Chereads / 60 Days I Love You / Chapter 6 - Bab 6

Chapter 6 - Bab 6

"Uli, cepat lah kamu bangun." Arya menggoncang tubuh kecil istrinya yang masih terlelap dibalik selimut.

"Hemm." Uli bergumam tidak jelas.

Semalam ia tidur hampir pukul 4 pagi pikiran yang bercabang entah kemana membuat matanya susah terpejam.

"Ayolah cepat bangun, Uli. Kamu semalam sudah berjanji membawaku ke sungai Air Mata."

Setengah jam sudah Arya membangunkan Uli namun hanya gumamnya yang terdengar.

"Boti ... jangan nakal, aku mengantuk sekali." Terdengar suara mengigau keluar dari mulut Uli.

"Uli!" Arya berteriak kesal karena disamakan dengan anjing kesayangan Uli.

"Ha–ha ada apa?" tanya Uli gelagapan. Roh wanita itu belum terkumpul sepenuhnya.

"Ada apa, ada apa. Apa kamu tidak lihat matahari sudah tinggi" gerutu Arya.

"Kalau sudah tinggi memangnya kenapa ha?!" tanya Uli sinis wanita itu sudah duduk berkacak pinggang diatas tempat tidurnya.

"Bangun!" teriak Arya lagi.

"Aduh ... kepalaku pusing sekali," ucap Uli memegang kepala dengan kedua telapak tangannya.

"Drama mu sungguh jelek," kata Arya sebal.

"Ehh pria kota. Kepalaku memang pusing karena terkejut mendengar teriakkan mu yang cempreng itu."

"Apa hubungannya bego?" tanya Arya dengan nada suara naik satu oktaf.

"Bangun tiba-tiba bisa membuat kepala kita pusing tujuh keliling kamu tahu tidak."

Kedua telapak tangannya masih betah memijat kepalanya sendiri.

"Alasan," cibir Arya.

"Baiklah, suatu hari aku akan membuat perhitungan denganmu."

Mata Uli memicing menatap lekat manik mata Arya.

"Aku tunggu. Sekarang tunaikan dulu janjimu untuk membawaku ke Sungai Air Mata itu."

"Tidak akan!" Uli menolak dengan lantang.

"Janji tidak boleh diingkari," kata Arya.

"Itu urusanku, bukan urusanmu."

"Itu urusanku karena kamu berjanji padaku."

"Aku tidak peduli." Uli melipat kedua tangannya didada.

"Ku jadikan janda baru tahu," ucap Arya mengancam istrinya.

"Coba saja. Akan aku potong si Ucok mu yang hanya seujung kuku itu," kata Uli menentang Arya.

"Berani menyentuh bagian tubuhku maka resmilah dirimu menjadi janda. Hahaha."

Bisa dibayangkan alat vital pria adalah bagian dari hidupnya jadi kalau perkutut itu dipotong bisa mati sang empunya.

"Dasar pria kota menyebalkan. Aku membencimu."

"Kalau membenciku sebaiknya bercerai saja." Arya memberi saran yang tepat.

"Ehh orang kota! Mudah sekali mulutmu itu berkata cerai. Kau tahu tidak bahwa Tuhan sangat membenci perceraian."

Uli mencoba memperingatkan suaminya. Sudah seperti drama perselingkuhan saja pikirnya.

"Tuhan juga tahu bahwa pernikahan ini diawali dengan ketidakbenaran." Arya menjawab apa adanya.

"Mengapa kamu sangat menyebalkan ha?!"

"Karena kamu mengingkari janji." Arya menjawab jujur. Memang sangat tidak mungkin ada asap tanpa api.

"Janji apa?" tanya Uli bingung.

"Semalam kamu sudah berjanji akan membawaku memancing ke sungai Air Mata."

"Aku mengingkari janji karena kamu terlalu berisik membuat kepalaku pusing."

Uli mencari-cari alasan padahal dia memang lupa akan janjinya pada Arya.

"Aku sudah membangunkan mu dengan begitu lembut selama tiga puluh menit yang lalu, tapi wanita kerbau sepertimu sangat sulit untuk dibangunkan dari tidurnya."

Tok! Tok! Tok!

"Uli ... Monang ... mengapa pagi-pagi sudah berisik? Cepat keluar. Mamak sudah menyiapkan sarapan untuk kalian."

"Ia, Mak." Pasangan suami istri itu menjawab kompak.

"Jangan bertengkar lagi. Cepat keluar." Bila sang Mulia Ratu sudah berucap maka tidak ada kata lain selain ia.

"Ia, Mak." Sepertinya keadaan sedang menguji kekompakan mereka.

Pasangan suami istri itu saling melempar tatapan tajam.

Bersahutan disaat yang bersamaan membuat mereka menjadi saling kesal.

"Mengapa harus mengucapkan apa yang aku ucapkan?" tanya Uli sebal.

"Kamu yang mengikuti ku," kata Arya tak mau kalah.

"Aku tidak mengikuti mu pria kota. Kamu yang mengikuti ku."

"Kali ini kamu akan benar-benar ku jadikan janda." Arya lagi-lagi mengeluarkan ancamannya.

"Akan ku adukan kamu pada Bang Luhut."

"Adukan saja. Maka kamu akan menjadi janda sungguhan."

Mengingat Luhut yang membawa pedang saja sudah membuat bulu kuduk merinding.

Apalagi membayangkan pria bertubuh kekar itu menghabisi Arya. Tamat lah riwayat Uli juga.

"Dasar pria kota menyebalkan." Uli bangun dari atas tempat tidur. Mengambil handuk berjalan menuju kamar mandi.

Brakk!

Wanita itu membanting pintu kamar mandi dengan kasarnya.

