"Kalau itu aku juga sudah tau. Sebelum menjelajah suatu tempat aku akan mencari tahu terlebih dulu tentang tempat itu," ucap Arya dengan sombongnya.
"Jika sudah tau mengapa masih bertanya bambank," ucap Uli kesal.
"Aku hanya ingin tau dari versimu saja," jawab Arya santai.
"Dasar pria kota menyebalkan," cibir Uli.
"Dasar gadis kampung mesum," ucap Arya membalas cibiran Uli.
"Sudalah ayo pulang ... perutku sudah berontak minta diisi," ajak Uli. Gadis itu langsung bangkit dari duduknya.
"Kenapa enggak dari tadi ngajak makan. Suamimu ini udah kelaparan sejak matahari belum terbit." Arya ikut berdiri siap mengekor langkah Uli seperti pagi tadi.
Saat matahari belum menunjukan sinar pasangan pengantin baru itu sudah mengendap-endap keluar rumah.
Uli merengek pada Arya untuk melihat matahari terbit dari atas bukit rumahnya.
Mau tidak mau Arya mengikuti langkah kaki Uli dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul.
"Pengantin baru pagi-pagi sudah keluyuran! Dari mana saja kalian ha?!" hardik Ibu Uli yang melihat pasangan suami istri itu berjalan menuju rumah dengan setelan olahraga
"Kami pergi melihat matahari terbit dengan status sebagai sepasang suami istri yang sah," jawab Uli dengan polosnya.
"Alah ... sedari kecil kamu dan si Monang ini setiap pagi selalu melihat matahari pagi terbit."
"Katakan saja bahwa itu hanya alasanmu agar kamu dan suamimu bisa menghabiskan waktu bersama," kata Ibu Uli dengan nada meledek.
Uli dan Monang di kenal sebagai sahabat sehidup semati karena tidak pernah pisah sedari kecil.
Kecuali, saat Uli pergi kuliah ke kota. Setiap hari mereka selalu bersama.
Sebelum matahari terbit mereka sudah berada diatas bukit.
Setelah puas memandang keindahan sang Surya mereka pergi sarapan di warung mie rebus khas desa ini.
Mie besar berwarna kuning yang hanya di rebus kemudian diberi kuah santan kuning yang sedap ditambah dengan potongan daun bawang segar.
Setelah kenyang sarapan pagi. Keduanya akan ikut pergi ke sawah bersama orang tua Uli.
Puas bermain di sawah mereka lanjut mencari umpan pancing. Kedua anak manusia berbeda kelamin itu bisa lupa waktu jika sudah memancing.
"Ini beda, Mak. Status kami sudah berganti menjadi suami istri. Jadi kami ingin menunjukkan kepada Surya bahwa persahabatan sejak kecil itu telah berubah menjadi pernikahan yang sah di hadapan Tuhan dan Negara."
Uli berbicara dengan Ibunya, namun tangannya tidak melepas genggaman dadakan papa telapak tangan Arya.
"Uli, bisa Mamak bicara berdua dengan kamu?" pinta Ibu Uli, seperti ada hal penting yang akan di bicarakan nya.
"Menantuku, makanlah dulu. Mamak dan istrimu ini ingin bicara sebentar. Jika tidak menyukai makanan itu bersabarlah menunggu sampai kami selesai bicara. Nanti Uli akan membawamu membeli sarapan pagi di warung depan," titah sang mulia ratu Ibu mertua.
Kedua wanita berbeda generasi itu pergi keluar rumah.
Melihat raut wajah Ibu Uli sudah di pastikan ada hal penting yang akan di katakan wanita tua itu.
Mereka duduk di hamparan pasir menatap beberapa kolam ikan milik keluarga Uli.
"Ibu tahu." Kalimat pertama yang singkat, jelas dan padat mampu membuat jantung Uli berdebar.
"Maksud Ibu?" tanya Uli santai. Wanita itu tidak ingin terlihat gugup didepan Ibunya.
"Pergilah bersama pria itu ke kota. Ibu akan mendukung segala keinginanmu," ucap wanita tua itu. Ada bulir air mata yang masih enggan turun ke pipinya.
Deg!
"Apa yang Ibu bicarakan?" tanya Uli masih dengan polosnya.
"Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu."
