Hampir saja pasutri Phandana dan anak perempuan mereka meledak dalam tawa geli mereka.
"Aku dan Sean sudah sehati, March… Ayah, Ibu… Jangan memisahkan aku dengan Sean lagi. Semenjak kejadian lampu hias kristal itu, aku sudah memutuskan akan mencintai Sean dan bersama-sama dengannya seumur hidupku." Kimberly Phandana akhirnya membuka kartu AS-nya di depan kedua orang tuanya dan March Ursa Major.
"Kejadian lampu hias kristal?" Alis mata pasutri Phandana naik beberapa senti.
Sean Jauhari menatap lembut sang kekasih pujaan hati dan mengusap lembut kedua tangannya.
"Itu adalah kejadian mengerikan di sekolah setahun lalu, Yah, Bu. Jika tidak mendesak seperti ini, aku sudah tidak ingin menceritakannya kepada siapa pun."
Kimberly Phandana kembali melantunkan sepenggal cerita mengenai insiden di gedung auditorium sekolah Newton Era setahun lalu. Pasutri Phandana terhenyak bukan main dan sungguh tidak menyangka Sean Jauhari bisa seberani itu mengorbankan diri hanya demi menyelamatkan anak perempuan mereka.
March Ursa Major hanya bisa menelan ludah ke dalam tenggorokannya yang tercekat. Dia kalah satu poin dibandingkan dengan Sean Jauhari. Mengorbankan diri menyelamatkan sang putri pujaan hati merupakan satu nilai penting yang sampai kapan pun takkan bisa diperolehnya dan dia tetap akan kalah satu poin dari Sean Jauhari dari sisi yang satu itu.
Lagi dan lagi api kecemburuan tersulut dalam padang sanubari March Ursa Major. Kini dia tahu dia tidak bisa mendapatkan Kimberly Phandana secara baik-baik lagi. Untuk bisa menaklukkan gadis itu dan mendapatkannya, dia harus melakukan suatu akal bulus dan sedikit permainan di belakang Sean Jauhari.
"Jadi bagaimana, Yah, Bu? Apakah Ayah dan Ibu akan merestui pernikahan kami tahun ini?" tanya Kimberly Phandana memandangi ayah ibunya lekat-lekat.
"Kalau Paman dan Bibi keberatan mengadakan resepsi pernikahan tahun ini, tak apa-apa. Aku dan Kimberly akan menikah dulu di catatan sipil. Barusan tahun depan kami akan mengadakan resepsi pernikahan kami," tukas Sean Jauhari harap-harap cemas.
Mau tidak mau, dengan rasa tidak enak hati yang begitu mendalam pada March Ursa Major yang duduk di samping mereka, pasutri Phandana akhirnya mengangguk mengiyakan.
Sean Jauhari dan Kimberly Phandana tersenyum semringah. Mereka saling bergandengan tangan. Asa bahagia menggelincir di beranda hati mereka berdua.
March Ursa Major terlihat mengeraskan rahangnya dan mengepalkan kedua tangannya. Dia mengelap mulut dan segera beranjak dari tempat duduknya.
"Aku sudah kenyang… Thanks very much buat makan malamnya, Paman, Bibi… Aku permisi dulu…"
March Ursa Major berjalan ke arah depan rumah. Sejurus kemudian, terdengar pintu depan yang dibuka dan kemudian dibanting dengan keras.
Sean Jauhari bernapas dengan lega. Akhirnya ia berhasil menyingkirkan saingan cintanya. Dalam waktu bersamaan, dia juga berhasil mendapatkan doa restu kedua calon mertuanya untuk bisa memperistri sang kekasih pujaan hati. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Kimberly Phandana bernapas lega. Dia sedikit menggigit bibir bawahnya. Akhirnya dia mendapatkan doa restu kedua orang tuanya untuk menjadi istri sang pangeran tampan.
Menit demi menit berlalu. Kini tampak kedua sejoli itu menghabiskan waktu malam mereka duduk di teras halaman depan rumah Kimberly Phandana. Terlihat Kimberly Phandana duduk di pangkuan sang pangeran tampan dengan kedua lengan sang pangeran tampan yang kekar nan bedegap melingkar dari belakang dan akhirnya menempel pada perut Kimberly Phandana.
"Kau sedang menghubungi siapa, Honey?" tanya sang pangeran tampan menempelkan kening dan wajahnya pada punggung sang kekasih pujaan hati.
"Natsumi, Sayang… Kok dia tidak angkat ya? Mungkin dia lagi sibuk ya…"
"Tentu saja dia sedang sibuk, Sayang… Sama sibuknya seperti kita sekarang mungkin…" kata sang pangeran tampan asal-asalan. Kimberly Phandana hanya tergelak ringan.
"Apa kata March tadi akan menjadi kenyataan, Sayang?" tanya Kimberly tiba-tiba.
"Perkataan yang mana, Honey?"
