Chereads / 3MJ / Chapter 173 - Sampai 200 Tahun (bagian 2)

Chapter 173 - Sampai 200 Tahun (bagian 2)

"Wow… Hidup sampai dua ratus tahun maksudmu?" tukas Shunsuke Suzuki setengah bergurau.

"Bisa jadi… Manusia itu bisa hidup lebih lama pokoknya… Aku sendiri juga tidak jelas sampai seberapa lama mereka bisa hidup. Namun yang jelas adalah inilah yang dicari oleh setiap manusia kan? Manusia ingin hidup lebih lama. Manusia ingin hidup selama mungkin di muka bumi ini, memiliki selama mungkin waktu yang ada dalam genggaman tangan mereka, menikmati uang, kekayaan dan kekuasaan selama mungkin di atas muka bumi ini. Kalau bisa manusia ingin hidup abadi, iya kan?"

Senyuman Shunsuke Suzuki perlahan-lahan memudar. Dia sudah bisa membaca sinar mata yang lain terpancar dari bola mata si ilmuwan Meksiko ini.

"Itulah yang aku kerjakan selama ini, Anak Muda. Itulah yang kami jual kepada mereka – kepada mereka yang ingin menggenggam waktu dan keabadian lebih lama dengan kedua tangan mereka, kepada mereka yang ingin menikmati uang, kekayaan dan kekuasaan mereka lebih lama di atas muka bumi ini. Namun, sayang sekali…"

"Kenapa? Keserakahan mulai menguasai dan mengendalikanmu, Pak Ilmuwan… Ketika keserakahan mulai mengambil alih, percayalah… Segala rencana yang kaususun selama ini akan hancur berantakan."

Sekonyong-konyong Victorio Mistrall menatap anak muda yang berdiri di hadapannya ini selama beberapa detik. Kata-kata Shunsuke Suzuki terdengar begitu menohok bagai tamparan pedas yang membuyarkan lamunan dan membangunkan kesadaran.

"Iya… Sayang sekali… Ada banyak pihak yang ingin merebut obat ajaib yang telah berhasil kami ciptakan dan secara egois hanya mempergunakan obat ajaib itu di kalangan mereka sendiri."

Antara percaya dan tidak, Shunsuke Suzuki hanya bisa mendengus lembut dan kembali berujar,

"Jadi ada di mana obat ajaib itu sekarang?"

"Ada di suatu tempat di dunia ini, Anak Muda… Ada di suatu tempat terjauh di dunia ini… Kenapa? Kau ingin membeli obat ajaib itu juga?"

"Bagiku, yang paling penting di dunia ini bukanlah keabadian, Pak Ilmuwan… Yang terpenting dalam kehidupan ini bukanlah hidup selama mungkin. Hidup selama mungkin, tapi tanpa cinta hanyalah suatu kehidupan yang sia-sia. Hidup selama mungkin tanpa memiliki seseorang yang dicintai hanya akan menjadikan hidup itu menjadi hidup yang tidak memiliki sesuatu yang menjadi tujuan. Kau pikir kehidupan yang seperti itu adalah kehidupan yang bermakna?"

Terdiam lagi Victorio Mistrall. Dia tampak membutuhkan beberapa detik untuk bisa mencerap dan memahami hal-hal yang tidak berdasar pada dalil dan rumus.

"Mungkin pandangan masing-masing orang berbeda-beda ya… Aku sih pernah mendengar hidup tanpa cinta bagaikan musim dingin yang memenuhi aliran udara di atas sungai yang membeku. Aku sih setuju dengan itu. Bagaimana denganmu, Pak Ilmuwan?"

"Apa itu cinta?" tanya Victorio Mistrall kepada si anak muda yang kini masih berdiri di hadapannya. Setengah abad dalam perjalanan hidupnya sungguh baru kali ini dia menemukan satu pertanyaan yang ia tidak ketahui apa jawabannya.

"Jawabannya tidak ada di sini, Pak Ilmuwan," Shunsuke Suzuki menunjuk kepalanya sendiri, "tapi ada di sini." Kali ini ia menunjuk ke jantungnya sendiri.

Victorio Mistrall masih memandangi anak muda yang ada di depannya dengan sorot mata polos dan bingung.

