Pahlawan dan Raja Iblis adalah dua sosok yang sangat terkenal untuk orang dimana pun. Cerita heroik yang memotivasi banyak orang itu tak pernah hilang. Kini sudah lebih dari lima ratus tahun sejak perang terakhir antara Pahlawan dan Raja Iblis. Kedua sosok itu tak pernah terlihat kembali dan ras iblis pun ikut menghilang.
Kini semua orang bebas dari ancaman para iblis dan hidup lebih damai. Tapi apakah dunia benar-benar seperti itu saat masih banyak hal buruk terjadi. Banyak tindak kejahatan yang terus dilakukan oleh sesama hanya karena ingin merasa lebih tinggi. Hal itu benar-benar membuat para dewa marah dan meninggalkan dunia itu.
Akan tetapi ada empat dewa yang tetap tinggal karena merasa masih ada orang-orang baik di dunia yang rusak itu. Mereka adalah Keempat dewa alam yang melambang air, api, tanah, dan udara. Keempatnya saling berpisah untuk lebih mudah mengawasi dunia. Tetapi Dewi Tanah menghilang dan menyisahkan sebuah buku.
Didalamnya tertulis jika Bibit Kehancuran tak sepenuhnya dimusnahkan dan akan terus muncul walau dibunuh berapa kali pun. Dunia ini telah rusak, tertulis dalam buku itu. Ketiganya pun terus mengawasi dunia dengan lebih teliti untuk menemukan Bibit Kehancuran. Disaat dunia mulai rusak mereka pun menemukan Bibit Kehancuran itu.
Bibit itu bukanlah iblis maupun monster, melainkan hati dari para mahkluk hidup. Apapun ras dia berasal jika hatinya kotor maka akan menjadi Bibit Kehancuran. Ketiga dewa percaya ini adalah kutukan dari Raja Iblis terdahulu dan kelalaian para dewa. Mereka terlalu meremehkan kehidupan penghuni bumi sehingga menumbuhkan kehancuran.
Dan alasan terbesar dari banyaknya dewa meninggalkan dunia tersebut adalah ketidaksanggupan mereka memperbaiki itu. Bahkan untuk bertanggung jawab mereka tidak terima. Ketiga Dewa tersebut kecewa akan keputusan para sahabat mereka yang kabur itu. Dengan mereka menyadari kesalahan para dewa muncullah sosok yang menakutkan.
Sosok itu adalah entitas dimana dia sanggup membunuh para dewa lain dan kaki tangan dari Dewa Tak Berwujud. Memiliki sayap yang terang dan membentang luas, wajahnya seputih bintang dan memiliki mata merah membara.
"Wahai para dewa dari Xanadia, Akulah sang Pedang Dewa Tak Berwujud," ujarnya dengan suara menggelegar.
"Apakah kalian sudah mengetahui kesalahan kalian sehingga dunia ini menjadi rusak?" tanya entitas itu.
"Kami sudah mengetahuinya dan sebagai seorang dewa ini adalah kesalahan yang fatal." jawab Dewa Api.
"Baguslah kalian paham dan tidak mengikuti para dewa lain, jika tidak maka aku akan menebas kalian dengan pedangku ini," katanya sambil mengangkat puluhan pusaka dewa.
Melihat itu ketiganya tampak ketakutan dengan sosok dihadapannya. Sosok dengan kekuatan besar bahkan melebihi Dewa penguasa dunia. Dirinya hanya berlutut pada Penguasa Mutlak yang tidak lain yaitu Dewa Tak Berwujud.
"Tapi ini juga bukan salah kalian karena para mahkluk Bumi juga menjadi pelaku dalam masalah ini." tambahnya.
"Lalu apa yang harus kami lakukan agar dunia ini kembali seimbang?" tanya Dewa Api.
"Kalian hanya perlu lebih teliti dalam memperhatikan dunia dan tidak bertindak gegabah," jawab entitas tersebut dengan nada dingin.
"Terlebih entitas misterius itu akan lahir di dunia ini."
"Entitas Asing?"
Sosok itu pun menjelaskan entitas asing tersebut. Diibaratkan jika entitas sepertinya adalah sosok yang patuh dan hanya bergerak jika diperintah, maka entitas asing adalah sosok yang bebas dan memiliki pandangan berbeda dari mahkluk lain. Terkadang tampak buruk namun sebenarnya baik atau sebaliknya. Akan tetapi semua itu mereka lakukan berdasarkan alasan kuat dan tak tampak salah.
Sosok yang ada diberbagai dunia dan bertindak sesuka hati. Sosok yang setara dengan dirinya dan muncul tanpa diduga.