"Bahwa kau akan mencari istri muda setelah setahun dua tahun kita menikah…"
"Aku sudah menyerahkan barang jaminanku ke tanganmu, Honey. Apabila kedapatan aku memiliki istri muda di luar, kau boleh memotong barang juniorku. Aku serius… Hanya kau yang boleh melakukannya… Aku menyerahkan segala yang ada pada diriku ke tanganmu, Honey – termasuk barang juniorku itu. Aku milikmu, Honey…" Sean masih tampak merebahkan kepalanya ke punggung sang kekasih pujaan hati.
"Aku potong pakai gunting rumput itu ya…" Kimberly meledak dalam tawa renyahnya.
"Terserah padamu, Honey… Aku sudah menyerahkan semua yang ada pada diriku ke tanganmu. Aku mengharapkan seluruh cinta dan hatimu hanya kepadaku seorang, Honey."
Kembali Kimberly mengusap lembut tangan sang pangeran tampan yang masih melingkar di perutnya.
"Aku akan mencintaimu selalu, Sean Sayang… Kimberly hanya milik Sean. Kimberly hanya akan mencintai Sean seorang. Percayalah padaku…"
Sean tentu langsung mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir sang kekasih pujaan hati. Bibir keduanya tampak saling mengulum, saling melumat, dan saling bertaut dalam cinta dan kemesraan yang dalam selama beberapa menit ke depan.
Adegan romantisme itu lagi dan lagi disaksikan oleh sepasang mata March Ursa Major yang terbakar cemburu. Kini api kecemburuan telah berubah menjadi api dendam dan kebencian. Sekelumit akal bulus yang jahat mulai mengeriap dalam teluk pikiran March Ursa Major malam itu.
***
BEBERAPA HARI KEMUDIAN
"Mau apa sih kita ke sini?" Kimberly tampak bersungut karena sesungguhnya ia keberatan datang ke pub ikut teman-teman sekompleksnya. Musik menghentak keras di dalam pub tersebut. Terkadang di sekeliling Kimberly terpampanglah adegan-adegan yang tidak pantas. Kimberly mulai merasa tidak nyaman. Dia asyik membuang dan mengalihkan pandangannya ke kiri dan ke kanan. Dalam hati ia mulai menyesal mengiyakan ajakan teman-teman sekompleksnya ke pub ini.
"Mau apa? Ya untuk bersenang-senang dong, Kim…" jawab salah satu teman Kimberly.
"Ya… Sudah tamat SMA… Sebentar lagi kita bakalan berpisah, kuliah dan kerja di tempat-tempat yang berbeda. Ini satu-satunya kesempatan kita untuk bisa berkumpul bersama dan bersenang-senang," kata salah satu teman perempuan Kimberly.
"Mau minum, Kim?" tanya teman perempuannya yang lain. Sekelompok perempuan itu terdiri dari kira-kira sembilan hingga sepuluh orang perempuan muda – termasuk Kimberly. Semuanya tinggal di areal kompleks perumahan yang sama dengan Kimberly.
Kimberly menggeleng cepat. "Aku tidak terbiasa minum minuman beralkohol, Fan. Nggak apa-apa… Aku minum jus jeruk ini saja…"
"Kau sudah tamat loh, Kim… Apa salahnya kau mencoba minuman ini? Sudah cukup umur… Nggak dosa jika hanya mencoba sekali dua kali. Lagipula, minum sedikit seperti ini mana mungkin bisa membuatmu mabuk dan kehilangan kesadaran."
"Aku benar-benar tidak terbiasa, Fan… Nggak deh… Thanks…" kata Kimberly menolak minuman yang ditawarkan oleh teman-temannya.
"Ayolah… Untuk apa kau takut? Kan ada kami-kami di sini… Ada banyak perempuan di sini… Takkan ada yang berani macam-macam sama kita… Kita akan saling menjaga… Lain cerita kalau kau hanya seorang diri di sini. Ini kita ada banyak orang? Apa sih yang kautakutkan di sini?"
"Ayolah, Kim…" pinta salah seorang temannya yang lain lagi. "Minum sedikit saja… Kita habis tidak habis ini, tetap bayar dan bagi rata semua loh… Masa minum sedikit saja kau pun tidak bisa… Kau rugi dong ketika kita bagi rata semua ini dan kau membayar untuk minuman yang tidak kausentuh sama sekali."
"Ayolah… Anggap saja kau menghargai ajakan kami untuk berkumpul di sini, Kim… Mungkin saja ini sudah menjadi kesempatan terakhir kita berkumpul di sini dan habis itu kita sudah berpencar entah ke mana-mana, entah kuliah entah kerja… Iya kan?"
Akhirnya, setelah mereka-reka beberapa waktu, mau tidak mau, dengan keterpaksaan yang teramat sangat, Kimberly meneguk segelas minuman beralkohol yang disodorkan oleh salah satu kawan sekompleksnya.