Chereads / MI VOLAS VIN (I Want You) / Chapter 42 - SAD NEWS

Chapter 42 - SAD NEWS

Hujan telah reda, menyisakan hawa dingin dan bau tanah basah. Beberapa anak-anak kecil berlari keliling kompleks perumahan, bermain air genangan pada lubang jalan. Air kotor menyiprat ke mana-mana.

Teriakan dan gelak tawa mereka membuat Jasmine terbangun dari tidurnya. Nyenyak sekali tidurnya siang ini, mungkin karena telah berhasil melupakan kekesalannya terhandap Leonardo. Atau mungkin karena hubungannya dengan sang suami yang sempat regang kembali merekat. Entahlah, yang pasti wanita itu merasa begitu bugar saat ini.

"Ah, aku lapar sekali, jam berapa sekarang? Apa El sudah memasak?" Pukul 4 sore, Jasmine bangkit dari atas ranjang. Mengenakan kembali satu setel pakaian bersih dan merapikan ranjang. Tanpa sadar Jasmine menyenggol bingkai foto 6R di atas meja nakas. Foto pernikahannya itu terjatuh, pecah.

PYAR!!

"Ah, ya ampun." Jasmine terpekik. Ia bergegas membereskan pecahan kaca.

"Ach!!" Serpihan kaca menggores ujung jarinya, darah merah keluar. Jasmine mengulum jari itu sebagai bentuk pertolongan pertama.

"El?" Perasaan Jasmine menjadi gundah, ia merasa tidak tenang. Cepat-cepat Jasmine bangkit, mencari ponsel. Mencoba untuk menghubungi Rafael.

Cepat angkat, El!! Angkat!! Aku ingin mendengar suaramu. pikir Jasmine dalam hati, ia terus menggigit ujung ibu jari untuk mengurangi rasa cemas.

Nomor yang Anda tuju tidak men—

Tut ...

Jasmine mencobanya lagi ... lagi ... lagi ... dan lagi ... Jasmine tidak menyerah, ia mencoba untuk menghubungi ponsel suaminya tanpa henti.

Kumohon, El. Angkat! tukas Jasmine dalam hati.

Jasmine mondar manding dengan ponsel masih menempel pada daun telinga. Lagi-lagi hanya mesin penjawab yang menjawab panggilan Jasmine. Jasmine tak bisa diam saja, ia harus mencari Rafael, tapi kemana? Kemana Jasmine harus mencari suaminya? Setahu Jasmine, Rafael tak memiliki satu pun kerabat dan teman, hanya Albert, itu pun tidak dekat.

"Haruskah aku menemui Romo Albert?" Jasmine bergumam, cepat-cepat ia menuju kamar untuk berganti pakaian yang lebih pantas.

Namun, belum sempat handle pintu kamar tertekan, ketukan keras pada pintu utama rumah mungil itu membuat Jasmine mengurungkan niat.

"Permisi," sapa mereka.

"Siapa?"Jasmine bergegas membuka pintu utama. Beberapa pria tegap dengan seragam kepolisian terlihat menatap Jasmine dengan iba, membuat Jasmine merasa heran.

"A—ada apa ya, Pak?" gagap Jasmine, matanya masih melirik satu per satu petugas kepolisian itu, semuanya terlihat tegas, tapi juga lembut pada saat yang bersamaan. Memang tugas seorang pengayom negara adalah mengayomi warga, bukannya malah menindas dengan embel-embel seragam yang menempel pada tubuh mereka.

"Apa benar Anda Nona Jasmine? Istri dari Tuan Rafael?" tanya petugas kepolisian.

"Be—benar," lirih Jasmine, wajahnya mulai pucat. Ada apa polisi mencarinya? Apa ada hubungannya dengan Rafael? Ada apa dengan suaminya?

Para polisi itu saling pandang beberapa saat, mencoba berdiskusi lewat mimik wajah, siapa yang akan menyampaikan kabar itu kepada Jasmine? Akhirnya petugas yang berdiri paling dekat dengan Jasmine menghela napasnya panjang.

"Nona, suami Anda meninggal siang ini. Terjadi kecelakaan mobil di persimpangan jalan dekat gereja," katanya dengan tegas dan jelas.

Jasmine terpaku, matanya menatap lamat pada sosok petugas itu. Telinganya mendengar, namun otaknya tidak mampu merespon apapun.

Meninggal?

Suaminya meninggal?

