"Aku tahu ibu angkatku akan sedih bukan main… Aku tahu ayahmu juga akan sedih bukan main… Mereka akan begitu nelangsa mengetahui salah satu anak mereka kini telah menjadi korban – korban dari kebencian, dendam dan obsesinya sendiri. Akan tetapi, sungguh di detik-detik seperti ini, takkan ada yang bisa kita lakukan untuk menolongnya. Tak ada…" Maxy Junior menatap keadaan Mary Juniar kini dengan sorot mata nanar.
Natsumi Kyoko kembali menenggelamkan diri ke dalam dekapan hangat suami tampannya. Kimberly Phandana juga menenggelamkan diri ke dalam dekapan hangat suami tampannya.
"Dia lebih memilih mati dengan obsesinya sendiri daripada hidup menyaksikanmu berbahagia mencintai perempuan lain, Maxy Junior…" cetus Sean Jauhari lirih.
"Itulah yang kusayangkan, Sean… Aku selalu berharap dia bisa melepaskan obsesinya terhadapku. Aku selalu berharap dia bisa menemukan cinta lain, yang benar-benar merupakan cinta sejatinya, yang benar-benar bisa menjadi sumber kebahagiaannya. Namun, sampai detik-detik terakhirnya kini, dia masih saja tidak bisa melepaskan obsesinya terhadapku." Maxy Junior mempererat pelukannya. Dia mengecup mesra kepala sang bidadari cantik berkali-kali.
Baku tembak antara kubu Suzuki dan kubu Mimasaka terus berlanjut, terus berkesinambungan, tak berkesudahan. Mizuki Mimasaka terus melepaskan tembakan-tembakan beruntunnya ke kubu Suzuki. Herannya, tak ada satu pun anak-anak buah Suzuki yang berjatuhan. Mereka tetap memperketat penjagaan mereka terhadap Maxy Junior, Natsumi Kyoko, Sean Jauhari dan Kimberly Phandana yang bersembunyi di balik dinding koridor yang mengarah ke kamar-kamar penthouse mewah lantai enam. Mizuki Mimasaka menjadi semakin berang. Dia terus melepaskan tembakan-tembakannya secara beruntun nan membabi buta.
Dari pesawat yang kini tengah mengudara dan mengawasi kapal pesiar mewah Zodiac Liner, ketiga lelaki berkulit putih masih terus terlibat dalam pembahasan mereka.
"Jadi… apakah kita akan mengaktifkan tujuh bom yang telah dipasang oleh orang-orangmu pada kapal itu… sekarang?" Terdengar pertanyaan mengerikan salah satu dari ketiga lelaki berkulit putih tersebut.
Dua lelaki berkulit putih yang lain hanya menganggukkan kepala mereka dengan santai, seolah-olah mereka hanya ditanya apakah ingin minum jus jeruk atau jus anggur atau jus strawberry.
"Oke… Sebagai langkah pertama, kita akan meledakkan bom yang pertama dan kedua dulu ya…" kata salah satu dari ketiga lelaki berkulit putih itu dengan sebersit senyuman bengis yang sama sekali tidak ada nilai kemanusiaannya.
Sialnya adalah… sungguh sial bagi Mizuki Mimasaka… Bom yang pertama itu dipasang di tiang besar ruangan lobi lantai enam tempat dia bersembunyi saat itu. Sungguh nasib nahas dan bayang-bayang maut akan merenggut sendi-sendi kehidupannya malam itu. Begitu tangan sang lelaki berkulit putih menekan tombol pertama, bom meledak dalam hitungan detik yang ketiga.
Maxy Junior, Sean Jauhari, Natsumi Kyoko dan Kimberly Phandana yang bersembunyi di balik dinding koridor tentu saja terhenyak kaget bukan main mendapati semacam ledakan dan guncangan dahsyat pada seluruh lantai enam. Mereka menjulurkan kepala mereka keluar guna melihat apa sebenarnya yang telah terjadi.
Terlihat tubuh Mizuki Mimasaka tercampak ke depan dan langsung tertelungkup tidak bergeming sama sekali di samping mayat Mary Juniar yang juga sudah tidak bergeming lagi. Tampak sepasang mata yang membelalak hampa seiring dengan batin yang sudah memisahkan diri dari tubuh jasmaninya. Pakaian yang menutupi bagian punggungnya terkoyak lebar dengan luka bakar yang menjamah secara keseluruhan bagian punggungnya.
Sebagian besar anak buah Mimasaka yang berdiri dekat dengan Mizuki Mimasaka juga tak lepas dari hantaman bom. Semuanya tewas mengenaskan nan berserakan di ruangan lobi lantai enam. Dalam waktu singkat, ruangan lobi lantai enam tersebut benar-benar berubah menjadi 'kapal pecah' yang sesungguhnya.
"Ada yang memasang bom di kapal ini! Ada yang memasang bom di kapal ini!" Satu kesimpulan mengejutkan melungkup di benak pikiran Maxy Junior. Dia mulai berteriak. Dia menggendong sang bidadari cantik kesayangannya dan mulai bergerak mengamankan diri. Sean Jauhari juga menggendong sang istri cantik jelita kesayangannya dan juga mulai bergerak mengamankan diri.
"Mana si empat sekawan!" sela Sean Jauhari panik. "Semuanya amankan diri masing-masing!" teriak Sean Jauhari kepada anak-anak buah Suzuki yang masih bertebaran di ruangan lobi lantai enam dan sekitarnya. Masing-masing anak-anak buah Suzuki mulai berhenti menembak. Mereka perlahan-lahan bergerak mundur.
"Verek! Rodrigo! Thobie! Saddam! Segera keluar dari dalam! Tinggalkan semuanya! Ada yang memasang bom di kapal ini!" teriak Maxy Junior panik.
Dalam beberapa detik, si empat sekawan juga berlari keluar dari kamar Capricornus, dengan mata-mata mereka yang masih sembab. Dengan mata mereka yang masih basah, mereka memutuskan untuk segera mengambil langkah seribu. Dengan sangat berat hati, dengan sedih dan gulana yang begitu tajam menghunus ulu hati, yang pedih menyayat dan mengiris sanubari hati, mereka memutuskan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri terlebih dahulu. Segalanya baru akan mereka ceritakan setelah semua kondisi aman dan terkendali.
Semuanya berlari ke arah anak-anak tangga yang mengarah ke lantai lima.
Tangan si lelaki berkulit putih menekan tombol yang kedua. Bom yang dipasang pada dapur restoran mewah di lantai lima juga meledak, menewaskan sang manajer restoran, semua tukang masak, dan semua staff dapur yang kebetulan bertugas pada malam hari itu. Api mulai naik dan membumihanguskan segala yang ada di hadapannya.
Kepanikan semakin mengeriap dan menggelimuni. Tamu-tamu yang masih makan di restoran mewah tersebut lari kucar-kacir, begitu juga dengan para pelayan yang bertugas pada malam hari itu. Terdengar jeritan histeris dan lolongan ketidakberdayaan di mana-mana karena api mulai menjalar ke mana-mana.
Kengerian merecup kepanikan dan ketakutan. Kepanikan dan ketakutan merambat ke mana-mana di dalam kapal pesiar mewah Zodiac Liner tersebut.