengar lagi jeritan dan lolongan ketidakberdayaan dari para penumpang yang pas berdiri dalam jarak dekat dengan bom yang ketiga tadi.
"Ayah…! Ibu…!" Terdengar jerit tangis seorang anak lelaki yang berumuran lima atau enam tahun. Kedua orang tuanya baru saja terkena bom barusan. Tampak mayat kedua orang tuanya kini hanya mengonggok di lantai kapal yang sudah hancur, dengan mata mereka berdua yang membelalak hampa. Mayat kedua orang tuanya kini perlahan-lahan terseret oleh arus air dan masuk ke lautan bebas.
Si anak lelaki ingin menggapai tangan ayahnya ketika si perawan muda yang kedua tadi bergegas menghampirinya dan kontan memeluk tubuh anak lelaki berkulit putih itu dari belakang.
"Relakanlah mereka, Nak… Relakanlah mereka… Mereka telah pergi… Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan… Sekarang tinggal dirimu, Nak… Bagaimanapun juga, kau harus berusaha menyelamatkan dirimu sendiri…"
Thobie Chiawan tertegun sejenak menyaksikan aksi heroik si perawan muda yang kedua ini. Dalam hati Thobie Chiawan sedikit menekur. Mungkin keras dan getirnya kehidupan telah melatih mental si perawan muda yang kedua ini sejak kecil. Sudah terbiasa menelan kepahitan hidup sejak kecil, membuat si perawan muda yang kedua ini tahan banting dan siap menghadapi segala ombak dan badai kehidupan yang membentang di hadapannya. Entah kenapa aksi heroik si perawan muda yang kedua barusan telah sedikit banyak mengubah pandangan Thobie Chiawan terhadapnya.
"Ayo… Cepat… Kita harus segera ke kapal sekoci…" tegur Thobie Chiawan di belakang si gadis perawan yang kedua.
Si perawan yang kedua berdiri, menggandeng tangan anak lelaki berkulit putih itu dan cepat-cepat melangkah menuju ke sekumpulan kapal sekoci yang sudah menunggu di depan.
"Kau ikut dulu denganku ya, Nak… Sesampainya kita di darat nanti, aku akan membantumu menghubungi anggota-anggota keluargamu yang lain…" bisik si perawan muda yang kedua dengan lirih. Si anak lelaki berkulit putih hanya mengangguk dengan tangisan yang terus bertumpah ruah.
"Ayo… Kita harus segera ke kapal sekoci…" kata Thobie Chiawan lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut, dan dengan sinar mata yang lebih meneduhkan nan menyejukkan.
Si perawan muda yang kedua menggendong anak lelaki berkulit putih itu supaya ia bisa berjalan ataupun berlari dengan lebih leluasa. Thobie Chiawan menggandeng tangan si perawan muda yang kedua dan mereka berlari-lari kecil menuju ke kapal-kapal sekoci di depan.
"Mau apa kau menemuiku di sini? Kau harus segera naik ke kapal sekoci di depan sana… Kecelakaan kapal ini benar-benar di luar dugaan kita semua. Anggap saja uangku tadi adalah hadiah lotre yang kaudapatkan malam ini. Pergilah dari sini… Kau tidak mesti dekat-dekat terus denganku…" kata Rodrigo Wisanto kepada si perawan muda yang ketiga.
"Biarkan aku ikut denganmu, Rodrigo… Kau bebas membawaku ke mana saja… Kau bebas melakukan apa saja padaku… Kau sudah membeliku… Kini aku sudah menjadi milikmu…" kata si perawan muda yang ketiga dengan nada memelas.
Rodrigo Wisanto menyeringai jahat.
"Kau yakin…? Kau yakin ingin menjadi milikku? Jika seandainya kita tiba dengan selamat nanti di darat, kau akan ikut bersamaku. Aku bebas melakukan apa saja terhadapmu kan? Aku bebas melakukan apa saja terhadap tubuh dan keperawananmu itu kan?"
Si perawan muda yang ketiga sedikit menundukkan kepalanya petanda ia tersipu malu. Rona merah delima terlihat mulai menyelangkupi kedua belahan pipi dan bahkan seluruh lehernya.
"Jangan bilang kau benaran jatuh cinta padaku, Cantik… Jangan bilang kau benaran terpesona padaku…" kata Rodrigo Wisanto dengan nada yang sedikit ketus.
Si gadis perawan yang ketiga hanya diam dan masih sedikit menundukkan kepalanya. Rona merah delima terlihat masih menyelangkupi kedua belahan pipi dan seluruh lehernya.
"Aku adalah seorang lelaki player yang memiliki segudang gadis perawan yang telah aku tiduri di luar sana. Kau hanyalah salah satu di antara mereka. Jatuh cinta kepadaku hanya menjadi sumber sakit hati dan kekecewaan bagimu. Kau yakin kau akan terus mencintaiku?"
Kini si perawan muda yang ketiga mengangkat kepalanya dan menatap lekat-lekat ke kedua bola mata Rodrigo Wisanto. "Aku ingin ikut denganmu, Rodrigo… Mungkin… Mungkin… sesampainya di darat nanti, aku bisa ikut kau pulang… Aku bisa menjadi pembantu di rumahmu… Aku bisa memasak masakan apa saja… Aku bisa membersihkan rumahmu, bisa mencuci pakaian-pakaianmu, dan bisa mengurus segala keperluanmu… Yang jelas, jangan tinggalkan aku, Rodrigo… Jangan tinggalkan aku… Seandainya di darat nanti ayah tiriku kembali menemukanku, dia pasti akan menjualku lagi ke tempat prostitusi yang lain. Aku tidak ingin lagi terjerumus ke dunia malam… Sungguh aku tak ingin lagi…"
Beberapa butir air mata bergulir turun dari pelupuk mata si perawan muda yang ketiga.