Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat begitu Liana Fransisca Sudiyanti menginjakkan kaki ke rumah sakit tempat anak sulungnya dirawat. Begitu turun dari mobil mewah yang membawanya ke rumah sakit itu, dia langsung berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Ia akan bergerak ke lantai tiga di mana kamar rawat inap anak sulungnya terletak ketika dia berjalan melewati kamar bedah. Langkah-langkah Liana Fransisca Sudiyanti terhenti sejenak karena dia mengenali pasangan suami istri Jauhari sebagai salah satu pasutri yang juga duduk di jajaran pemegang saham terbesar di sekolah Newton Era.
"Thomas! Irawaty! Apa yang terjadi?" tanya Liana Fransisca dengan sedikit wajah tegang.
"Sean juga terkena lampu hias kristal itu, Liana. Bukan Maxy saja yang kena, Sean juga kena, Liana…" Tangisan Irawaty Jauhari langsung pecah berderai dan ia kembali menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang suami.
Liana Fransisca mendengar hal itu dengan napas tertahan. Ia sungguh tidak menyangka si Sean Jauhari itu, anak dari kedua pasutri ini juga tertimpa lampu hias kristal di gedung auditorium tadi siang. Mulai timbul setitik kekhawatiran.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Liana Fransisca dengan wajah yang benar-benar tegang.
"Sudah masuk ke dalam kamar bedah dari jam empatan tadi sore sampai sekarang." Thomas Hafiz Jauhari menahan gigi-giginya yang bergemeretak.
"Seandainya ada apa-apa terjadi pada anakku, siapa yang akan bertanggung jawab, Liana? Seandainya hal buruk menimpa anakku, aku takkan membiarkan siapa pun yang telah mencelakakannya itu lolos!" Tangisan Irawaty Jauhari semakin menjadi-jadi.
Mendengar tangisan calon mertuanya yang kembali membelungsing, Kimberly Phandana kembali menundukkan kepalanya dan membiarkan air matanya terus bergulir tiada henti.
"Aku takkan membiarkan siapa pun yang telah mencelakakan Sean sampai menjadi seperti ini lolos, Liana. Kau tahu seharusnya keadilan ditegakkan dan pelakunya itu dihukum seberat mungkin bukan?" Terdengar pertanyaan retorik yang sinis mengerikan dari Thomas Hafiz Jauhari.
Liana Fransisca menelan ludahnya ke tenggorokannya yang tercekat. Dalam perjalanan ke rumah sakit ini, Liana Fransisca sudah sempat mendengar kabar sepertinya Mary Juniar diduga sebagai tersangka utama yang telah menjatuhkan lampu hias kristal yang berat itu di gedung auditorium tadi siang.
"Aku dengar putrimu ada hubungannya dengan kejadian di gedung auditorium tadi siang, Liana. Bagaimana kau akan menangani hal itu?" Terdengar lagi pertanyaan sinis menusuk dari Thomas Hafiz Jauhari yang masih mendekap sang istri dan membelai-belai kepala hingga punggungnya.
"Tentu aku akan menyelidikinya sebaik mungkin, Thomas. Aku akan menyerahkan kepada pihak yang berwajib jika seandainya memang Mary Juniar terbukti bersalah atas insiden di gedung auditorium tadi siang." Liana Fransisca merasa terkesiap di tempatnya.
"Aku akan mengutus detektifku juga, turut membantu investigasi terhadap insiden di gedung auditorium tadi siang. Aku harap kau bisa bekerja sama dengannya dan takkan menghalang-halangi pekerjaannya ya," desis Thomas Hafiz Jauhari lagi sembari menyipitkan sepasang matanya.
"Tentu… Tentu, Thomas… Aku adalah orang yang objektif. Sekalipun putriku bersalah, aku takkan membelanya. Dia akan dihukum sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Jadi, kira-kira apa yang bisa kubantu? Apa yang bisa kulakukan untuk Sean?"
"Aku ingin dia sadar, dia sembuh, dia kembali bisa berdiri dan berbicara kepada kami seperti sedia kala, seperti sebelum insiden mengerikan itu terjadi padanya siang tadi. Apa kau bisa melakukan hal itu?" tantang Thomas Hafiz dengan kesinisan yang teramat intens.
