Chereads / 3MJ / Chapter 127 - Tempat Paling Nyaman di Dunia

Chapter 127 - Tempat Paling Nyaman di Dunia

Pagi-pagi sekali jam enam begitu Natsumi Kyoko dan Maxy Junior sudah bangun. Mereka sempat menghabiskan waktu beberapa menit untuk sebuah hubungan dry hump yang singkat sebelum sama-sama mandi dan akhirnya keluar dari kamar tidur. Keduanya bergandengan tangan dan berjalan bersama-sama ke ruang makan. Di tengah perjalanan, Maxy Junior dan Natsumi Kyoko bertemu dengan Shunsuke Suzuki dan Ciciyo Suzuki yang juga habis mandi dan mereka keluar dari kamar tidur Ciciyo Suzuki.

Keempat orang tersebut berpapasan di koridor menuju ke ruang makan. Beragam perasaan berkecamuk di padang pikiran Natsumi Kyoko dan Ciciyo. Keduanya hanya saling menatap pada mulanya, tidak tahu apa yang mesti diucapkan dan apa yang mesti diperbuat.

"Kau pasti belum makan, Maxy Junior… Kita ke ruang makan duluan saja…" ajak Shunsuke. Maxy Junior hanya mengangguk santai.

Maxy Junior dan Shunsuke Suzuki berlalu. Tinggallah Natsumi Kyoko dan Ciciyo Suzuki di koridor menuju ke ruang makan tersebut.

"Apakah… Apakah…" Ciciyo duluan yang memecah kekakuan di antara mereka. "Apakah aku masih boleh memanggilmu 'Kak Natsumi'?"

"Tentu saja boleh, Ciciyo… Sampai selamanya kau tetaplah adikku… Sampai selamanya takkan ada yang bisa menghancurkan tali persaudaraan dan kekeluargaan di antara kita."

Kekakuan mencair seketika. Natsumi Kyoko merentangkan kedua lengannya lebar-lebar dan memeluk adik angkatnya. Untuk beberapa saat, terlihat kedua kakak beradik tersebut berpelukan.

"Kau sudah mengetahui semuanya?" tanya Natsumi Kyoko sesaat ia melepaskan pelukannya. Ciciyo mengangguk lirih. Keduanya kini berjalan beriringan ke ruang makan.

"Kemarin aku sampai di rumah jam sepuluh kurang bersama-sama Bang Shunsuke. Pada saat itu, Ayah dan ibu Bang Maxy Junior itu menjelaskan semuanya kepada kami."

"Bagaimana perasaanmu, Ciciyo?" tanya Natsumi Kyoko sedikit khawatir.

"Tentu saja sama seperti perasaanmu saat pertama kali mendengar dan mengetahuinya, Kak Natsumi…" Ciciyo Suzuki menghela napas panjang. "Apalagi mendengar soal perjodohan kita berdua dengan keluarga Hanamura itu. Rasanya sungguh-sungguh tidak adil banget."

"Ya… Aku menolaknya habis-habisan. Aku bahkan bersepakat dengan Maxy Juniorku kami sama-sama menentang perjodohan yang tidak masuk akal itu di hadapan Ayah dan Bu Liana kemarin malam. Kami bersepakat sama-sama memberikan sedikit ancaman kecil kepada Ayah dan Ibu Liana kemarin malam, bahwasanya kami benaran akan mati di depan mata mereka berdua apabila ada yang bersikeras ingin memisahkan kami berdua."

Ciciyo Suzuki kembali tersenyum lirih.

"Aku juga bilang lebih baik aku mati saja daripada aku dinikahkan secara paksa dengan lelaki yang tidak aku kenal dan sama sekali tidak aku cintai. Bang Shunsuke terus menghiburku sepanjang malam dan meyakinkan aku bahwa pada akhirnya nanti yang akan menikah denganku tetap adalah dia, Kak Natsumi…" Ciciyo Suzuki tersenyum manis ketika ia sampai pada kalimat terakhirnya ini.

"Tentu saja… Sekarang tak ada lagi yang bisa menghalangi kalian bukan? Kau dan Bang Shunsuke sama sekali bukan saudara sepupu yang sedarah lagi, Ciciyo."

"Ke mana 'mantan ibu' kita itu, Kak Natsumi?" tanya Ciciyo Suzuki lirih.

"Katanya sih kembali ke rumah peninggalan orang tuanya. Mereka bertengkar habis-habisan kemarin sore. Dalam emosi dan kemarahannya, ia juga mengakui semua kebohongan dan sandiwaranya terhadap Ayah selama ini. Aku terlalu pusing dan shocked untuk menanggapi semua yang mereka pertengkarkan. Untung saja ada Maxy Junior yang terus menemaniku sepanjang sore dan malam kemarin. Jika tidak, aku rasa mungkin aku sudah pingsan tak sadarkan diri dan sampai detik ini mungkin belum sadar juga."

"Kurasa aku masih membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan beberapa minggu ke depan untuk bisa menyesuaikan diri dengan perubahan mendadak ini, Kak Natsumi… Sangat tidak terbiasa…"

"Aku juga sama… Namun, aku berusaha untuk menerima dan menjalani apa yang ada. Aku berusaha untuk berpikir positif, Ciciyo." Tampak sebersit senyuman manis nan lemah lembut di wajah Natsumi Kyoko.

