Wilona Jeanette terus menatap lawan bicaranya dengan sinar mata nanar.
"Jika aku tidak bisa mendapatkan Bang Maxy Junior, perempuan lain juga tidak boleh mendapatkannya! Oleh sebab itu, Natsumi Kyoko Suzuki itu harus mati! Dia harus mati siang ini!"
Tampak sekujur tubuh Mary Juniar bergelugut hebat menahan kemuncak dendam dan kebenciannya.
"Kau akan membunuh Natsumi Kyoko siang ini?" desis Wilona Jeanette masih ragu. "Kau yakin takkan ketahuan? Dan… Dan… Dan si Kimberly Phandana itu juga akan mati menyusul si Natsumi Kyoko?"
"Aku sudah menyewa jasa seorang pembunuh profesional. Dengan berpuluh-puluh tahun pengalamannya, kerjaannya sangat rapi dan takkan meninggalkan jejak apa pun. Kalau kau juga ingin menyingkirkan Kimberly Phandana itu, kau bisa bergabung denganku. Tapi, kalau kau takut, tidak berani bergabung, tidak apa-apa… Aku takkan memaksamu…" Mary Juniar menampilkan sebersit senyuman sinis yang mengerikan.
Mary Juniar kembali melahap makanannya dengan santai. Wilona Jeanette perlu beberapa saat untuk mereka-reka apakah ia akan menerima tawaran Mary Juniar atau tidak. Akhirnya, setelah melalui beberapa pertimbangan dan pemikiran, ia juga menyerah terhadap dendam dan kebenciannya.
"Pikirkan baik-baik, Wilona Jeanette. Sekali melangkah ke depan, kau takkan bisa mundur lagi. Jika kau mau mundur di saat sekarang, itu masih sempat," bisik Mary Juniar sambil menyeringai jahat.
"Aku bersedia bergabung, Mary Juniar… Aku juga ingin menyingkirkan Kimberly Phandana itu. Jika aku tidak bisa mendapatkan Sean, perempuan mana pun juga tidak boleh mendapatkannya."
Mary Juniar tersenyum penuh kepuasan dan kemenangan.
"Apa yang harus aku lakukan kalau begitu?" tanya Wilona Jeanette sembari menyantap makan siangnya dengan santai.
"Simple saja… Akan kuberitahu nanti. Sehabis makan ini, aku akan mencuri jadwal acaranya dulu sehingga aku bisa memastikan kapan waktu yang tepat untuk menyingkirkan dua orang yang sangat kita benci itu."
Mary Juniar tersenyum sinis mengerikan lagi. Ujung bibir Wilona Jeanette juga terangkat, memancarkan senyuman penuh kemenangan dan kepuasan.
Detik demi detik terus berlalu… semakin dekat ke waktu ketika Mary Juniar akan mengeksekusi Natsumi Kyoko dan Kimberly Phandana.
***
"Kenapa kau tidak melaporkan kepadaku soal kejadian ini, Maxy Junior?" tanya si kepala sekolah begitu ia melihat isi video yang dikirimkan oleh Maxy Junior ke ponselnya. Dia sedikit merasa bersalah karena aksi penindasan kerap kali masih sering terjadi di kalangan murid-murid SMA Newton Era.
"Jadi apa yang kulakukan sekarang kalau bukan melaporkannya pada Bapak?" Maxy Junior balik bertanya sembari mengernyitkan dahinya.
Si kepala sekolah yang lebih pendek harus sedikit menengadahkan kepalanya tatkala ia sedang berbicara dengan si anak salah satu bos pemegang saham terbesar di sekolah ini. Dia sebenarnya tidak menyukai berhadapan dengan si anak bos ini. Namun, karena dia di sana hanya makan gaji, jadi sering kali dia tidak memiliki pilihan lain.
"Oh, maaf… maaf… Lain kali dalam rapat guru aku akan menyuruh mereka lebih peka lagi terhadap aksi penindasan yang sering terjadi di kalangan murid-murid kita." Si kepala sekolah mendadak seperti harimau yang kehilangan gigi taringnya ketika berhadapan dengan si anak bos ini.
"Lalu, apakah kalian juga tahu kejadian penindasan oleh Wilona Jeanette Liangdy terhadap Kimberly Phandana beberapa waktu lalu?" Maxy Junior masih menatap si kepala sekolah dengan raut wajah datar tanpa ekspresi, dengan dahi yang sedikit berkerut.
