Yama berjalan dua ratus satu meter dari rumah Yuki untuk kemudian sampai di rumahnya sendiri. Ia melenggang mendekati sebuah rumah yang cukup besar dengan warna putih berpintu kaca hitam, yang kemudian Yama pun menekan beberapa sandi untuk membuka pintu rumahnya tersebut.
Pip .. Pip … Pip …
Cklek!
Yama masuk ke dalam rumah itu, rumah megah yang sangat nyaman baginya. "Aku pulang!" ucap Yama ketika ia masuk ke dalam rumahnya, namun tak ada satu pun suara yang menjawab, yang membuat Yama yakin jika kedua orang tuanya belum datang ke rumah.
Seperti hal yang wajar bagi dirinya, Yama pun dengan santai berjalan menuju kamar tidurnya dan kemudian memutuskan untuk mandi sebelum akhirnya mengerjakan tugas sekolah yang di dapat olehnya. Hanya membutuhkan waktu lima menit, Yama pun selesai membersihkan dirinya dan segera berjalan menuju meja belajarnya.
Baru saja dirinya hendak mengerjakan tugas sekolahnya, suara-suara ribut pun mulai terdengar dari luar kamarnya, dan Yama tahu bahwa suara-suara gaduh itu berasal dari suara Ayah dan juga Ibunya. Dengan langkah perlahan Yama menghampiri pintu kamarnya dan mencoba untuk menguping pembicaraan itu.
Bertengkar, itulah yang di simpulkan oleh Yama ketika ia mendengar sentakan dan jeritan dari keduanya, dan pertengkaran itu tentu membuat Yama merasa kehilangan konsentrasinya.
Mendengar perkelahian yang tengah dilakukan oleh kedua orang tuanya, membuat Yama merasa bahwa dirinya tidak seberuntung yang lain. Meski pun banyak yang mengatakan bahwa ia adalah anak yang paling beruntung, namun pada kenyataannya ia tidak seberuntung itu.
Karena, di dalam kehidupan manusia pasti tidak ada hal dan juga kata yang sempurna. Bahkan kehidupan Yama saat ini, persis seperti yang dijalani oleh beberapa orang yang bisa di bilang banyak jumlahnya, dan mereka pun mengalami hal yang serupa, ia juga merasa bahwa menjalani kehidupan saat ini tidaklah mudah.
Ini sudah yang kesekian kalinya Yama mendengar pertengkaran dari keduanya, yang tentu saja membuat Yama merasa sangat terganggu dan merasa tidak nyaman berada di dalam rumahnya sendiri.
Ingin rasanya Yama melakukan apa saja asalkan ia tidak berada di dalam rumah itu, dirinya seperti tidak ingin ada diantara pertengkaran yang sedang terjadi. Yama berjalan perlahan menuju mejanya, dan dirinya pun terduduk dengan lemas, ia termenung seraya menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Suara perdebatan pun berhenti sampai, dan tidak lama pintu kamar Yama pun terbuka.
Cklek!
Pandangan Yama kini menoleh menatap sang Ayah yang kini segera menutup pintu kamar setelah dirinya masuk ke dalam kamar milik Yama, "Yama … anakku, apa pun yang Ayah dan Ibu putuskan, Ayah harap kamu memilih Ayah untuk tetap bersama denganmu … kau mengerti, Yama?" ucap sang Ayah kepada Yama, namun tak ada satu pun ucapan yang dilontarkan oleh Yama kepada sang Ayah setelahnya.
Yama tidak bisa menjawab permintaan sang Ayah, karena sang Ibu pun pernah mengatakan hal yang serupa seperti apa yang telah diucapkan oleh sang Ayah beberapa waktu yang lalu, permintaan dari keduanya sungguh menekan dirinya malam itu.
...
Tidaklah mudah bagi Yama menghadapi itu semua, ketika ia tengah berada di tingkat ketiga Sekolah Menengah Pertama dan ketika ia akan mempersiapkan ujian akhir sekolah yang akan diselenggarakan pada akhir tahun pelajaran ini, ia dihadapkan dengan pertengkaran ringan yang mulai menjadi cukup hebat yang berujung dengan perceraian kedua orang tuanya. Hal itu tentu mengganggu konsentrasi Yama.
Tidak, bukan yang seperti itu yang diinginkan oleh Yama. Ia tidak ingin kedua orang tuanya berpisah, ia tidak ingin mereka membawa dan memisahkan Yama dengan yang lainnya di antara kedua orang tuanya, ia sangat tidak menginginkan hal itu terjadi. Karena itu bukanlah sebuah cara yang baik untuk berpisah, dan Yama sangat mengerti akan hal itu.
…
Yama sudah bukan seorang anak kecil lagi, ia sudah menginjak kelas tiga Sekolah Menengap Pertama dan ia tidak ingin memilih salah satu diantara keduanya, dan karenanya ia merasa sangat tertekan sehingga memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan cara mengakhiri hidupnya di perlintasan kereta api yang berada tidak jauh dari rumahnya, itu berjarak hanya lima puluh meter saja dari rumahnya.
