Liana Fransisca meninggalkan sejenak anak perempuannya di ruang tamu. Keempat petugas kepolisian tersebut juga menunggu dengan sabar. Terlihat kini sang nyonya rumah berjalan ke ruangan tengah dan menelepon seseorang. Lima belas menit lamanya Liana Fransisca menelepon di ruangan tengah sampai akhirnya telepon si kepala polisi itu pun berdering. Si kepala polisi menjawab panggilan telepon di ruang tamu.
"Ya, Pak… Iya… Iya… Iya, Pak…" Entah apa yang didengar oleh si kepala polisi dari pihak seberang sehingga berkali-kali ia hanya menjawab 'ya'.
Liana Fransisca memutuskan hubungan komunikasinya dan kembali ke ruang tamu di bagian depan rumah.
"Oke, Bu Liana… Pasangan suami istri Jauhari itu kini menangguhkan tuntutan mereka karena Sean Jauhari sudah sadar dan baikan pagi ini. Kami tetap akan memproses laporan yang kami terima dari pasangan suami istri Jauhari ini. Kalau ternyata pada akhirnya Nona Mary Juniar tetap terbukti telah melakukan transaksi dengan si pembunuh bayaran yang sampai sekarang masih menjadi buronan kami, mau tidak mau Nona Mary Juniar tetap harus kami proses di kantor."
"Oke, Pak… Saya akan bekerja sama dengan Anda seobjektif mungkin…" Terlihat senyuman kooperatif dari si nyonya rumah.
Si kepala polisi dan ketiga anak buahnya berdiri dan mohon diri. Pembantu membukakan pintu untuk mereka. Tinggallah si nyonya rumah dan si anak perempuan kini di ruang tamu. Martin Jeremy juga turun dari kamarnya di lantai atas tak lama kemudian.
"Sepertinya dari jendela kamarku di atas aku melihat mobil polisi baru saja meninggalkan rumah ini. Cepat sekali ketahuannya, Kak Mary Juniar. Kerjaanmu sungguh tidak rapi…" kata Martin Jeremy menyindir sinis.
"Sudahlah, Martin…" Liana Fransisca mendengus ringan dan merapatkan sepasang bibirnya. Dia tahu kedua anaknya ini sejak kecil memang kurang klop.
"Bukan urusanmu!" desis Mary Juniar dengan sepasang matanya yang mendelik tajam.
"Andaikan kerjaanmu rapi, kau takkan ketahuan dengan sebegini mudah… Kalau aku jadi kau, aku takkan menghabiskan begitu banyak uang hanya untuk menjatuhkan lampu kristal itu. Cepat sekali ketahuan… Lagipula, kau jelas-jelas tahu begitu lampu hias itu terjatuh, Bang Maxy Junior pasti akan melakukan segala cara untuk melindungi kekasih pujaan hatinya itu."
Mary Juniar hanya terdiam dan mendelikkan sepasang matanya kepada adiknya.
"Jadi penasaran aku bagaimana rupa sang kekasih pujaan hati Maxy Junior ini. Banyak gadis yang berlalu-lalang dalam hidup Maxy Junior sejak dia berumur 15 tahun. Sebegitu istimewakah perempuan ini sampai-sampai Maxy Junior bisa bertekuk lutut seperti ini? Kau sendiri pernah bertemu dengannya, Martin Jeremy?" tanya Liana Fransisca sungguh merasa penasaran.
"Tentu saja, Ibu… Dia sangat… sangat… sangat cantik…" Martin Jeremy sengaja menekankan kata-kata itu yang menyebabkan api kecemburuan Mary Juniar kian tersulut besar.
Liana Fransisca mengerutkan dahinya. Dia semakin merasa penasaran.
"Setelah kau bertemu dengannya, kau akan menyadari kenapa Bang Maxy Junior bisa bertekuk lutut pada cewek ini, Bu. Dia bukan hanya membuat Bang Maxy Juniorku bertekuk lutut, tetapi dia juga mengubah hampir 80% perangai Bang Maxy Junior yang adalah seorang fuckboy. Akhir-akhir ini, Bang Maxy Junior jarang dan bahkan tidak pernah menginjakkan kaki ke pub lagi."
"Oh ya?" Alis Liana Fransisca terangkat tinggi.
"Iya… Si empat sekawan sahabat baik Bang Maxy Junior itu sering menggosipkan tentang keadaan Bang Maxy Junior di kamar mandi kolam renang. Aku sering kali juga bisa mendengar percakapan mereka."
Liana Fransisca menerawang ke pemandangan taman bunga yang ada di luar jendela ruang tamu.
"Oke deh… Aku ke sekolah dulu… Sudah hampir terlambat… Kau mau berangkat bersamaku, Kak Mary Juniar?" tanya si adik lelaki dengan nada sinis.
"Nggak!" jawab Mary Juniar ketus dan membuang pandangannya ke arah lain.
