Keesokkan harinya, Sinar matahari menelisik masuk melalui sela-sela jendela kamar tidur. Rosie masih tertidur lemas di atas ranjang rumah sakit. Ruang rawat inap itu terlihat begitu legang, Ameera memilih untuk bemain game online pada ponselnya.
"Jam berapa ini, Mera?" tanya Rosie.
"Jam 2 siang, Bu," jawab Ameera.
"Kau sudah makan?"
"Belum, Bu. Baru saja pulang sekolah," sahut Ameera namun pandangan matanya tetap fokus pada layar ponsel.
"Hah ... Kakakmu sudah makan belum ya?" Rosie menerawang ke arah jendela kamar, melihat gorden tile yang melambai seakan angin bisa memberitahunya tentang kondisi Jasmine.
"Ibu itu aneh, kalau memang khawatir dengan keadaan Kak Jasmine, kenapa kemarin pakai acara marah segala sih? Mana bilang enggak mau ketemu juga. Bahkan Kak Jasmine belum sempat bilang, apa alasannya mereka berbohong. Ibu sendiri yang tak memberi Kakak kesempatan." Ameera mendengus kesal, ia bangkit dari sofa dan mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas.
"Habis Ibu kaget sekali. Rasanya sakit saat tahu Kakakmu berbohong, Mera. Bagaimana pun Ibu benar-benar mendambakan seorang cucu darinya." Rosie membuang pandangan ke langit-langit ruangan.
"Ya sudah, baikkan saja sama Kak Jasmine, jangan sampai Kak Leo menjadi resah karena hal ini, Bu." Ameera menegur sang ibu dengan lembut. Leonardo bukan pria sembarangan, dan kelurga mereka mau tidak mau memang menumpang hidup dari pria itu. Sungkan rasanya bila marah pada orang yang memberi mereka kehidupan bukan?!
Tok tok tok...
Belum sempat Rosie mempertimbangkan ucapan Ameera, pintu diketuk oleh seseorang. Ameera beradu pandang sesaat dengan sang ibu sebelum bangkit. Keduanya memikirkan hal yang sama, siapa yang bertandang? Siapa yang menjenguk? Rosie dan Ameera tak punya kerabat di kota. Sedangkan Leonardo dan Jasmine pasti sedang bekerja saat ini.
"Tu ... Tuan Wijaya?" Mata Ameera membulat saat melihat kedatangan ayah dari kakak iparnya itu. Pemilik grup Wijaya yang terhormat. Alexandro.
"Halo, Mera. Boleh aku masuk?" tanyanya dari kursi roda, Mike membantunya mendorong kursi sementara Eric terlihat mengekor dengan patuh sambil membawa keranjang buah.
"Tentu saja, Tuan. Sialahkan masuk." Ameera gelagapan.
"Jangan panggil Tuan, Nak. Panggil saja Paman. Kita kelurga sekarang." Alexandro tersenyum, Ameera masih tetap kikuk, apalagi kini ia harus memanggil pria tua itu dengan sebutan paman.
"Kau tunggu di sini Eric!" Mike memberi perintah, bocah itu mengangguk dan berdiri di dekat pintu masuk. Ameera meliriknya, gadis itu melambai sesaat menyapa Eric lalu kembali masuk.
"Tu ... Tuan Wijaya?" Rosie tergagap, ia berusaha sekuat tenaga untuk bangun.
"Tidak perlu bangun, beristirahatlah. Aku kemari karena mendengar Ibu dari menantuku sakit. Sebagai besan sudah seharusnya aku menjengukmu. Kau tak perlu sungkan, Rosie." Suara Alexandro terdengar penuh
Mike menaruh keranjang buah yang dari tadi berada di tangan Eric ke atas meja. Lalu kembali berdiri tegap di ujung ruang itu, mengawasai Alexandro. Ameera sedikit ngeri dengan tampang pria itu. Selain tak pernah tersenyum, ada bekas luka jahitan di sepanjang wajah sebelah kanan.
"Ibu, Ameera keluar dulu ya." Ameera pamit, undur diri dari pembicaraan orang dewasa.
"Ya, Nak. Makan siang dulu sana." Rosie memberi izin.
"Mari, Paman Alex." Pamit Ameera juga kepada Alexandro. Pria tua bersajaha itu mengangguk sambil tersenyum hangat.