Tidak mungkin, mereka barus saja menghabiskan pagi yang indah bersama. Bersatu dengan penuh cinta. Suaminya sehat, segar bugar, tak ada yang kurang selain luka jahitan dan beberapa lebam. Tak mungkin pria seprima Rafael meninggal karena luka-luka kecil itu.

"Bapak salah bicara, ya? Mana mungkin suami saya meninggal. Jangan bercanda, Pak. Saya tidak suka." Jasmine tertawa sumbang. Membuat tugas dari para petugas kepolisian itu terasa semakin berat saja.

"Maaf, Nona. Suami Anda meninggal karena kecelakaan." Ulangnya lagi.

"Jangan bohong, Pak! Sudah saya bilang saya tidak suka Bapak berbohong!! Bercanda pun ini sangat keterlaluan! Saya ... saya ...," jerit Jasmine, sekejap kemudian lidahnya kelu. Jasmine merasa dunianya mulai berputar, gelap, menghimpit, dan sesak. Napasnya mulai terasa berat seakan oksigen menghilang sedikit demi sedikit.

BRUK!!

Jasmine pingsan di tempat.

"Nona!!"

"Cepat bawa ke rumah sakit. Hubungi keluarganya."

"Baik, Komandan."

oooooOooooo

Hei, Jas, ayo bangun, makan siangnya sudah siap.

Rafael membawakan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk. Jasmine tersenyum, ia bergegas bangun dan memeluk suaminya. Memeluk erat Rafael, tubuh kekarnya terasa hangat. Lengannya yang kokoh terasa begitu nyaman. Jasmine terus melekat erat, tak ingin melepaskan dekapan itu. Wanita itu takut, saat terlepas, Rafael benar-benar akan pergi meninggalkannya.

Sudah ku duga, semua ini hanya mimpi buruk. Kau tidak mungkin meninggalkanku sendiriankan, El. Kau punya janji untuk merajut sisa hidup kita bersama. Jasmine menatap lamat pada wajah Rafael. Rafael tersenyum hangat, manis sekali. Tangannya yang lebar mengelus wajah cantik Jasmine. Perlahan-lahan wajah Rafael mendekat, memberikan kecupan dan juga seberkas lumatan mesra.

Hiduplah dengan bahagia, Jas. Makan yang teratur, kau kurus dan ringkih. Jangan sakit, jangan bersedih. Kau lebih cantik saat tersenyum, aku suka melihat senyumanmu. Rafael mengelus pucuk kepala Jasmine.

Apa benar kau telah pergi meninggalkanku, El? Air mata Jasmine luruh, mengalir dengan deras. Hatinya sakit, hatinya sesak, bahkan disini pun Rafael tak mau tinggal bersamanya.

Maafkan aku, Jas.

Boleh aku ikut, El? tanya Jasmine, Rafael bergeleng.

Kenapa? Padahal masih banyak yang ingin kuutarakan padamu. Masih banyak yang ingin aku bagi bersamamu. Masih banyak yang ingin aku lakukan bersamamu. Jasmine mencengkram erat pergelangan tangan Rafael.

Hei, Jas. Walaupun terlambat, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Rafael menggenggam erat tangan Jasmine, mengelus lembut punggung tangan itu dengan ibu jari.

Apa itu, El?

Aku mencintaimu, Jas. Dan terima kasih sudah mencintai pria hina sepertiku, terima kasih sudah memberi warna pada duniaku yang hitam dan putih ini. Maafkan aku yang tak pernah menghargai satu tahun hubungan kita. Senyum Rafael.

Jangan katakan itu!! Tak apa kau tak mencintaiku, asal kau tidak pergi meninggalkanku. Aku mau kau di sisiku. Isakan Jasmine semakin keras.

Maaf, selamat tinggal, Jas.

"Tidak!! Tidak!! Tidak!!!!!!" Jasmine berteriak, dan langsung terbangun.

Air matanya mengalir dengan deras, sekujur tubuhnya terasa dingin dan menyakitkan. Tulang-tulangnya linu, sangat menyakitkan. Yang paling menyakitkan adalah hatinya yang terluka karena kehilangan orang paling ia cintai dalam hidupnya. Orang paling spesial dan paling punya arti. Cinta pertama dalam kehidupannya yang datar dan penuh kekurangan. Orang yang memberikan kesempatan pada Jasmine untuk merasakan secuil kebahagiaan.

"Jasmine!! Sayang!! Tegarlah." Seorang wanita paruh baya memeluk Jasmine, memeluk putrinya.