Apakah aku melakukan hal yang benar?? apakah jika aku mati … mereka akan lekas berbaikan?? kata-kata itu lah yang mengelilingi kepala Yama saat ini, dirinya pun sudah siap dan berdiri di tengah-tengah perlintasan kereta api dan menunggu kedatangan dari kereta yang melintas di perlintasan itu beberapa menit lagi.
Drrt … Drrt …
Getaran dari handphone milik Yama, membuat Yama akhirnya mengecek pesan masuk tersebut untuk terakhir kalinya, dan itu adalah pesan yang diberikan dari Yuki sahabat kecilnya.
'Yama-chan! Hari ini kita pergi ke cafe yuk! Aku ingin memakan waffle di cafe biasa, ada hal yang ingin kuceritakan dan kita bisa mengobrol bersama di sana, okay!'
Satu pesan yang dikirim oleh gadis cantik yang lain dan bukan adalah sahabat kecilnya yang kemudian dibaca oleh Yama saat itu lah, yang pada akhirnya membuat Yama tersadar dan mengurungkan niat dalam mengakhiri hidupnya.
Dengan langkah yang lemas, Yama berjalan untuk keluar dari perlintasan kereta api dan kemudian menghela napasnya dengan cukup berat. Ia sempat merasa seperti orang bodoh, karena telah menyia-nyiakan waktu hidup yang begitu berarti. Yah … kurasa semua kehidupan memanglah tidak mudah … namun, hidup sangatlah berharga, dan akan menjadi sayang jika dilewatkan. Itulah kalimat yang ada di dalam pikiran Yama ketika ia keluar dari perlintasan, yang pada akhirnya membuatnya kini berjalan untuk bertemu dengan Yuki, yang sempat mengajaknya untuk memakan waffle kesukaan mereka di cafe langganan keduanya.
Baru saja Yama melangkah pergi sebanyak lima langkah dari lokasi perlintasan kereta api, secara aneh bebatuan yang ada di sekitar rel kereta pun bergetar dengan cukup kencang dan keras. Hingga sempat membuat Yama berpikir bahwa gempa bumi telah terjadi saat itu, namun pada kenyataannya bebatuan kerikil yang ada di sekitar perlintasan kereta pun bergerak dan mulai menempel di tubuh serta memerangkap Yama sehingga dirinya terkejut bukan main karenanya.
"Apa?! Apa ini?!! Akh! Tolong … Tolong!!" ucap Yama dengan panik dan semakin kencang ia berteriak untuk meminta pertolongan, karena pasalnya batuan kerikil saat itu menempel di tubuh Yama, dari kaki dan kemudian merambat ke atas hingga menutupi seluruh sudut tubuhnya. Yama tidak bisa melakukan apapun selain berteriak meminta pertolongan, ia tidak bergerak sama sekali dan bahkan untuk berlari maupun berjalan pun sangat sulit baginya karena banyaknya jumlah bebatuan yang menempel serta memberikan beban berat hingga Yama sendiri pun sulit untuk menggerakan tubuhnya secara leluasa. Seolah batuan kerikil itu mengunci seluruh pergerakan Yama.
Yama menjadi semakin panik, ia merasa ketakutan karena tidak bisa melakukan apa pun untuk dirinya sendiri saat itu, Yama hanya bisa memejamkan matanya dan berharap bahwa ini hanyalah sebuah mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya tidak bisa bergerak sama sekali, atau setidaknya seperti ketindihan atau Kanashibari. Namun detik kemudian, setelah bebatuan kerikil yang sempat mengerubuninya terjatuh di samping pijakannya, membuat Yama segera tersadar ketika ia merasakan bahwa ia tidak lagi dikerumuni oleh kerikil tersebut.
Pandangan Yama pun kini mengerenyit setelah ia menyadari bahwa ia tidak lagi berada di lokasi terakhir di mana dirinya berpijak. Tidak ada perlintasan kereta api yang terpasang di belakangnya, tidak ada jalanan yang kala itu langsung mengarah ke arah jalan yang besar, dan tidak ada pula rumah yang berdekatan dengan perlintasa tersebut, Yama juga bahkan tidak menemukan rumahnya yang dibatasi oleh semak merah yang menjadi pembatas antara taman belakang, tempat parkir mobil ayah dan ibunya serta jalan setapak yang langsung mengarah ke jalan yang raya serta terowongan untuk mobil berlalu lalang. Ia tidak mendapati itu semua saat ini.
Hanya semak-semak yang tinggi yang menghalangi pandangan Yama untuk melihat ke arah sekitar sana, serta jalan setapak yang memiliki ukuran lebar sekitar empat hingga lima meter ke samping, dan panjang yang belum diketahui oleh Yama. Namun Yama meyakini bahwa tempat itu sangatlah luas, dengan bukti bahwa ujung dari tikungan lorong tersebut pun tidak terlihat sama sekali oleh kedua matannya. Sebuah labirin, ya … katakan saja bahwa saat ini secara tidak masuk di akal, Yama dibawa oleh batuan kerikil yang sempat mengerubuninya dan akhirnya membawa Yama ke sebuah tempat yang ia yakini merupakan tempat tersebut.
…