"Jika sudah mengerti maka isilah kekosongan dari dewa lain dan berjuang untuk memperbaikinya."
"Terlebih Bibit Kehancuran bisa saja tumbuh dan akan menentang langsung pada Dewa Tak Berwujud."
Setelah mengatakan itu sosok tersebut hilang dan ketiga dewa memulai pemulihan dunia.
"Seperti itulah awal mula dari pulihnya dunia berdasarkan cerita masa lalu." kata kakek tua.
"Lalu kenapa masih ada kejahatan di dunia ini?" tanya anak laki-laki.
"Baik dan buruk akan selalu ada dihati mahkluk hidup, mereka tidak akan terpisahkan sampai kapanpun." jawab kakek tua.
"Kalau begitu dunia akan selalu menjadi buruk," balas anak laki-laki itu dengan nada mengeluh.
Kakek itu pun tertawa terbahak-bahak mendengar perkataannya. Setelah puas tertawa dia menjelaskan jika di dunia tidak ada yang mutlak bagus bagi seseorang. Hidup terlalu baik tidak baik karena membuat seseorang bisa dengan mudah dimanfaatkan, begitu pula dengan terlalu buruk maka akan dikucilkan dan menjadi jahat. Layaknya Neraca yang seimbang, baik dan buruk harus seimbang.
"Kalau begitu jika aku membunuh seseorang apakah itu salah?" tanya lagi sang anak laki-laki.
"Tergantung alasanmu, karena niat dihati dan pikiranmu yang menentukan itu," jawab kakek tua dengan nada lembut.
"Ayo kita berpindah ke ruang belajar sekarang." ajak kakek tua.
Keduanya pun berjalan menaiki tangga melingkar yang sangat panjang dan menjulang tinggi. Sambil berjalan-jalan anak laki-laki itu melontarkan berbagai pertanyaan dan segera dijawab oleh kakek tua itu. Berbagai jawaban didengar oleh anak itu namun beberapa malah terdengar seperti kiasan yang harus dipecahkan kembali.
"Master, kalau begitu adakah dunia yang damai dan tetram?"
"Tentu, tempat itu ada dan dihiasi oleh perdamaian yang sangat indah."
"Kalau begitu, apakah Master pernah berpikir untuk tinggal disana?"
Keduanya pun menghentikan langkah mereka. Kakek tua itu berbalik dan membungkukkan badannya sambil mengelus kepala anak laki-laki tersebut.
"Tentu saja pernah, namun jika semua orang tinggal disana maka keseimbangan dunia lain akan roboh."
Setelah itu mereka pun kembali berjalan menaiki tangga dan tibalah di ruang belajar yang dipenuhi buku. Anak laki-laki itu mengambil satu buku dan membacanya sambil diawasi oleh kakek tua. Waktu terus berlalu dan buku-buku yang sudah dibaca mulai menumpuk.
"Cukup, kita beristirahat sebentar sebelum membaca buku lain." ujar kakek tua tadi.
"Sebagai mastermu, aku ingin bertanya satu hal."
"Apa itu, Master?"
"Jika sudah waktunya aku tiada dan dirimu sendiri, apa yang akan kau lakukan setelahnya?"
Kakek tua itu bertanya demikian karena dirinya mulai menyadari bahwa waktunya tinggal sedikit. Dia ingin mengetahui keinginan muridnya sebelum tiada. Dengan cepat anak laki-laki itu menjawab dengan nada yang tegas.
"Setidaknya aku ini berusaha membuat tempat yang dikatakan Master, dimana semuanya seimbang layaknya neraca."
Mendengar hal itu membuatnya sangat senang dan tenang. Tidak lama tubuhnya mulai bercahaya dan memudar. Itu menandakan jika dia akan segera menghilang.
"Nak, capailah apa yang menjadi mimpi dan jangan merasa malu jika ada yang mengejeknya," ujar sang kakek tua sambil menatap hangat ke arah anak laki-laki itu.
"Akan lebih baik jika kau punya mimpi atau tujuan tinggi yang tampak seperti dongeng daripada mereka yang bermimpi kecil namun tidak berusaha."
Setelah menyelesaikan perkataannya, kakek tua itu pun menghilang sepenuhnya meninggalkan muridnya sendirian. Namun sang murid tak sedih dan menanamkan perkataan dari Masternya di lubuk hati terdalam. Kini dia akan berjuang untuk mewujudkan keinginannya dan akan berjuang sampai mencapai itu. Sambil memegang erat cincin-cincin sang Master yang jatuh tertinggal, dia kembali membaca buku yang ada.