"Bagus juga sih… Seantero sekolah sudah tahu kaulah yang mungkin mendalangi insiden di gedung auditorium kemarin siang. Umpamanya aku adalah kau, aku takkan berani menginjakkan kakiku ke sekolah hari ini."
Martin Jeremy berlalu dengan santai.
Sepeninggal Martin Jeremy, Mary Juniar menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal, sedikit menghentak-hentakkan kedua kakinya ke lantai, sembari berteriak melengking tinggi.
"Salahmu sendiri kenapa kau bisa mengambil langkah yang sungguh berisiko ini…" desah Liana Fransisca dengan ekspresi wajah datar.
"Kau tidak berencana untuk membantuku mendapatkan kembali Bang Maxy Junior, Bu? Kau sesungguhnya sudah sangat jelas bahwa Bang Maxy Junior bukan saudara sedarah denganku kan?" tanya Mary Juniar dengan sorot mata nanar.
"Iya…" jawab Liana Fransisca singkat.
"Kau harus membantuku, Bu… Kau harus membantu putrimu sendiri daripada membantu perempuan lain merebut Bang Maxy Junior dari putrimu sendiri kan?" Mary Juniar bergerak mendekat ke samping ibunya.
"Kau benaran tergila-gila padanya?" tanya Liana Fransisca dengan sinar mata yang sedikit aneh.
Mary Juniar langsung mengiyakan. Liana Fransisca meledak dalam tawa renyahnya.
"Sejak awal ketika aku membawanya pulang, aku sudah menduga suatu saat nanti kau akan tergila-gila padanya seperti sekarang ini. Dia memang terlalu sempurna untuk dilewatkan begitu saja. Namun, sayang sekali, Mary Juniar… Dia lebih mencintai perempuan itu daripada kau…"
"Aku akan mendapatkannya, Ibu. Aku akan merebutnya kembali dari tangan perempuan sialan itu! Aku takkan rela dan berdiam diri begitu saja melihat Bang Maxy Juniorku jatuh ke tangan perempuan itu! Dia sama sekali tidak berhak merebut apa yang telah kuperjuangkan sejak aku berumur sembilan tahun, Ibu!"
Tampak sepasang mata Mary Juniar yang mendelik tajam. Liana Fransisca hanya tersenyum penuh arti. Rencana apa yang ada dalam benak pikirannya, hanya dia sendirilah yang tahu.
"Oke… Walaupun pasangan suami istri Jauhari itu telah menangguhkan tuntutan mereka, bukan berarti kau sudah aman, Mary Juniar. Pihak yayasan sekolah dan jajaran pemegang saham terbesar yang lain pasti takkan melepaskanmu begitu mudah. Apalagi selama ini jajaran pemegang saham yang lain itu memiliki koneksi dan jaringan bisnis yang cukup kompak dengan pasangan suami istri Jauhari."
"Tapi tetap saja pemegang saham terbesar adalah dirimu, Ibu. Posisimu adalah berada di atas mereka semua. Apa yang harus kita takutkan, Ibu?"
"Aku adalah ketua pemegang saham, ketua yayasan, bukan kepala yayasan. Kalau aku adalah kepala yayasan, mereka harus tunduk padaku, mendengarkan segala perkataanku, dan melaksanakan perintahku. Aku di sini adalah ketua, jadi aku tetap harus memusyawarahkan setiap keputusanku dengan mereka. Seandainya saja aku terlalu memaksakan kehendakku, mereka keberatan, dan satu per satu dari mereka mencabut saham mereka dari sekolah Newton Era, itu juga akan sangat merepotkan bukan?"
Mary Juniar mati kutu lagi. Dia kini terlihat membisu seribu bahasa.
"Kau memang terkadang berpikir terlalu dangkal dan menyepelekan segala sesuatu, Mary Juniar."
"Jadi aku harus bagaimana sekarang, Ibu?" Mary Juniar terlihat merengek lagi.
"Untuk sementara kau belajar online dari rumah saja dulu. Untuk sementara kau dianggap menjalani masa-masa hukuman di rumah, begitu juga dengan si Wilona Jeanette Liangdy itu. Aku akan bilang pada guru-guru kalian nanti."
"Dan aku akan kehilangan kesempatan bersama-sama dengan Bang Maxy Junior dan tidak bisa mengawasinya di sekolah, Ibu? Bagaimana kalau si cewek itu mengapa-apakan Bang Maxy Junior dan Bang Maxy Junior terjerat semakin dalam dengannya?"
"Aku tidak tahu lagi, Mary Juniar. Jelas aku tidak bisa memikirkan terlalu banyak hal. Lagipula, di rumah dari sore sampai malam, kau kan bisa ketemu dengan Bang Maxy Juniormu. Kalau kau benaran memang cinta mati dan tergila-gila padanya, pikirkan deh cara lain yang lebih berkualitas daripada hanya menjatuhkan lampu hias kristal ke si cewek itu."
Liana Fransisca sedikit mendengus gusar. Dia meninggalkan anak perempuannya yang terlihat duduk kesal di sofa ruang tamu seorang diri.