Kimberly Phandana mengangguk lirih. Dia mengantar kedua calon mertuanya sampai ke pintu depan rumah sakit. Setelah melihat kedua calon mertuanya naik ke dalam mobil dan mobil meninggalkan halaman rumah sakit, Kimberly Phandana kembali ke dalam bangunan rumah sakit dan kini terlihat memasuki ruangan ICU. Setelah mengenakan pakaian khusus untuk di ruangan ICU, terlihat kini Kimberly Phandana sudah duduk lemas nan tidak berdaya di tepi tempat tidur sang pangeran tampan. Tampak sang pangeran tampan masih terbujur kaku, dengan kedua mata yang terpejam erat, dengan sekujur tubuh yang masih tidak bergerak, tidak bergeming.
Kimberly Phandana meraih tangan sang pangeran tampan dan mengelus-eluskan tangan itu ke wajahnya selembut mungkin.
"Mudah-mudahan aku bisa mengirimkan sebagian hangat tubuhku ke tubuhmu, Sean. Mudah-mudahan kehangatan tubuh ini bisa mengingatkanmu bahwa kau masih memiliki janji kepadaku, janji bahwa kita takkan pernah terpisahkan, janji bahwa kita akan bersama selamanya, Sean…"
Kembali ranai air mata bergulir turun. Kimberly Phandana membiarkan saja air matanya terus bergulir turun. Berkali-kali dia terus mengerepas mata, membuang jauh-jauh semua kesedihan dan pikiran yang negatif. Dia terus berusaha mengumpulkan kembali semangat, keberanian, dan pikirannya yang positif, bahwasanya setelah malam berlalu, setelah hari berganti, setelah matahari esok pagi terbit di ufuk timur, semua kesedihan, air mata, kecemasan dan ketakutan ini akan pergi dan lenyap. Setelah semuanya ini berlalu, sang pangeran tampannya akan kembali sadar, kembali memeluknya seperti biasanya, kembali menciumnya, kembali mengatakan betapa ia mencintai Kimberly Phandana.
Akan tetapi, tetap saja Kimberly Phandana sesekali akan larut dalam kesedihan dan kekhawatirannya. Mungkin karena terlalu lelah menangis dan terus tenggelam dalam kecemasannya, akhirnya dia jatuh tertidur tanpa sadar. Dua suster jaga yang melihat si gadis muda sejak tadi terus menangis di samping ranjang pasien ganteng, pun tidak tega membangunkannya lagi. Mereka membiarkannya terlelap begitu saja di samping ranjang pasien ganteng. Kebetulan pada malam itu, di ruangan ICU tersebut hanya ada satu pasien – si pasien ganteng itu. Jadi mereka memutuskan untuk menutup sebelah mata dan membiarkan si gadis muda terlelap selama beberapa saat di samping ranjang si pasien ganteng.
Namun, kejadian tidak terduga terjadi malam itu…
Saat bercakap-cakap seru sembari sedikit bergosip ria mengenai dokter-dokter muda yang ada di rumah sakit itu, kedua suster jaga tersebut tidak menyadari sudah ada tiga orang yang mengendap-endap melangkah memasuki ruangan ICU. Dengan ligat, sapu tangan yang sudah dilumuri obat bius langsung ditempelkan ke hidung kedua suster jaga tersebut. Meronta-ronta sebentar, akhirnya kedua suster jaga itu pun tenggelam dalam alam tidur mereka yang nyenyak.
"Mana orangnya yang mau disuntikkan obat?" tanya seorang pria di antara tiga orang pria yang menyelinap masuk ke dalam ruangan ICU malam itu.
"Di papan keterangan di luar hanya ada satu pasien di ruangan ICU malam ini, yaitu si Sean Jauhari itu… Itu dia…" kata si pria kedua menunjuk ke ranjang Sean Jauhari yang berada di bagian tengah ruangan ICU.
Ketiga pria tersebut mulai mendekati ranjang Sean Jauhari. Sama sekali tidak mempedulikan Kimberly Phandana yang tengah terlelap di samping ranjang, mereka mulai melaksanakan tugas mereka. Tampak mereka mengeluarkan sebuah jarum suntik yang berisi cairan berwarna putih keabu-abuan di dalamnya.
"Buka daerah selangkangannya…" kata si pria yang ketiga.
Si pria pertama dan kedua pun menuruti apa yang dikatakan oleh si pria ketiga. Karena baru dari kamar bedah, Sean Jauhari masih mengenakan pakaian rumah sakit dan tentu saja ia tidak mengenakan undies sama sekali. Begitu kain pakaian rumah sakit tersebut disibak, sudah tampak jelas bagian selangkangannya.
