Female Lead Called Me The Villain but Is It True?

WisteriaRain
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 13.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Chapter 1

Matahari perlahan naik menyambut hari baru, burung berkicau dengan riangnya diluar.

Andaikan aku bisa seperti matahari dan burung itu, mungkin aku bisa lebih positif menghadapi dunia ini. Sayangnya aku tidak seperti matahari dan burung yang berkicau itu, aku tidak akan bisa seperti mereka. Tidak di saat seperti ini.

Aku berjalan menuju cermin yang terletak tak jauh dari tempat tidurku, cermin tua yang berdebu bertanda pemiliknya tidak pernah memakai cermin ini. Setiap kali aku melihat wajah yang terpantul di kaca itu, aku merasa tidak nyaman.

Telinga rubah, rambut ikal berwarna merah dengan poni yang hampir menutup mata kiri ,hidung yang mancung, bibir ranum dan mata rubah seperti karakter anime yang dimana mata seperti ini sekali terbuka akan menandakan hal buruk akan terjadi. Wajah tampan ini membuatku tidak nyaman, maksudku aku tahu setiap lelaki ingin memiliki wajah tampan seperti ini tapi bagiku jika wajah ini bukan punyaku rasanya aku seperti mencuri milik orang lain.

Ini bukan milikku, jika bisa kukembalikan maka pasti akan kukembalikan. Rasanya masih begitu aneh ketika kau membuka matamu dan menyadari bahwa kau berada di tubuh yang berbeda, baik secara gender maupun secara fisik.

Helaan nafas keluar dari mulutku, ini sudah hari ketiga dan aku belum terbiasa melihat wajah yang terpantul di cermin ini. Mentalku masih belum siap menghadapi apa yang akan terjadi hari ini, meski begitu aku harus tetap bersiap apapun yang terjadi.

"Setsu? Sudah selesai merias dirinya? Jarang sekali kau bercermin"

Suara Sanjit menyadari lamunanku, dia sudah menunggu di luar kamarku. Setsu, itu nama yang Sanjit selalu ucapkan ketika melihatku. Padahal itu bukan namaku tapi tubuhku selalu reflek melihat kepadanya ketika ia menyebut nama itu, jiwa bolehlah berbeda tapi tubuh tidak akan melupakan namanya.

Tidak ada waktu, aku segera mengambil coat favoritku dan berjalan menghampiri Sanjit. Tidak ada yang suka sarapan pagi yang dingin, apalagi yang membuat sarapan itu adalah Kyong.

Kami turun ke lantai satu, mendapati 2 anak kecil bertelinga rubah tengah menata alat makan dengan terburu – buru. Keduanya terlihat lucu karena langkah kaki mereka yang terlihat seperti melompat kecil dari satu tempat ke tempat lain, suara yang mereka keluarkan juga membuatku gemas.

"Pagi, Sal, Kyong!" Sapa Sanjit sambil berjalan kearah dua anak rubah itu diikuti olehku, keduanya langsung berhenti kemudian berdiri tegak seolah melihat atasan mereka sudah menunggu "Se-selamat pagi , Tuan Sanjit dan Guru!" Balas keduanya.

Aku hanya mengangguk dan mengelus kepala keduanya sambil berjalan, bau harum sup dan hangatnya roti membuat mataku lebih terbuka. Tidak ada yang lebih menyegarkan dari bau sarapan pagi yang masih hangat, aku dan Sanjit duduk di kursi diikuti Sal dan Kyong,

Bunyi sendok dan roti yang disobek serta obrolan Sanjit terdengar di seluruh ruangan, Sanjit tidak pernah diam saat makan dan selalu berbicara tentang berbagai hal. Untuknya etika dalam makan tidaklah penting, selama kau nyaman itu tidak masalah.

"Jadi hari ini, apa yang akan dilakukan oleh Guru dan Tuan Sanjit?"

Sanjit mengunyah roti kemudian menelannya dan baru menjawab pertanyaan Sal "Hari ini aku mau menebang pohon lalu menjual setengahnya ke kota, musim dingin begini pasti banyak yang butuh" Jawab Sanjit, dia memang tidak bisa diam seharian sekalipun sudah di rumah tetap saja mencari pekerjaan yang menguras energi.

Berbeda denganku yang mungkin akan duduk di sofa sembari membaca buku yang sekiranya menarik, apapun itu yang dapat menghilangkan kebosananku. Ruangan eksperimen langsung dikunci oleh Sanjit sejak insiden ledakan yang terjadi 3 hari lalu, padahal ruangan itu bisa menghilangkan kebosananku lebih jauh.