"Apa itu, Kak?"

"Setidaknya mulai hari ini takkan ada hukuman-hukuman yang tidak logis dan tidak manusiawi yang akan diberikan kepada kita. Iya nggak?"

"Ya… Kau benar, Kak Natsumi…" Juga terlihat sebersit senyuman manis menggelantung di wajah Ciciyo Suzuki yang lemah lembut.

Mereka akhirnya sampai di ruang makan. Sudah tampak Kendo Suzuki, Keiko Suzuki dan Liana Fransisca Sudiyanti yang duduk mengitari meja makan.

"Sudah tahun keberapa di sekolah, Shunsuke, Ciciyo?" tanya Keiko Suzuki lembut kepada dua keponakannya.

"Tahun ini tahun terakhir, Bibi…" jawab Shunsuke Suzuki santai.

"Tahun depan tahun terakhir, Bibi…" jawab Ciciyo Suzuki ringan.

Makanan mulai dihidangkan. Pagi itu mereka sarapan mi pangsit yang lezat nan menggugah selera.

"Hari ini kau ikut Ayah bantu-bantu di kantor kan, Natsumi?" tanya Kendo Suzuki di sela-sela sarapan pagi mereka. Natsumi Kyoko hanya mengangguk santai sembari mengunyah-ngunyah makanannya.

"Hari ini kau juga ikut Ibu bantu-bantu di kantor kan, Maxy Junior?" tanya Liana Fransisca Sudiyanti di sela-sela sarapan pagi mereka. Maxy Junior juga mengangguk mengiyakan sambil terus mengunyah dan menelan makanannya.

Kendo Suzuki dan Liana Fransisca saling bertukar pandang sejenak dan masing-masing menghela napas lega. Walau keadaan masih runyam, setidaknya Natsumi Kyoko dan Ciciyo Suzuki masih bisa berdiri di posisi mereka yang sama seperti sebelumnya. Setidaknya di samping kedua gadis rapuh itu sekarang ada Maxy Junior dan Shunsuke Suzuki yang terus memberi mereka semangat, kekuatan, dan cinta yang mereka butuhkan. Setidaknya segala kekacauan dan keributan ini tidak mengubah pandangan mereka terhadap sesama mereka dan terhadap keluarga mereka.

***

Kimberly Phandana juga mendapat kejutan yang kurang lebih sama kemarin sore. Jadi kita mundur lagi di sore hari sehari sebelum pagi ini, tetapi tempatnya berfokus pada kediaman keluarga Phandana.

Setelah tamat SMA, Kimberly Phandana mencoba melamar kerja di sebuah tempat les bimbel. Oleh sebab itu, Kimberly Phandana mendapatkan kelas-kelas tingkat TK dan SD dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore. Hari ini, setelah jam kerja, tampak Sean Jauhari – yang juga baru pulang dari perusahaan keluarganya – datang ke les bimbel tempat Kimberly Phandana mengajar untuk menjemputnya pulang.

Melihat mobil sang kekasih pujaan hati merapat ke pinggir, senyuman merekah di wajah Kimberly Phandana yang cantik jelita. Sean Jauhari turun dari mobilnya dan segera menghampiri sang kekasih pujaan hati. Beberapa rekan kerja, beberapa ibu-ibu dan gadis-gadis muda terpana melihat ternyata Kimberly Phandana telah memiliki seorang kekasih yang begitu tampan.

"Astaga… Kimberly Phandana ternyata sudah ada yang punya. Baru saja aku ingin mendekatinya…" kata salah seorang rekan kerja Kimberly Phandana yang laki-laki.

"Astaga… Pacar Kimberly Phandana tampan sekali… Tampannya itu nggak ada akhlak…" bisik salah seorang rekan kerja Kimberly Phandana yang perempuan.

"Mereka serasi sekali ya… Wah… Seperti seorang pangeran dan si Cinderella saja…"

"Mereka dekat sekali… Aku yakin mereka sudah dekat dan berpacaran sewaktu di bangku SMA."

"Bisa jadi… Mereka terlihat dekat dan mesra sekali… Bikin aku cemburu saja…"

Begitulah ceritanya ketika Sean menjemput Kimberly dari tempat kerjanya. Kimberly langsung masuk ke mobil sang pangeran tampan. Mobil terlihat bergerak perlahan meninggalkan tempat kerja Kimberly.

"Malam ini mau ke mana, Honey? Bagaimana kalau kita ke GI saja dan makan malam di sana malam ini?" tanya Sean lembut sambil menggenggam tangan kanan sang putri pujaan hati.

"Tapi kemarin malam kita baru saja ke kafe yang ada di hotel bintang lima itu, Sayang. Bagaimana kalau malam ini kita ke karaoke saja? Di sana kan bisa pesan makan minum juga," usul Kimberly.

"Tapi aku ingin membawamu ke suatu tempat yang indah, yang benar-benar membuatmu merasa nyaman, Honey," kata Sean lemah lembut. Di sinilah salah satu faktor yang membuatnya tetap tergila-gila dan jatuh cinta pada sang putri pujaan hati. Dia sangat mencintai dan menyukai karakter gadis itu yang sederhana dan elegan pada saat bersamaan.

"Kau tahu tempat apa yang paling indah, yang membuatku merasa paling nyaman?" tanya Kimberly dengan nada santai.

"Tempat mana?"