"Hah? Wilona Jeanette Liangdy juga pernah melakukan aksi penindasan terhadap Kimberly Phandana, mantan sekretaris OSIS itu?" Si kepala sekolah terkesiap di tempat. Dia sama sekali tidak tahu-menahu pernah ada kejadian seperti itu di SMA Newton Era ini beberapa waktu lalu.
Maxy Junior mendengus ringan. Dari reaksi si kepala sekolah yang balik bertanya kepadanya saja, dia sudah tahu si kepala sekolah sama sekali tidak tahu soal pertanyaannya itu.
"Lain kali aku harap Bapak dan Bapak Ibu Guru sekalian lebih peka terhadap kejadian penindasan seperti ini! Aku mohon! Jangan nanti sudah timbul korban jiwa, kalian baru sibuk sana sini mengambil tindakan ini itu yang semuanya sudah terlambat!"
Maxy Junior setengah menghardik si kepala sekolah. Jika ditanya apakah ada murid yang berani menegur sang kepala sekolah, dialah murid pertama yang berani melakukannya. Namun, Maxy Junior juga tidak berani menegur sang kepala sekolah terang-terangan di depan banyak orang. Dia mengajak si kepala sekolah ke taman bunga di samping auditorium sebelum mengirimkannya video penindasan yang dilakukan oleh Mary Juniar terhadap Natsumi Kyoko.
Maxy Junior berjalan masuk kembali ke bangunan dalam sekolah. Tampak Sean Jauhari kembali menghampirinya.
"Sudah kaulaporkan kepada si kepala sekolah itu?" bisik Sean Jauhari. Maxy Junior mengangguk miris.
"Iya… Seperti biasa… Dia tidak tahu apa-apa… Semua dia tidak tahu… Tidak ada yang dia tahu… Apa perlu kita laporkan kepada para orang tua kita, biarkan mereka menggelar rapat dan mengganti kepala sekolah ini saja?"
"Lihat saja bagaimana tindakannya ke depan, Maxy Junior," bisik Sean Jauhari, berusaha menenangkan sang sahabat yang terlihat mulai gusar.
"Oke deh… Aku harap ke depannya aksi penindasan seperti ini tidak terjadi lagi."
"Lalu, video di mana kau mengangkat Mary Juniar dan hendak menerjunkannya ke bawah itu, sebelum… sebelum… Natsumi Kyoko menciummu itu…"
Belum sempat Sean Jauhari menyelesaikan kalimatnya, Maxy Junior sudah menginterupsinya.
"Sudah aku hapus dari database kamera pengawas itu… Jangan khawatir, Sean…" kata Maxy Junior sedikit menunduk malu dan mengelus kepala belakangnya.
Sean Jauhari juga tergelak ringan. Pas pula Maxy Junior sedikit menengadahkan kepalanya ke langit-langit auditorium. Pandangan matanya tertuju pada sebuah lampu hias kristal besar yang tergantung di langit-langit dan memenuhi 80% dari langit-langit. Dia tampak mengernyitkan dahinya sembari terus memandangi lampu hias kristal itu.
"Ada apa? Apa yang sedang kaulihat?" tanya Sean Jauhari penasaran dengan dahi Maxy Junior yang tengah berkerut.
"Entah karena aku capek atau karena kepalaku sedikit pusing, kok rasa-rasanya lampu hias kristal itu bergoyang-goyang ya?" Maxy Junior terus memandangi lampu hias kristal yang ada di atas kepala mereka.
"Tidak tuh… Mungkin kau kecapekan karena acara hari ini, Maxy Junior… Mungkin saja kau juga terlalu gugup karena sebentar lagi kau akan bisa berdansa dengan Natsumimu dalam kostum pangeran dan Cinderella." Sean Jauhari tampak mengulum senyumannya.
"Sama dong denganmu… Kau tidak gugup sebentar lagi kau akan bisa berdansa dengan Kimberlymu?" Maxy Junior tersenyum skeptis.
"Gugup – terus terang saja… Mudah-mudahan saja aku tidak lupa dengan tariannya. Aku dan Kimberly sudah latihan berulang-ulang soalnya."
"Aku dan Natsumiku baru latihan tiga kali… Mudah-mudahan saja tidak salah. Tapi Natsumiku berjanji akan membetulkan langkah-langkahku mana tahu aku silap di tengah-tengah tarian kami."
Sean Jauhari hanya terkekeh kecil mendengarkan penuturan sang sahabat.