Ceklek!

"Ada apa ini?" tanya Bapak Uli yang tiba-tiba sudah membuka pintu kamar mereka.

Entah dari mana datangnya pria tua dengan sarung belalai gajah berdiri itu.

"Uli PMS pak," jawab Arya santai.

"Anak itu selalu saja berbuat yang tidak-tidak dirumah ku," gerutu Bapak Uli.

"Bapak sudah makan?" Arya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kalau aku sudah makan tidak mungkin berada disini. Sudahlah ayo ke ruang makan. Tinggalkan saja istrimu. Wanita memang selalu seperti itu. Mau menang sendiri."

Bapak Uli kemudian berbalik beranjak pergi ke ruang makan. Perut pria tua itu sudah berbunyi berontak minta diisi.

"Akhirnya aku memiliki mertua yang berada dipihak ku," ucap Arya dalam hatinya.

Senyum mengembang itu terukir jelas dibibirnya. Padahal sebelumnya ia tidak pernah memiliki mertua.

"Mana Uli?" tanya sang Mamak mertua yang tidak melihat keberadaan putri sematawayangnya pada dua pria berbeda generasi sedang berjalan menuju dapur tersebut.

"Masih mandi, Mak." Arya menjawab sambil menarik kursi di meja makan tempat dia duduk selama dua hari ini.

"Sudah menjadi istri masih saja bangun siang. Seharusnya dia membantu Mamak menyiapkan makanan terutama suaminya," omel sang ratu rumah kayu.

Rumah keluarga Uli sangat luas. Namun, dari depan sampai belakang rumah itu dibangun dengan kayu jati pilihan.

Keluarga mereka terkenal salah satu penduduk terpandang di Desa Suka Hati itu lah sebabnya penduduk kampung masih sudi menikahkan Uli dan Monang yang sudah ketahuan berzina.

Ternyata efek uang tidak hanya di dunia nyata.

Dunia halu tempat bersemayamnya keluarga ini pun mementingkan uang.

Motonya jika kau punya uang makan kau akan dijunjung. Bahasa kasarnya Anjing Penjilat.

"Sudahlah itu Mamaknya Uli. Lagi pula mereka menikah baru dua hari. Besok jika Uli tidak bangun pagi untuk menyiapkan sarapan suaminya baru lah kamu boleh marah. Sebagai suami setia aku akan mendukungmu Mamak Uli," kata Bapak Uli dengan nada ala pejuang reformasi.

"Kamu juga! Sudah punya menantu pagi-pagi bukannya pakai celana malah asik dengan sarung belalai gajah berdiri mu itu."

Sang Ibu ratu berkata tegas dengan kedua tangan berkacak pinggang.

"Kenapa jadi aku yang salah. Bukankah setiap hari aku memang selalu menggunakan sarung," kata Bapak Uli santai.

Pria paru baya itu kembali menikmati kopi hitamnya setelah menjawab perkataan sang istri.

"Enggak Ayah, enggak anak, dua-duanya sama saja," gerutu nyonya rumah sembari berjalan kearah dapur.

"Mamak kalau pagi memang seperti itu. Kata orang-orang omelan seorang istri sekaligus Ibu di pagi hari adalah sirene subuh."

Bapak Uli menjelaskan kepada menantunya padahal sedari tadi Arya tengah sibuk memakan sarapan pagi tanpa perduli ucapan sang mertua.

"Heem." Arya kembali memasukkan satu sendok meluntung nasi goreng kedalam mulutnya.

"Jika Mamak mengomel jangan pernah masukkan hati. Mamak memang seperti itu setiap harinya."

Bapak Uli memberikan petuah yang tak dihiraukan menantunya.

"Heem." Pria itu menjawab dengan mulut penuh makanan.

Tiba-tiba Uli datang sambil bernyanyi dengan riangnya.

Saat beberapa langkah menuju meja makan lagu absurd itu tiba-tiba terhenti mendadak.

Uli disuguhkan dengan mata Mamak yang melotot hampir keluar dari tempatnya.

"Aku tidak pernah mengajarkan mu menjadi istri yang tidak tahu diri."

Belum apa-apa Mamak sudah menembak sasaran.

"Emm ... bukannya Mamak belum mengajarkan hal apapun padaku ?" tanya Uli pura-pura polos.

"Dasar anak tidak tahu diri. Jadi selama ini untuk apa aku menyekolahkan mu ha?!"

Yang mulia ratu berjalan dengan langkah lebar menghampiri putri satu-satunya.

"Eeiittss gak kenak," ledek Uli saat tangan Mamaknya akan menjewer telinga caplang itu.

"Kau ini! Ha ... rasakan. Dasar putri Maling Kundang."

Saat tangannya sudah menggapai telinga sang putri.

"Maafkan hamba yang mulia Ratu Maling Kundang," ucap Uli mencoba melepaskan tangan Mamaknya.

"Katakan pada mamak kenapa kamu bisa bangun kesiangan?!" tanya Mamak Uli memaksa.

"Mamak ini seperti tidak pernah muda saja," jawab Uli santai.

"Memangnya kenapa?" tanyak Mamak bingung.

"Menantu Mamak semalaman membuat aku kelelahan hingga bangun kesiangan seperti sekarang ini."

Uli menabuh gendar perang dengan Arya.

"Uhukk! Uhukk! Uhukk!" Sang pria yang dituduh tersangka malah terbatuk-batuk.

"Lihat kan betapa salah tingkahnya menantu kalian itu."

Sepertinya bendera perang sudah berkibar saat ini.

"Dasar wanita licik. Akan ku balas kau! Lihat saja," ucap Arya dalam hati sambil tersenyum devil.