Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 27 - Tangisan Di Hari Pernikahan

Chapter 27 - Tangisan Di Hari Pernikahan

Sudah dua minggu berlalu. Warga yang berdatangan untuk menyambut pernikahan Laila dan Hilman yang berlangsung mewah di desa Wanadadi itu. Hilman sudah siap-siap di depan meja, yang berhadapan dengan Pramono dan Penghulu.

Sementara Laila berada di tempat lain bersama dengan Seruni. Laila nampak cantik dengan dandanan dari Seruni. Karena Laila tidak mau didandanin oleh lelaki yang berpenampilan seperti perempuan, Laila menolaknya. Tetap saja ia seorang lelaki, walau dandanan dan gaya seperti perempuan.

"Kamu cantik sekali, Laila?" puji Seruni di depan meja rias. Seruni merasa bahagia memiliki menantu yang baik dan cantik seperti Laila.

Walau Seruni masih belum terima ketika harta mereka telah berpindah tangan di tangan Laila, Seruni tetap menuruti Redho, suaminya. Lagipula Laila merupakan seorang gadis yang sholehah.

Seruni pun sangat gemas melihat wajah Laila yang manis dan imut. Walau sudah berusia sembilan belas tahun, Laila terlihat lebih muda. Wajah cantiknya terus bersinar dan aura wajahnya bercahaya.

Tak seberapa lama Seruni selesai mendandani Laila dengan riasan natural seperti yang diinginkan Laila. Laila dipakaikan bedak yang tipis, lipstik berwarna merah muda serta kerudung putih yang membalut rambutnya yang panjang.

Seandainya Laila tidak memakai kerudung, ia terlihat anggun dengan rambut panjangnya. Bahkan Seruni yang melihat Laila sebelum mengenakan kerudung sempat terpana. Meskipun begitu, Laila memakai kerudung pun sangat anggun dan juga cantik.

"Lihat, Laila ... kamu sangat cantik hari ini." Seruni merasa puas dengan dirinya sendiri yang merias Laila dengan baik.

"Terima kasih, Tante," ungkap Laila yang masih merasa canggung. Ia belum berani memanggil Seruni, ibu atau mama atau sebutan lainnya.

"Kok tante, sih? Panggil mama, Sayang ..." lirih Seruni. Walaupun Laila belum secara resmi menjadi menantunya tapi Seruni ingin Laila mulai menganggapnya sebagai mertuanya.

"Mama ..." ucap Laila lirih. Ia masih ragu-ragu memanggil Seruni dengan panggilan mama.

Selama ini Laila memanggil ibunya dengan sebutan ummi. Sekarang ia harus memanggil mama pada calon mertua wanita itu. Laila tidak menolak namun ia masih belum terbiasa.

Laila harus memantapkan dirinya untuk memanggil mama kepada Seruni. Ia juga harus memanggil papa pada Redho. Sementara pada Hilman, ia harus memanggil dengan sebutan mas.

"Kok masih ragu-ragu, Sayang. Apa aku tidak pantas dipanggil mama?" tanya Seruni menampilkan wajah kecewa yang dibuat-buat. Ia sebenarnya memaklumi Laila yang belum terbiasa. Namun ia juga merasa senang menggoda Laila.

"Maaf, Mama," kata Laila lirih. Laila menunduk merasa bersalah.

"Iya, kita nunggu ijabnya selesai. Setelah itu, kita keluar dari kamar," tandas Seruni. Ia melihat wajah Laila yang sudah didandani seperti sang bidadari itu.

"Iya, Ma," ungkap Laila. Laila kemudian dibimbing untuk duduk oleh Seruni.

Sebelum Hilman mengucapkan kata ijab kabul, Laila belum akan keluar dari kamar itu.

Laila merasa deg-degan walau berada di dalam kamar bersama Seruni. Bagaimana nantinya ia menjadi seorang istri buat Hilman.

***

Hilman tengah duduk berhadapan dengan penghulu dan Pramono, yang menjadi wali nikah Laila. Sebentar lagi ia akan mengucapkan janji suci untuk yang ke dua kalinya.

Eva berada di samping para saksi, bersama dengan para wanita. Sebagai seorang wanita yang menjadi istri pertama dari Hilman, Eva merasa hatinya sakit dirinya dimadu. Namun ia harus menerima semuanya. Ia tidak memiliki pilihan untuk menolak atau membatalkan pernikahan suaminya dengan perempuan lain.

'Mas Hilman akan menikah dengan perempuan lain. Kenapa hati ini sakit?' batin Eva terenyuh.

Bagaimanapun pernikahan antara Hilman dan Laila tidak bisa diundur lagi. Kalaupun Eva ingin membatalkan pernikahan suaminya, ia mungkin akan dicap sebagai wanita tidak tahu diri. Memangnya siapa dia? Pikiran buruk menyelimuti hati Eva saat ini. Ia menghela nafasnya sembari menyembunyikan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.