Liana Fransisca tahu Thomas Hafiz Jauhari sedang menyudutkannya. Namun, ia sama sekali tidak bisa menyalahkan lelaki setengah baya itu. Liana Fransisca hanya bisa menatap lekat-lekat ke mata lelaki akhir empat puluhan itu dan setengah tersenyum,
"Sepertinya kau terlalu meremehkan aku, Thomas. Namun, aku tidak bisa menyalahkanmu. Seandainya aku berada di posisimu sekarang, aku juga akan melakukan hal yang sama."
Liana Fransisca membuang muka ke arah lain dan meneruskan langkah-langkahnya ke lantai atas, ke kamar rawat inap anak sulungnya. Saat dia sudah berjalan ke depan membelakangi pasutri Jauhari itu, sebersit senyuman ganjil terbit mendekorasi wajahnya yang cantik jelita.
"Aku berharap dia takkan menghalang-halangi proses hukum andaikan putrinya memang terbukti bersalah, Thomas. Jika sempat saja dia menghalang-halangi proses hukum, aku takkan berdiam diri membiarkannya begitu saja," desis Nyonya Irawaty Jauhari menahan gigi-giginya yang bergemeretak.
"Tentu saja aku juga takkan berdiam diri, Sayang…" bisik sang suami terus mengelus-elus kepala hingga punggung istrinya. "Walau Beauty & Me Enterprise memiliki koneksi dan kekuasaan yang besar, jelas-jelas kali ini putri mereka telah melakukan suatu tindak pelanggaran pidana. Tidak semudah itu mereka akan lolos dari jeratan hukum. Mereka bisa saja menyuap para penegak hukum itu. Akan tetapi, kupastikan mereka takkan bisa lolos dari tuntutan dan penilaian masyarakat."
Nyonya Irawaty hanya mangut-mangut mendengarkan penuturan sang suami. Dia lebih memusatkan perhatiannya ke kecemasan dan ketidaktenangannya karena anaknya masih berada dalam kamar bedah hingga detik ini.
Pucuk dicita ulam tiba. Lampu merah di depan ruangan operasi dipadamkan. Pintu terkuak. Keluarlah dokter dan suster-suster yang bertugas di dalam kamar bedah dengan peluh yang membutir besar-besar di kening mereka. Seketika pasutri Jauhari dan Kimberly Phandana menghampiri sang dokter dengan harap-harap cemas.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanya Nyonya Irawaty Jauhari dengan wajah tegang.
"Kami sudah membersihkan seluruh darah yang mengental di otak dan saraf-saraf tulang belakangnya. Untuk sementara kami tempatkan Tuan Sean Jauhari dulu di ruangan ICU. Tunggu sampai ia sadar keesokan paginya, baru kita pantau lagi perkembangannya. Jangan khawatir, Tuan & Nyonya Jauhari. Tuan Sean Jauhari akan baik-baik saja. Dia masih muda dan akan sembuh dengan cepat." Si dokter berusaha menampilkan senyumannya yang paling menenangkan.
"Terima kasih, Dok… Terima kasih… Terima kasih banyak…" kata Nyonya Irawaty Jauhari sedikit lega.
"Terima kasih, Dok… Terima kasih…" kata Thomas Hafiz Jauhari juga bisa sedikit bernapas lega sekarang.
Dokter bedah itu berlalu. Suster-suster yang bertugas malam itu langsung memindahkan ranjang Sean Jauhari ke ruangan ICU yang terletak persis di sebelah kamar bedah.
"Oke… Kita tunggu sampai besok pagi saja. Mudah-mudahan keadaan Sean akan semakin membaik besok pagi." Nyonya Irawaty Jauhari sudah sedikit tersenyum simpul sekarang. Berkali-kali dia mengurut dadanya dan bernapas lega.
"Kau tidak pulang, Kimberly?" tanya Pak Thomas Hafiz lemah lembut kepada calon menantunya.
Kimberly Phandana menggeleng lembut. "Aku sudah bilang pada orang-orang rumah aku akan menginap di rumah sakit menjaga Sean. Aku sudah minta pada salah satu pembantuku membawakan baju ganti. Jangan khawatir, Paman, Bibi…"
Kedua pasutri Jauhari mengangguk haru. Lega rasanya calon menantu mereka ini ingin menginap di rumah sakit menjaga anak mereka.
"Oke… Pastikan kau tidur juga ya, Kimberly… Bibi akan meminta pada pihak rumah sakit untuk menyiapkan satu ranjang kecil untukmu juga di ruang tunggu ICU," tukas Nyonya Irawaty lemah lembut seraya meletakkan satu tangannya ke bahu calon menantunya.