Chereads / MI VOLAS VIN (I Want You) / Chapter 9 - PAST

Chapter 9 - PAST

"And above all these put on love, which binds everything together in perfect harmony."

Colossians 3:14

___________

Tulisan ayat kitab suci tersuguh di depan mata Rafael begitu ia sampai pada sebuah gereja tua. Gereja dengan gaya bangunan colonial. Berdiri semenjak zaman negara itu masih dijajah oleh negeri asing. Gaya bangunan yang khas dengan bingkai pintu dan jendela-jendela besar, dilengkapai dengan dinding tebal dari batuan kali dan gamping, permukaannya terlihat menghitam, telah banyak berjamur dan mengelupas.

Rafael mengamati sekeliling aula gereja. Beberapa orang pekerja terlihat sedang merenovasi bangunan tua itu. Membuat permukaan dinding kembali bercat putih mulus. Mereka berdiri di atas perancah agar bisa menjangkau bagian kubah dan juga dinding yang tinggi. Selain dinding yang rusak tak ada lagi yang istimewa. Semuanya hanya berupa bangunan gereja biasa, dengan bangku-bangku kayu coklat panjang, simbol keagamaan, dan patung-patung orang-orang suci.

Selain pekerja hanya ada dua orang yang duduk di dalam gereja. Mereka duduk berjauhan. Seorang gadis dan juga Romo —sebutan bagi pemuka agama ini— muda seusia Rafael.

Rafael berjalan ke deretan kursi paling depan, tempat sang pemuka agama duduk. Rafael membanting tas kain hitam berisikan semua peralatan gambarnya tepat di samping bangku. Suara dentuman itu membuat seluruh ruangan bergema. Semua orang menoleh, termasuk gadis itu.

"Kau datang pagi sekali, El?" sapanya hangat.

"Bagian mana yang harus kukerjakan?" Rafael menggigit sebuah kuncir rambut berwarna hitam, sedang tangannya sibuk mengumpulkan rambut yang sedikit gondrong. Ia harus mengikat rambut panjang sebahunya agar tak mengganggu saat bekerja.

"Patung dan ornamen dinding, warnanya mulai pudar. Apa bisa kau perbarui warnanya?" tanya sang Romo.

"Sure, G—"

"Eits!! Namaku kini Albertus, aku sudah menyerahkan hidupku untuk Tuhan." selanya.

"Whatever, aku tetap akan memanggilmu G!" Rafael bergeleng sebal.

"Ya, ya, ya, terserah kau saja. Cepat mulai pekerjaanmu."

"Berapa gajinya?"

"Belum apa-apa sudah minta bayaran! Dasar berandal!" ledek Albert.

"Serius, aku tak punya uang untuk membayar sewa studio bulan depan! Tak ada gaji bagaimana aku akan hidup?!" Rafael menatap tajam Albert, tak ingin dimanfaatkan sahabatnya itu untuk bekerja cuma-cuma. (Studio, aprtemen berukuran kecil.)

"Anggaplah melayani rumah Tuhan, nanti Tuhan yang akan membalasmu berlipat-lipat kali ganda."

"Jangan berdalih, katakan saja yang sejujurnya?"

"Sejujurnya sih, itu karena aku sendiri tak punya uang, semuanya habis untuk biaya renovasi gereja ini." Dengan santai Albert berbisik pada Rafael.

"Kalau begitu tidak jadi!" Rafael mengambil kembali tas ranselnya.

"Eeeiit ... tunggu!! Ini, aku bayar dengan ini." Albert memperlihatkan sebuah cincin pada Rafael.

"Kau serius?" tanya Rafel.

"Kita harus move on dari masa lalu bukan?" Pria berkulit gelap itu tersenyum sehangat mungkin.

"Kau tak takut wanita itu menghajarmu, bukankah ini kenang-kenangan hubungan kalian?" Rafael mengeryitkan alisnya, wanita yang ia kenal dan tak lain adalah mantan dari sahabatnya itu sangat menyeramkan.

"Tidak, lagipula sekarang aku adalah Romo, tak mungkin menikah. Aku hanya mengabdikan diriku pada Tuhan." Albert membuat tanda salib pada tubuhnya.

"Cih, whatever. Kemarikan!" Rafael menyahut cincin dari tangan Albert.

Albert bergeleng pelan dengan tingkah sahabatnya itu, pekerjaannya sebagai seminam jalanan membuat Rafael tidak memiliki penghasilan tetap. Tak heran Rafael sering kekurangan uang.