Tanpa sadar jiwaku mulai menyesuaikan diri dengan tubuh ini, aliran mana yang diberikan roh itu semakin deras sampai aku harus mengeluarkannya atau tubuhku akan kesakitan karena menerima aliran mana yang banyak itu. Aliran mana itu memiliki memori masa lalu pemilik tubuh ini, membuatku perlahan memiliki sikap dan pola pikir yang sama dengannya. Tanpa sadar aku dibentuk oleh aliran itu untuk menjadi orang yang sama dengan pemilik tubuh ini.

Entah kenapa terasa ironis tapi bila aku tidak menyesuaikan diri maka aku akan tersiksa selamanya di dunia ini, tidak ada smartphone atau tv yang akan menghiburku di musim dingin begini. Satu – satunya yang bisa menghiburku adalah buku dan kedua familiarku, bergelung bersama mereka membuat tubuhku lebih hangat.

Sarapan pagi kami kini sudah habis, aku dan Sal langsung membawa piring dan panci ke wastafel sementara Sanjit pergi keluar untuk melakukan kegiatan yang ia ucapkan barusan. Kyong mengambil sekop dan pergi keluar juga untuk menyingkirkan salju yang pasti akan menghalangi jalan Sanjit nanti.

Setelah mencuci piring, aku duduk di sofa yang berada tak jauh dari api unggun yang dinyalakan oleh Sanjit sebelumnya. Membaca buku sembari meminum coklat hangat rasanya sungguh nikmat, jika saja Sal tidak membatasi gula yang kumakan mungkin aku sudah minum 3 cangkir sekaligus.

Tidak kusadari Sal menghampiriku dari belakang.

"Guru, perlukah saya menyisir bulu Anda?"

"Aku merasa perlu tapi bukankah itu akan merepotkanmu, Sal?"

Anak kecil berambut pirang itu menggeleng kuat, di tangannya ada sisir yang sudah siap menyisir buluku "Sudah tugas saya sebagai familiar untuk menjaga keindahan Tuannya" Aku terkekeh kecil mendengarnya. Fisiknya bolehlah anak kecil tapi dalamnya adalah orang dewasa yang umurnya sudah lebih dari 50 tahun.

"Baiklah, jika kau tidak keberatan menyisir 6 ekor"

Wajah Sal langsung bersinar seperti dibelikan mainan baru oleh orang tuanya, aku memunculkan ekor rubahku yang berjumlah 5 agar Sal bisa menyisirnya sekaligus. Biasanya aku hanya menunjukkan satu ekor karena lebih mudah berkegiatan hanya dengan satu ekor, kalau aku mengeluarkan 6 ekor sekaligus maka akan ada banyak barang rusak dirumah ini karena tergeser ekor besar ini.

Sal menyisir lembut bulu ekorku dan itu membuatku nyaman, dengan api unggun , buku dan selimut kecil menutupi pahaku membuat pagi ini terasa sangat nyaman dan hangat. Di saat Sal menyisir bulu ekorku, terkadang aku jahil menepuk pipinya pelan dengan ekorku dan melihat Sal yang kerepotan karena ekorku menjadi hiburan tersendiri untukku.

"Sal curang! Aku ingin menyisir bulu Guru juga!" Kyong yang sudah menyelesaikan tugas paginya langsung berseru pada Sal, kecemburuan terlihat di wajahnya yang lucu itu.

"Hehe! Siapa suruh kalah suit denganku!"

Semburat merah terlihat di wajah Kyong, sepertinya dia kalah suit lagi dengan Sal. Itu menjelaskan kenapa ekspresi Kyong terlihat kesal saat pergi keluar barusan, kalah suit lagi.

Melihat ekspresi Kyong yang makin kesal membuatku gemas jadi aku menutup buku yang baru setengah kubaca dan menggerakkan tanganku, mengisyaratkan Kyong untuk kemari dan anak itu datang kepadaku dengan wajah penasaran.

"Duduklah, aku akan menyisir ekormu" Ekpresi Kyong dan Sal tidak bisa kulupakan,keadaan berbalik dan kini Sal yang cemburu pada Kyong. Keduanya tidak bisa membuatku berhenti untuk tersenyum "Setelah Kyong , aku akan menyisir ekormu juga Sal jadi bersabarlah"

"Ba-Baik"

Duh, jangan menggembungkan pipimu begitu. Aku jadi makin gemas melihatnya, kenapa familiarku bisa selucu ini?!

Jadilah sampai waktu menunjukkan pukul 12, aku menyisir bulu kedua familiarku .