"Paman Mike." Ameera beralih pada pria di dekat pintu keluar. Tak ada respon, mengangguk kecil pun tidak.
Ameera meninggalkan ruang rawat inap, beralih ke koridor rumah sakit. Eric masih berdiri di samping pintu, tak bergerak barang semili pun. Ameera merangsek ke arah Eric.
"Hai, kita bertemu lagi." Ameera berdiri di samping Eric, bocah pria itu tersenyum meski pun terlihat kaku.
"Kau sudah makan? Aku mau makan siang, mau ikut?" tanya Ameera, Eric bergeleng.
"Kau pendiam sekali sekarang? Berbeda saat di atas kapal," gerutu Ameera kesal karena Eric mengacuhkannya.
"Ada Ayah," ucap Eric sebagai jawaban.
"Ow, begitu. Kau takut pada Ayahmu? Itu hal yang aneh, aku saja sangat manja kepada Ayahku, sayangnya beliau sudah tak ada lagi di dunia ini," tukas Ameera. Lagi-lagi, Eric hanya mengangguk.
"Jangan diam saja, katakan sesuatu. Paman Mike berjaga di dalam, dia tak akan tahu kita sedang mengobrol." Ameera menyenggol lengan Eric dengan sikut tangan.
"Kakak pakai baju apa?" tanya Eric menunjuk ke seragam Ameera, ia merasa aneh. Saat siang banyak sekali anak-anak memakai seragam putih abu-abu, walupun desain abu-abu milik Ameera sedikit berbeda karena rok lipat yang cantik.
"Ini namanya seragam sekolah."
"Sekolah??"
"Kau tidak pernah sekolah?"
"Apa itu sekolah?" tanya Eric. Alis Ameera mengeryit, anak ini tak tahu arti kata 'sekolah' lantas selama ini dari mana ia belajar??
"Tempat menimba ilmu, kau tidak sekolah?"
"Tidak, Ayah yang mengajariku semuanya. Mulai dari membaca, menulis, berhitung, membaca kompas, membaca arah mata angin dengan bintang, membaca gerakan angin, membidik target, titik vital dan cara mengayunkan pisau." Eric menjawabnya dengan polos seperti anak kecil seusianya.
Baru umur 11 tahun namun hidupnya sudah seberat itu? Sebenarnya dia dididik jadi apa sih? Pembunuh?? pikir Ameera dalam hatinya.
"Sekolah ... eum ... apa tempat itu menyenangkan?" tanya Eric penasaran.
"Iya menyenangkan, banyak teman, canda tawa, ada sedihnya juga, ada banyak ilmu yang bisa kita serap. Yah, ada yang bilang masa-masa sekolah itu masa yang paling indah," tutur Ameera. Mata Eric berbinar seakan terkesima dengan cerita tentang sekolahan dari bibir Ameera.
"Kapan-kapan kau harus main ke sekolahanku. Siapa tahu kau akan masuk ke sana lewat yayasan Wijaya." Ameera mengusik kepala Eric, wajah tampannya terlihat menggemaskan saat mendengar cerita Ameera.
"Baik, Kak. Saat Ayah mengizinkan aku akan main ke sana." Eric tersenyum.
"Good, Boy!!" Ameera mengelus lagi pucuk kepala Eric, membuat wajah bocah itu berseri-seri bahagia. Ia menyukai belaian Ameera yang sama hangatnya dengan belaian sang ibu dulu. Jujur saja, hati kecil Eric merindukannya.
"Aku pergi dulu. Perutku lapar. Aku akan segera kembali dan membelikanmu sekotak susu pisang. Minumlah selagi Paman Mike tidak ada." Ameera tersenyum dan meninggalkan Eric. Berlari sekuat tenaga untuk mengejar waktu.
Eric kecil terpaku, baru kali ini ada orang yang memberinya perhatian. Dan perhatian itu berasal dari gadis cantik seperti Ameera. Walaupun terpaut usia enam tahun, namun Eric pun sudah bisa menilai bahwa Ameera memang gadis yang cantik. Matanya bulat seperti sang kakak, rambut hitam panjang sepinggang, dan bibir mungil yang merekah.
"Terima kasih, Kak."
oooooOooooo
Aku belum bisa up tiap jm enam ya, Nannynya anak2 pulkam.
Makasih
Love
Vote
Kommen