Wanita tua itu menerawang jauh mengingat-ingat memorinya pertama kali menjadi Ibu.
"Saat aku dianugerahkan sebagai seorang Ibu disaat itulah aku memiliki keajaiban, bukan hanya aku."
"Seluruh Ibu dimuka bumi ini pun sama. Kami memiliki firasat yang begitu besar terhadap anak-anak kami."
"Ibu tidak akan menanyakan mengapa sebuah luka bisa terjadi tetapi seorang Ibu akan datang mengobati luka itu dengan tangannya sendiri."
"Sekecil apapun beban yang dipikul anaknya seorang Ibu dapat merasakan. Sembilan bulan lebih anak dalam kandungan, berbagi nafas, berbagi makanan, berbagi segalanya."
"Mulai dari segumpal darah menjadi seorang bayi mungil ada rasa sakit yang tidak terungkapkan untuk bisa melahirkan bayi itu dengan selamat."
Wanita tua itu tersenyum mengingat perjuangannya melahirkan tiga orang anak.
"Mamak ..." Uli menghambur ke pelukan Ibunya.
"Kenapa menangis?" tanya Ibu Uli yang menyambut pelukan putrinya.
"U–uli sayang Mamak ..." ucapnya lirih.
"Kalau Uli sayang dengan Mamak sebaiknya turuti perkataan Mamak. Semua ini untuk kebaikan Uli dan suami."
"Mamak punya firasat bahwa pria kota itu adalah laki-laki baik dan bertanggung jawab."
Ibu Uli mengusap-usap punggung putri sematawayangnya itu.
"Ba–bagaimana Mamak bisa tahu?" tanya Uli heran.
Sekarang posisi gadis itu sudah duduk tegap menatap wajah Ibunya meminta penjelasan.
"Tadi kan sudah ku katakan bahwa seluruh Ibu di muka bumi itu punya keajaiban," kata Ibu Uli menarik hidung mancung putrinya.
"Kalau Ibu tahu mengapa tidak membatalkan? Ibu juga menyuruhku ikut dengan pria itu ke kota," gerutu Uli.
Bibir wanita itu sudah mengerucut pertanda protes kepada sang Ibu.
"Harus berapa kali ku katakan agar otakmu yang hanya seruas jari itu paham bahwa aku yakin jika pria itu baik dan bertanggung jawab."
"Uli bagaimana kamu ini ha?! Suamimu sendirian di ruang makan kamu malah duduk santai disini."
"Kamu juga Mamaknya Uli! Seharusnya kamu mengajarkan hal baik terhadap putrimu yang sudah menjadi istri orang ini," hardik Bapak Uli yang tiba-tiba datang entah dari mana.
"Apalah Abang ini. Aku duduk berdua sama Uli disini untuk memberitahu dia tugas seorang istri yang sesungguhnya," kata ibu Uli.
"Aku tidak percaya. Kalian berdua suka bersilat lidah di hadapanku."
"Abang tidur diluar," ucap Ibu Uli kesal lalu meninggalkan pria tua itu sendirian di kolam ikan.
"Sudah seperti simalakama kalau begini," gerutu Ayah Uli.
"Mamak Uli ... cintaku ... sayangku ... Ibu dari anak-anakku, aku bukan bermaksud seperti itu. Janganlah buat Abang mu ini tidur diluar. Bisa beku si ucok nanti, Sayang."
Pria tua itu setengah berteriak memanggil dan mengejar sang pujaan hati yang sudah 32 tahun hidup bersamanya.
Pasangan Ibu dan Anak itu sudah berada di ruang makan saat Bapak Uli datang dengan nafas tersenggal-senggal.
"Mamak Uli jangan lah kamu marah. Abang tidak bermaksud seperti itu tadi." Ayah Uli berusaha menjelaskan hal yang penting tidak penting.
"Makan dulu, Abang. Supaya memiliki tenaga untuk menghadapi dinginnya angin malam," ucap Mamak Uli sinis.
"Jangan seperti itu, Sayang. Jika aku tidur diluar maka si ucok akan mati membeku," kata Bapak Uli memelas.
"Si Ucok siapa?" tanya Arya sedikit berbisik pada Uli.
"Bapak, menantu mu bertanya. Si Ucok itu siapa?" Uli malah bertanya balik pada ayahnya.
"Apa!" kaget kedua orang tua itu.