Rafael memarkirkan motornya pada sebuah cafe tak jauh dari veterian. Ia membeli dua cup kopi. Setelah membayar, lelaki itu berjalan menuju ke veterian. Masuk lewat pintu belakang.
Sama seperti saat membunuh wakil walikota, Rafael juga masuk ke dalam rubana. Melewati celah sempit lorong menuju ke sebuah ruangan besar terang benderang.
Ruangan itu terasa begitu dingin, pendingin ruangan sengaja diatur pada suhu di bawah rata-rata agar penyebaran bakteri dan virus lebih lambat. Keseluruhan dinding berlapis keramik hijau agar kelembaban ruang bawah tanah tetap terjaga.
Ruangan itu pun tampak sepi. Hanya bunyi alat pemantau tanda fital yang terdengar stabil dan juga desisan respirator sebagai alat pembantu pernafasan. Bunyi pip itu terdengar teratur berkali-kali, sangat memekakkan telinga Rafael.
Selain alat pendingin, terdapat pula lemari es besar, genset, meja panjang besar, lemari, dan beberapa kursi. Sebuah kamar terpisahkan dengan pintu kaca, tempat ranjang dan peralatam medis tadi terletak. Seorang pria terbaring di atasnya. Rafael memandang pria itu dengan mata sayu. Suasana kembali membisu sampai sebuah sapaan memecah keheningan.
"Hei!" V muncul, masih dengan snelli putih dan tanda pengenalnya sebagai dokter hewan. (Regina, Veterian.)
"Hei, V." sapa Rafael.
"Kau bawa uanganya?"
"Iya, ini." Angguk Rafael lalu melemparkan tas berisi uang pada V.
"Setengahnya milikmu, setengahnya milikku. Pakai milikku seperti biasanya." Rafael menatap wanita itu.
"Baiklah." V menarik tas itu dan memasukkannya ke dalam brangkas.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Rafael.
"Tak ada perkembangan apapun, S." V tersenyum kecut.
"Andai saja aku tiba lebih cepat, Andai saja L tak mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi kita!" Rafael mengepalkan tangannya dan memukul dinding, menyalurkan rasa frustasi di dalam dada.
"Sabar, S. Kita tetap akan berjuang agar L bisa bangkit."
"Sudah 10 tahun, Vipers, 10 tahun Light koma, terbujur kaku di atas ranjang itu. Sama sekali tak ada tanda dia akan bangun." Rafael menitikkan air matanya.
"Apa kau akan memyerah pada hidupnya?"
"Tidak!! Tentu saja tidak, V. Akan aku balaskan dendam Light, akan ku bawa K kemari, membuatnya sujut di depan Light!! Sampai saat itu tiba, aku tak akan membiarkan kakakku meninggal." Rafael menahan geram.
V mengangguk paham, wanita itu adalah seorang ahli medis, seorang dokter jenius dan peracik obat nomor satu di akademi kedokteran. Ahli racun juga obat penawar, maka dari itu rekan-rekan satu timnya memanggilnya Vipers, sejenis ular berbisa.
Rafael, Albert, dan Regina, nama-nama samaran dari Shadow, Gunner, dan Vipers. Mereka adalah mantan dari tim omega, bersama dengan Light yang saat ini terbujur kaku dan koma.
Sepuluh tahun yang lalu, komandan tim mereka sendiri, King. Melakukan konspirasi dan hendak menyingkirkan keempatnya dalam misi penuh bahaya. Hanya Light yang menyadari adanya kesalahan, ia memburu King seorang diri, berusaha untuk menjatuhkan pria itu. Namun kekuatan Light tak sebanding dengan King, Light meregang nyawa saat ketiga rekannya yang lain menemukan keberadaannya.
Gunner meledakkan pesawat dalam metode terbang otomatis dengan keahlian hacker miliknya. Melepaskan semua atribut mereka dan menaruhnya pada mayat musuh. Pemerintah seakan-akan menganggap tim omega telah mati, tertembak rudal musuh. Kini ketiganya hidup dalam bayang-bayang. Identitasnya tersamarkan dengan nama samaran dan juga profesi masing-masing.
Kini ketiganya menjadi pembunuh bayaran. Rafael selalu menggunakan pendapatannya untuk menunjang biaya obat medis bagi kehidupan Light. Tak pernah ada sisa, Rafael tak bisa menghasilkan uang untuk Jasmine, semuanya habis untuk pengobatan kakaknya.
"Hanya Light satu-satunya keluargaku." Rafael menatap lagi pria malang itu.
"Jangan konyol, kau punya istri." V menarik sudut bibirnya, seakan mencibir sebal.
"Jasmine, ah, kau benar. Aku kehabisan pil KB untuk Jasmine." Rafael teringat vitamin untuk Jasmine telah habis, sebenarnya isi kandungan dari vitamin itu adalah obat pencegah kehamilan.
"Sampai kapan kau akan menipu wanita malang itu, S?" Regina alias Vipers membongkar lemari obat di dekat lemari pendingin.
"Aku tidak menipunya, V. Dia sendiri yang ingin menjadi istriku. Aku tak punya pilihan, dia terus mengekor dan menggangguku. Aku tak bisa bergerak leluasa saat bekerja." Rafael duduk pada bangku. Memang saat itu, menikah adalah cara terbaik untuk menghindari rasa penasaran Jasmine akan sosok Rafael.
"Dasar gila."
"Kalian punya kedok yang sempurna, G sebagai Romo dan kau Veterian. Aku juga hanya mencari kedok yang sempurna. Seorang suami baik hati yang mencintai istrinya." Rafael menerawang kosong pada langit-langit ruangan. Ia memang tak ahli berbicara seperti Albert, ataupun punya keahlian medis seperti Regina.
"Tidakkah kau sedikit pun mencintainya? Kalian sudah bersama hampir satu tahun." Regina melemparkan sebotol obat racikkannya pada Rafael, pencegah kehamilan.
"Aku tidak tahu apa itu cinta. Apa itu perasaan, aku tidak tahu V. Akademi militer tak pernah mengajarkannya." Rafael tertunduk, ia selalu bingung bila ditanya tentang rasa cinta dan juga perasaan.
Rafael adalah yatim piatu, hanya hidup berdua dengan kakaknya L. Mereka mengembara dijalanan, menjadi berandalan sejak kecil sampai akhirnya tertangkap oleh pemerintah. Masuk pada akademi militer sejak usia dini, menjadi prajurit terlatih. Rafael sudah membunuh hatinya, perasaannya mati rasa, apalagi setelah membunuh ratusan manusia dengan tangannya sendiri. Satu-satunya perasaan yang ada hanyalah rasa takut akan kehilangan Light.
"Kau akan mengerti kelak." Regina bangkit dan menepuk punggung Rafael.
Rafael terdiam, masih merenungkan ungkapan Regina.
Apa itu cinta?
Apa dia mencintai Jasmine?
oooooOooooo
Bellecious 💋
Ayo divote and comment