"Aku akan menggambar sketnya. Akan kutunjukan padamu terlebih dahulu sebelum mengecatnya." Rafael duduk pada bangku kayu panjang. Mulai membuka peralatan gambarnya dan menggambar.

Rafael memakai jeans hitam raped, baju lengan panjang abu-abu dengan lengan sedikit terlalu panjang, juga sepatu boot hitam. Ia menaikkan dua kakinya sebagai ganti meja saat menggambar sket. Rafael terlihat serius, ia bahkan tak bergeming saat seorang gadis cantik mendekatinya.

"Hai!" sapa gadis itu, ia berdiri tepat di samping Rafael.

"Gambarmu bagus sekali." lanjutnya. Tapi tetap hening, Rafael enggan menjawabnya.

Wah, alisnya tebal, lipatan matanya juga jelas, tampan sekali. puji Jasmine dalam hatinya.

"Namaku Jasmine. Aku baru saja tiba di ibukota semalam. Pagi ini aku mencari gereja, berdoa supaya bisa segera mendapatkan pekerjaan. Kalau kau, siapa namamu?" tanya Jasmine, matanya berbinar menganggumi sosok Rafael yang memang terlihat cool saat menggambar.

Hening sesaat sampai suasannya menjadi kikuk. Jasmine tak menyerah, ia duduk di samping Rafael, berjarak namun tetap dalam satu bangku panjang yang sama.

"Apa peduliku?"

"Eh?"

"Apa peduliku tentang kehidupanmu?" Rafael akhirnya menghentikan asirannya, berpaling untuk menatap Jasmine.

"Eum ... bukankah deskripsi itu bagian dari sebuah perkenalan? Aku tak kenal siapa pun di ibu kota. Aku harap bisa mencari teman." Jasmine menggeser posisi duduknya sedikit mendekat, Rafael melirik ke arah Jasmine.

"Apa orang tuamu tak mengajari untuk berhati-hati dengan orang asing apalagi seorang pria?" tanya Rafael.

"Pria jahat tak akan bisa menggambar sebagus itu," jawab Jasmine sambil menunjuk ke sket gambar Rafael.

"Ibu kota bukan tempat yang aman, Nona. Jangan asal percaya pada orang yang kau temui hanya dari melihat gambarnya." Rafael bangkit, meninggalkan Jasmine.

"Hei, setidaknya katakan siapa namamu." Jasmine terpaku pada punggung Rafael yang lebar dan kokoh. Rafael tetap acuh, beralih pergi pada bangku lainnya.

"Namanya Rafael, dia memang begitu sedikit sosiopat," sahut Albert.

"Ah, selamat pagi Romo." Jasmine tersenyum sambil sedikit mengangguk.

"Pagi, maaf ya, gereja sedang direnovasi, kau pasti sangat tidak nyaman saat berdoa."

"Tidak, Romo."

"Datanglah kemari tiap kali butuh berdoa dan mengaku dosa. Aku akan selalu siap melayani anak-anak Tuhan."

"Terimakasih."

Gadis yang manis, dasar Rafael setidaknya dia bisa sedikit ramah. Pikir Albert sebelum meninggalkan Jasmine. Jasmine adalah jemaat pertamanya sebagai seorang pemimpin agama. Sebenarnya masih ada Romo lain di gereja itu, tapi usianya sudah sangat tua, tubuhnya renta, jadi Albert mengurus semua pekerjaan pelayanan dan keperluan gereja.

Rafael ya, nama yang indah, pikir Jasmine sambil senyam senyum mengamati Rafael dari kejauhan.

Esoknya, esoknya, esoknya dan esoknya lagi. Tiap hari Jasmine datang untuk berdoa pagi di gereja sekaligus melihat Rafael bekerja. Pria tampan itu mengecat tiap-tiap patung dan juga simbol keagamaan dengan teliti dan rapi. Jasmine selalu senang melihat Rafael bekerja. Wajahnya terlihat sangat tampan saat serius mengerjakan sesuatu.

Jasmine selalu menyapanya, tapi seperti biasa Rafael juga hanya cuek padanya.

Jasmine tak pernah menyerah, ia bahkan menceritakan sosok Rafael pada ibu dan adiknya di desa. Jasmine yakin bahwa Rafael adalah pilihan hatinya.