Ketiga pria misterius itu melakukan pekerjaan mereka dengan rapi. Mereka tampak menyimpan kembali jarum suntik mereka ke dalam tas yang mereka bawa.
"Ini pasti adalah kekasihnya…" celetuk si pria pertama sambil terkekeh kecil.
"Apakah kekasihnya ini masih perawan?" celetuk pria yang kedua sambil sedikit meledak dalam tawa gelinya. "Akan sayang sekali seandainya si lelaki ini sudah pernah menyentuh kekasihnya ini dan kini kekasihnya ini sudah tidak lagi perawan."
"Bukan urusan kita sih… Tapi, kemungkinan besar aku menduga gadis ini masih perawan…" kata si pria yang ketiga.
"Dari mana kau tahu?" cetus si pria yang kedua.
"Kan kubilang aku hanya menduga… Aku berharap sih dia masih perawan, jadi sudah tentu dia akan kebagian suatu rezeki dan berkah yang sungguh tidak dia sangka-sangka seumur hidupnya."
Kedua rekan yang lain hanya sedikit terkekeh kecil.
"Oke… Sudah saatnya kembali ke laboratorium, Bros… Tadi ada masuk beberapa perempuan perawan. Bos bilang persediaan-persediaan baru itu harus kelar malam ini juga."
"Oke… Ayo cabut…"
Ketiga pria itu menyelinap keluar lagi dari ruangan ICU tersebut. Mereka tidak keluar dari pintu depan karena tentu saja itu akan ketahuan oleh si satpam, dokter dan suster jaga UGD yang sedang bertugas pada malam hari itu. Mereka tentunya akan memanjat dari pagar samping, di samping kamar bedah yang jarang dilalui orang, apalagi pada dini hari begini, dan kemudian kembali ke mobil mereka yang mereka parkir di lahan kosong di sebelah rumah sakit. Sejurus kemudian, sudah tampak mobil meninggalkan kawasan rumah sakit.
Kita kembali saja ke beberapa jam sebelumnya ya…
Liana Fransisca mengetuk pintu kamar rawat inap anak sulungnya. Karena tidak ada jawaban dari dalam, dia memberanikan diri membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam.
Tampak Maxy Junior sedang menyantap makan malamnya sendirian di dalam kamar.
"Kukira kau sedang bersama-sama dengan teman-temanmu, Maxy Junior."
"Mereka sudah pulang… Karena aku sudah baikan sekarang, aku minta mereka pulang saja. Mereka akan kembali lagi besok pagi…" tukas Maxy Junior masih menyantap makan malamnya dengan santai.
"Bagaimana keadaanmu, Maxy Junior?" tanya Liana Fransisca duduk di tepian ranjang anak sulungnya, berhadapan langsung dengan si anak sulung.
"Seperti yang kaulihat saat ini. Aku baik-baik saja…"
"Kau mendorong gadis itu ke samping sehingga kau yang tertimpa lampu hias kristal berat itu ya…? Aku dengar seharusnya bukan kau yang tertimpa lampu hias kristal berat itu, Maxy Junior…" Liana Fransisca menatap wajah anak sulungnya dengan ekspresi datar.
"Iya… Ibu dengar dari mana?"
"Banyak sumber informasiku di sekolah…"
"Dan apakah kau ada dengar Mary Juniar dicurigai sebagai dalang dari insiden tadi siang?"
Liana Fransisca terdiam selama beberapa saat. Akhirnya, dengan berat hati ia menganggukkan kepalanya.
"Iya… Mary Juniar bisa sampai melakukan hal itu karena dia benar-benar mencintaimu dan dia tidak rela kau akhirnya memilih perempuan lain sekarang."
"Oh, kau sudah tahu hal itu, Ibu?" Terdengar sindiran sinis dari si anak sulung.
"Dia tidak perlu menceritakannya pun, selama ini aku bisa membacanya dari raut wajah, tindak-tanduk dan sorot matanya terhadapmu, Maxy Junior. Sesungguhnya aku juga tidak keberatan jika kau akhirnya tertarik pada Mary Juniar dan berencana akan menikah dengannya."
"Kau sudah mau mengakui aku ini tidak ada hubungan darah dengan Mary Juniar ataupun Martin Jeremy?" Maxy Junior terus menyerang tanpa ampun.
"Iya… Kau bukan anak ayahmu, juga bukan… bukan… bukan anakku…"
"Jadi siapa sebenarnya orang tua kandungku? Dari mana sebenarnya aku berasal?" tanya Maxy Junior kini menatap lekat-lekat ke ibu angkatnya.