"Ibu, ini semua bohongkan? Ini semua hanya mimpikan? Rafael masih hidup! Sebentar lagi ia pasti akan datang menjemput Jasmine di sini kan?" Jasmine memeluk wanita itu, menangis dalam pelukkannya.

"Kakak, tolong jangan begini. Kak Rafael sudah meninggal, kau harus mengiklaskannya agar Kak Rafael bisa beristirahat dengan tenang." Ameera sang adik ikut memeluk Jasmine, ketiganya berpelukan sambil menangis. Menangisi nasib Jasmine yang begitu menyedihkan, juga hidup Rafael yang begitu singkat.

"Tidak!! Rafael!! Jangan tinggalkan aku." Tangis Jasmine pecah. Memenuhi ruangan rawat inap sebuah rumah sakit. Setelah pingsan petugas kepolisian membawa Jasmine ke Rumah sakit terdekat. Wanita itu pasti syok mendengar kabar suaminya.

Ibu dan adik Jasmine yang mendengar berita duka itu bergegas berangkat ke kota. Langsung menuju ke rumah sakit dan mendapati Jasmine tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Tubuh Jasmine terus menggigil, bibirnya komat kamit, Jasmine terus menggigau memanggil nama Rafael.

Karena wanita itu sudah lemas, penuh tekanan mental, dan kurang asupan gizi beberapa hari belakangan ini maka tubuhnya tak kuat menahan beban ini. Jasmine pingsan hampir 30 jam. Hampir satu setengah hari penuh.

"Di mana Rafael, Bu? Di mana suamiku?" Jasmine mengusap air matanya. Wajahnya merah, matanya terlihat sembab karena terlalu banyak menangis.

"Mereka membersihkan jenasahnya dan menaruhnya di dalam peti mati. Kini peti mati itu ada di depan mimbar gereja. Secepatnya akan ada ibadah penguburan, Jas. Mereka hanya menunggumu sadar supaya bisa memberikan penghormatan terakhir sebagai istrinya." Ibu Jasmine menangis saat mendapati putrinya tenggelam dalam kesedihan.

"Kenapa bukan Jasmine yang memandikannya, Bu?!" Jasmine tertegun, suaminya sudah masuk ke dalam peti mati.

"Wajah Kak Rafael hancur, tubuhnya juga rusak, Kak. Tubuh Kak Rafael terus mengeluarkan darah dan juga Ibu takut kalau Kak Jasmine tak kuasa melakukannya. Jadi Ibu meminta petugas rumah sakit yang membersihkan mayatnya." Ameera menjawab pertanyaan Jasmine.

"Antar aku ke sana sekarang, antar aku menemui suamiku. Aku harus menemaninya, aku harus berada di sisinya." Jasmine menangis, dengan sempoyongan wanita itu bangkit, mencabut paksa selang infus.

"Jasmine!! Jangan begini, pelan-pelan saja!" tangis ibunya.

"Kakak, tolong perhatikan juga dirimu. Kalau kau sampai terluka, sampai terjadi sesuatu yang buruk, bagaimana dengan Ibu dan Mera, Kak??" Ameera menghentikan kelakuan sembrono Jasmine. Gadis itu menekan darah yang terus menetes dari pergelangan tangan kakaknya.

"Kau masih punya, Ibu dan Mera, Kak. Tapi Ibu dan Mera hanya punya satu Kak Jasmine." Ameera menangis, Jasmine pun menangis.

"Kak Rafael juga pasti tak ingin melihat Kak Jasmine bersedih." Ameera memeluk Jasmine, mengelus punggung kakaknya.

Hangatnya dekapan Ameera membuat Jasmine semakin sesak. Hatinya hancur berkeping-keping, ia harus mengikhlaskan Rafael juga demi keluarga yang ia cintai.

Isak tangis Jasmine pecah, memenuhi koridor rumah sakit yang sepi dan dingin. Tubuh Jasmine merosot ke bawah, memeluk lutut dan meringkuk penuh kesedihan.

Leonardo berdiri di balik belokkan koridor, melihat semua kejadian itu. Ia menundukkan wajahnya, entah apa yang ia rasakan saat ini.

Bahagia?

Atau malah ...

Merasa bersalah?

Entahlah, hanya Leonardo yang tahu.

"Ayo kita pergi, Kesya." Ajak Leonardo.

"Jes, Tuan Leon," jawab Kesya.

ooooOoooo

😭😭😭😭😭

Vote please