"Saudara Hilman Syahputra, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Laila Fatihani binti Ali Fattahillah dengan maskawin berupa seperangkat alat sholat serta emas seberat dua puluh gram dan uang senilai dua puluh lima juta rupiah dibayar tunai!"

"Saya terima nikah dan kawinnya Laila Fatihani binti Ali Fattahillah dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"

"Alhamdulillah ... bagaimana, Saksi, sah?"

"Sah ...."

"Alhamdulillah ... sah."

Eva tidak mampu lagi membendung air matanya mendengar ijab kabul yang sudah diucapkan. Kini Laila resmi menjadi madunya. Ia harus merelakan Hilman untuk Laila. Ia harus rela berbagi suami dengan Laila.

'Lihatlah ... siapa yang peduli padaku?' batin Eva. Ia tidak melihat seorangpun yang peduli padanya. Seakan pernikahan antara Hilman dan Laila adalah pernikahan paling membahagiakan sedunia. Tetapi tidak untuk Eva. Ia merasa batinnya teriris sembilu, begitu sakit terasa.

Setelah sang penghulu membacakan doa, Laila keluar dari kamar pengantin diantar oleh Raisya dan Seruni. Nampak Laila yang berpenampilan cantik membuat para tamu dan saksi terpana.

Mereka tahu Laila merupakan seorang gadis yang memiliki paras yang cantik. Bahkan beberapa orang tua menginginkan anak lelaki mereka untuk meminang Laila. Namun mereka kini hanya bisa menyesal. Kini Laila sudah sah menjadi seorang istri dari anak pemilik perkebunan terluas di tiga desa sekaligus.

Dibandingkan dengan mereka, kini Laila sudah menjadi menantu orang nomor satu di desanya. Mereka semakin mengagumi Laila dan menaruh hormatnya. Warga yang turut hadir pun merasa bangga. Di antara mereka ada beberapa anak mereka yang menjadi murid mengaji Laila.

"Laila sungguh cantik sekali," ungkap salah seorang pria paruh baya. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.

"Beruntungnya orang itu mendapatkan Laila. Memang ini pantas ... Laila itu anaknya cantik, pantas saja orang kaya seperti mereka mau menikahi Laila."

Tidak sedikit yang memuji kecantikan Laila, membuat Eva semakin panas. Ia melirik Laila sejenak, ia mengangguk dan mengakuinya. Ia mengucap lirih, "Memang dia lebih cantik dariku. Dia lebih muda dan masih suci. Tentu mas Hilman akan bahagia menikahi Laila. Sedangkan aku?"

"Eh, kau istrinya pak Hilman? Maaf, Bu ..." kata seorang wanita paruh baya. Ia tidak menyesal memuji Laila namun ia tidak boleh menyinggung istri pertama dari Hilman.

"Iya, tidak masalah ... memang perempuan itu sangat cantik. Kurasa aku memiliki teman baru untuk mengurus Hilman." Eva tersenyum namun hatinya teriris.

"Iya, pasti Ibu Eva, hatinya sakit. Yang sabar yah, Bu ... saya yakin, pak Hilman akan berlaku adil."

"Aamiin ... terima kasih, Bu. Maaf, aku mau ke kamar mandi dulu."

Eva meninggalkan tempat itu. Rasanya ia tidak sanggup menahan air matanya yang tumpah. Ia berlari ke kamar mandi dan menangis.

"Mengapa takdirku seperti ini? Aku hanya ingin hidup bahagia. Mengapa ini terasa begitu sakit?" Eva melihat bayangan wajahnya di cermin. Terlihat wajahnya yang mulai luntur karena riasan wajahnya terkena air matanya.

Eva membasuh wajahnya yang dipenuhi dengan air mata itu. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata orang lain. Baginya dengan menunjukkan kelemahannya, mungkin mereka akan mengira Eva tidak merelakan suaminya menikah lagi. Memangnya siapa dia? Ia pun tidak pantas menjadi bagian dari keluarga Hilman. Ia sudah buruk di mata keluarga Hilman. Ia hanya tidak ingin membuat Hilman meninggalkannya. Karena hanya Hilman satu-satunya yang menerima kekurangannya.

"Mengapa aku menangis? Aku harus kuat! Hilman, semoga engkau bahagia bersama Laila."

Laila membasuh air mata yang mulai merembes lagi. Akibatnya kini rambutnya ikut basah dan berantakan. Bahkan pakaiannya pun ikut terkena cipratan air. Eva harus kembali kepada mereka. Dengan cepat, ia memperbaiki penampilannya.

"Aku harus kuat!" ungkapnya menyemangati diri sendiri.

***