Genap satu tahun mereka berkenalan, bukankah batu tetap akan hancur bila ditetesi air terus menerus? Begitu pula dengan Rafael, hatinya mungkin luluh dengan tekat dan ketulusan perasaan Jasmine. Satu tahun berkenalan, Jasmine melamar Rafael.

"Sungguh kau mau menikah denganku? Kau tak akan menyesalinya?" tanya Rafael kikuk.

"Aku tak akan pernah menyesalinya." Jasmine tersenyum dan mengalungkan lengannya pada pundak Rafael.

"Baiklah, ayo kita menikah."

Flash back kejadian dua tahun yang lalu itu mendadak buyar dari lamunan Rafael. Jadi kenapa? Kenapa dia mau menikahi Jasmine? Apa dia mencintai Jasmine?

"Mungkin karena aku terbiasa mendengar suara cerewetmu itu, Jas." Rafael mencium kening Jasmine.

"Jahat!!" protes Jasmine. Rafael terkikih melihat tingkah menggemaskan istrinya.

oooooOooooo

Berbeda dengan perasaan Jasmine yang terasa bahagia karena suaminya pulang. Leonardo, pria dingin itu masih merasa ada yang mengganjal di dalam hatinya.

"Ĝi suĉas," desahnya, hatinya sangat bergemuruh karena rasa penasaran (menyebalkan sekali).

Leonardo berdiri pada sisi jendela kaca besar di dalam ruang kerjanya. Mengendurkan dasi, sudah setengah jam berlalu percuma, dihabiskan untuk menatap jalanan yang mulai berkilau karena lampu-lampu kendaraaan yang menyala. Bagaiakan lautan bintang bila dilihat dari ruangan di lantai 17 itu.

Jam sudah menunjukan pukul 6 sore, jam kerja kantor sudah berakhir satu jam yang lalu. Tinggal segelintir manusia yang masih berada di dalam gedung, mereka adalah security, cleaning servis, dan beberapa staff yang tengah bekerja lembur.

"Tuan, mobilnya sudah siap." Kesya memberanikan diri masuk ke dalam kantor atasannya. Mulai dari siang tadi suasana hati Leonardo tidaklah baik, sampai Kesya pun tak berani mengganggunya.

"Bagaimana mungkin dia sudah bersuami?" gerutu Leonardo.

"Anda masih memikirkan hal itu?" Kesya tampak kaget, ternyata di balik sikap uring-uringan bossnya sore ini ada campur tangan wanita bernama Jasmine.

"Harusnya aku menjadi yang pertama!" Leonardo menatap Kesya.

Ya Tuhan, dasar pria, isi otaknya hanya seks, keluh Kesya dalam hati.

"Apa Anda ingin tidur dengan seorang wanita yang masih gadis? Mau saya carikan?" tawar Kesya.

"Tidak, aku hanya ingin dirinya." Leonardo beranjak dari tempatnya berdiri, masih penasaran dengan sosok Jasmine. Sampai saat ini pun Leonardo tak bisa menghilangkan bayangan wajah Jasmine dari dalam benaknya. Terus bermain nakal dan menggoda wajah merah merona Jasmine saat menahan desahan dan kenikmatan yang ia berikan siang tadi.

Harusnya aku tak melepaskan wanita itu, brengsek!! Aku pasti tak akan bisa tidur nyenyak malam ini! sesal Leonardo.

Leonardo memutar tubuhnya, menyahut ponsel dan pergi ke luar ruangan.

"Ah, tak biasanya Anda memikirkan seorang wanita." Kesya membereskan meja Leonardo sebelum mengikuti pria itu pergi dari ruangan.

"Coba kau selidiki dia untukku, Kesya. Aku mau tahu semuanya. Data suaminya dan juga apa pekerjaannya." Leonardo memberi perintah.

"Baik, Tuan Leon."

"Dan, biarkan dia tetap bekerja di bank itu," kata Leonardo, dengan bekerja di bank itu, Leonardo masih punya kuasa untuk menekan dan menemui Jasmine.

"Jas, Tuan." (Ya.)

"Aku benar-benar merasa dibodohi oleh wanita itu!" Leonardo mengepalkan tangannya. Harga dirinya sebagai seorang Leonardo Wijaya terluka karena tak berhasil mendapatkan wanita kelas rendah seperti Jasmine.

oooooOooooo

Vote

Like

Comment

Follow

💋💋💋💋