"Pikirkan baik-baik, renungkan baik-baik dan kau akan bisa menemukan jawabannya suatu hari nanti…" Shunsuke Suzuki terlihat tersenyum simpul.

"Atau mungkin tidak sama sekali…" Victorio Mistrall membuang pandangannya ke arah lain.

Shunsuke Suzuki menoleh ke arah si ilmuwan Meksiko itu lagi. Beragam tanda tanya dan tanda seru meragas benak pikirannya. Victorio Mistrall ingin membalikkan badannya ketika ia entah sengaja entah tidak silap langkah dan hampir saja jatuh terjerembab ke lantai. Dengan sigap, Shunsuke Suzuki menarik lengan kanannya sehingga ia tidak jadi terjatuh. Pada saat itulah ia menyelipkan sebuah USB yang kecil sekali ke dalam saku jaket panjang Shunsuke Suzuki, tentunya tanpa sepengetahuan anak muda itu.

"Kau baik-baik saja, Pak Ilmuwan? Apakah kau sakit?" tanya Shunsuke Suzuki dengan raut wajah sedikit khawatir.

"Aku baik-baik saja… Terima kasih sudah mau mendengarkan seluruh ocehanku, Anak Muda. Terima kasih untuk waktumu beberapa menit ini mendengarkan omong kosongku." Victorio Mistrall menunjukkan tanda-tanda ia akan segera mohon diri.

"Aku senang mendengarkan, Pak Ilmuwan. Hitung-hitung aku bisa sedikit mempelajari hal-hal baru."

Victorio Mistrall tersenyum lirih. "Jadikan itu sebagai rahasia ya… Jangan katakan pada sembarangan orang kecuali orang itu sudah sangat dekat denganmu dan kau bisa mempercayainya."

Shunsuke Suzuki terpelongo heran selama beberapa detik. Akan tetapi, akhirnya ia menganggukkan kepalanya dan menukas,

"Oke, Pak Ilmuwan… Rahasiamu aman bersamaku…"

"Oke, Anak Muda… Aku permisi dulu…" Victorio Mistrall berlalu dari hadapan Shunsuke Suzuki. Pas sekali pada saat itu, Ciciyo Suzuki melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi perempuan. Dia memandangi punggung ilmuwan Meksiko itu dengan sorot mata bingung.

"Siapa itu, Sayang?"

"Orang yang sekadar lewat… Sambil menunggumu, aku mengobrol-ngobrol ringan dengannya. Kok lama sekali, Sayang?" tanya Shunsuke Suzuki melingkarkan lengannya ke bahu istrinya.

Kedua suami istri itu mulai berjalan beriringan meninggalkan kamar mandi perempuan.

"Perutku mules sekali… Sepertinya sewaktu di hotel dan di pelabuhan tadi pagi, aku makan terlalu banyak, Sayang…"

"Jadi sekarang masih mules?"

"Tidak lagi sih…" Ciciyo Suzuki menggeleng lembut. Ia mulai terlihat bergelayut manja di lengan sang suami tampan.

"Oke deh… Kalau mules lagi, bilang ya, Sayang. Kita jumpai dokter dan makan obat dari dokter saja…" Membicarakan soal obat, mendadak Shunsuke Suzuki teringat lagi soal 'obat ajaib' yang dibicarakannya dengan si ilmuwan Meksiko tadi. Sampai detik itu, barulah Shunsuke Suzuki menyadari tadi ia lupa menanyakan siapa nama sang ilmuwan Meksiko itu.

"Mau ke mana kita sekarang, Sayang?" Ciciyo Suzuki tampak melangkahkan kedua kakinya dengan ringan nan santai.

"Ke tempat main biliar sebentar ya… Temani aku main biliar sebentar dengan si empat sekawan ya… Mau kan…?"

"Oke deh… Tapi habis itu kau mesti menemani aku ke sauna jam empatan sore nanti loh…" kata si istri dengan mata yang agak membulat.

"Pasti… Aku akan menemanimu nanti…" ujar sang suami mendaratkan satu kecupan mesra ke sepasang bibir si istri yang ranum, mungil, seksi nan menggemaskan.